Friday, April 19, 2024

Asuhan Keperawatan tentang Emfisema

 Asuhan Keperawatan tentang Emfisema

Menurut World Health Organization (WHO), emfisema merupakan gangguan oenegembangan oaru yang ditandai dengan pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan sebagai overinflation. Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan karakteristik penurunan elastisitas paru dan luas permukaan alveoulus yang berkurang akibat destruksi dinding alveolus dan pelebaran ruang distal udara ke bronkiolus terminal. Kerusakan dapat terbatas hanya di bagian sentral lobus, dalam hal ini yang paling terpengaruh adalah integritas dinding bronkiolus, atau dapat mengenai paru secara keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan alveolus.

Hilangnya elastisitas paru dapat memengaruhi alveolus dan bronkus. Elastisitas berkurang akibat destruksi serabut elastic dan kolagen yang terdapat di seluruh paru dari produk yang dihasilkan dengan mengaktiviasi makrofag alveolus. Penyebab pasti emfisema masih belum jelas, tetapi lebih dari 80% kasus, penyakit biasanya muncul setelah bertahun-tahun merokok. Komponen dalam asap rokok di duga mengubah secara langsung struktur molekul elastic. Emfisema juga member efek pada serabut elastic yang berhubungan dengna penyakit infeksius berulang dan keadaan inflamasi kronis yang menyertai infeksi. Sebagai akibatnya, elastisitas jalan napas hilang dan kolaps alveolus, menurunkan ventilasi. Jalan napas kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah insipirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, udara akan terperangkap di dalam paru dan jalan napas kolaps.

            Dinding di antara alveolus alveoulus, yang disebut septum alveolus, juga dapat mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan luas permukaan alveolus yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang dan menurunkan kecepatan difusi.

            Factor risiko primer untuk emfisema dalah merokok. Akan tetapi, pajanan berulang pada perokok pasif juga dapat menyebabkan emfisema. Selain itu, ada emfisema bentuk familial yang berhubungan dengan defisiensi anti-protease, alfa-1 antiripsin. Bentuk emfisema ini jarang ditemukan, dan terjadi pada individu yang tidak terpajan dengan asap rokok, meskipun asap tembakau memperburuk penyakit emfisema pada individu yang mengalami defisiensi ini.

 

 

 

 

 

 

A)    PATOLOGI

  

Gambar 2. Patofisiologi Emfisema

Emfisema ditandai oleh kerusakan elastin dan kolagen, yang menyebabkan hiperinflasi alveoli, penghancuran dinding alveoli, dan pembentukan rongga udara yang besar (lobules) sehingga area permukaan alveoli lebih kecil dibandingkan alveoli normal. Rongga ini mengurangi sirkulasi paru karena merusak dinding kapiler alveoli yang menyebabkan penurunan difusi kapiler alveoli sehingga pertukaran gas berkurang. Untuk mengatasi hal ini, pasien emfisema secara tidak sadar meningkatkan frekuensi pernapasan mereka untuk meningkatkan ventilasi alveolar. Emfisema dapat bersifat pusat, yaitu area primer gangguan berada di bagian sentral dari bronkiolus (sering dikaitkan dengan bronchitis kronis) atau panlobular, yaitu kerusakan dan distensi berada di bagian distal bronkiolus (Chang, Ester. John Daly. 2010)

Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding alveolar. Dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alvioli, kolaps jalan napas sebagian, dan kehilangan elastisitas rekoil. Pada saat alveoli dan sputum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolar (blebs) dan di antara parenkim paru (bullae). Proses ini akan menyebkan peningkatan ventilatori pada dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.

Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah penurunan perfusi oksigen dan penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika jhal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis kronis dan merokok.

 

B)    ETIOLOGI

Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha 1 yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.

  1.  Merokok

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak, 2004)

  1. Keturunan

Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema patu adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut perokok.

  1.   Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seorang penderita bronchitis kronis hamper selalu menyababkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

  1. Hipotesis Elastase – Antielastase

Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Prubahan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage – PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antietastase, yaitu enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian emfisema.

  1. Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.

  1. Faktor Sosial Ekonomi

Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

  1. Pengaruh usia

 

C)    KLASIFIKASI

Terdapat tiga tipe emfisema yaitu sebagai berikut :

  1. Etiologi centriolobular

Merupoakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar tetap tersisa.

  1. Emfisema panlobular (panacinar)

Merupakan ruang pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriaciacinar emfisema, sangat sering timbul pada seorang perokok.

  1. Emfisema paraseptal

Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkann isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defesiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dispnea dan infeksi pilmoner serta sering kali timbul kor pulmonal (CHF bagian kanan).

 

 

D)    MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pada emfisema yakni

  1. Penampilan Umum
    1. Kurus, warna kulit pucat, dan flattenet hemidiafragma.
    2. Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
    3. Usia 65-75 tahun.

Pemeriksaan fisik dan laboratorium.

  1. Pada klien emfisema paru akan ditemukan tanda dan gejala seperti berikut ini.
    1. Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea.
    2. Infeksi sistem respirasi.
    3. Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan napas dalam.
    4. Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
    5. Produksi sputum dan batuk jarang.
    6. Hematokrit.

 

  1. Pemeriksaan Jantung.

Tidak terjadi pembesaran jantung. kor pulmonal timbul pada stadium akhir.

  1. Riwayat merokok.

Biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat merokok.

 

Tabel 1. Manifestasi Klinis Penyakit Paru Obstruktif Kronik

No

Manifestasi

Emfisema

1

Riwayat kesehatan klinis

Secara umum sehat, tapi perokok

2

Batuk/ Sputum

Minor/ dapat diabaikan

3

Pemeriksaan fisik dan keadaan umum

Kakeksia, riwayat penurunan berat badan dan malnutrisi protein kalori

4

Dispnea

Berkembang secara lambat

5

Gambaran dada

Mengalami peningkatan diameter anteroposterior, dada tong, otot aksesori pernapasan menonjol, ekskursi diafragma terbatas

6

AGD

Mendekati normal, penurunan PaO2 atau penurunan PaCO2, atau normal hiperkapnea pada penyakit lanjut

7

Sinar X dada

Hiperinflasi, diagragma datar, pelebaran batas interkosta

 

Menurut Corwin, Elizabeth J.(2009), gambaran klinis emfisema yakni.

  1. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan dada mengembang (peningkatan diameter anterior-posterior).
  2. Bunyi napas tidak ada pada saat auskultasi.
  3. Penggunaan otot aksesori pernapasan.
  4. Takipnea (peningkatan frekuensi pernapasan) akibat hipoksia dan hiperkapnia. Karena peningkatan kecepatan pernapasan pada penyakit ini efektif, sebagian ebsar individu yang mengidap emfisema tidak memperlihatkan perubahan gas darah arteri yang bermakna sampai penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan pernapasan tidak dapat mengatasi hipoksia atau hiperkapnia. Pada akhirnya, semua nilai gas darah memburuk dan terjadi hipoksia hiperkapnia, dan asidosis.
  5. Depresi system saraf pusat dapat terjadi akibat tingginya kadar karbondioksida (narcosis karbondioksida).
  6. Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronchitis kronis adalah pada emfisema tidak terjadi pembentukan sputum.

 

  1. F.     TANDA DAN GEJALA
    1. 1.      Nafas pendek persisten dengan peningkatan dispenia
    2. 2.       Infeksi sistem respirasi
    3. 3.      Wheezing ekspirasitidak ditemukan dengan jelas
    4. 4.      Produksi sputum dan batuk jarang
    5. 5.      Hematikrit

 

  1. G.    KOMPLIKASI

Komplikasi emfisema yakni

  1. sering mengalami infeksi infeksi ulang pada saluran pernafasan
  2. daya tahan tubuh mengalami kurang sempuran
  3. proses peradangan yang kronis di saluran napas
  4. tingkat kerusakan paru makin parah

Menurut Corwin, Elizabeth J. (2009), komplikasi emfisema yakni

  1. Hipertensi paru akibat vasokonstriksi hipoksik paru kronis, yang akhirnya menyebabkan kor pulmonalise.
  2. Penurunan kualitas hidup pada pengidap penyakit ini yang parah.

 

  1. H.    DIAGNOSTIK
    1. kebersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan:
      1. Bronkospasme
      2. peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan ,kental)
      3. menurukan energi/fatigue
      4. kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan:

a. kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan naps oleh sekret, bronkospasme, air trapping)

  1. destruksin alveoli

 

  1. I.       PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan utama pada klien emfisema adanya meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas agar tidak terjadi hipoksia. Pendekatan tetapi mencangkup :

  1. Pemberian terapi terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja napas.
  2. Mencegah dan mengobati infeksi.
  3. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru.
  4. Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfalitasi pernafasan yang adekuat.
  5. Dukungan psikologis
  6. Edukasi dan rehabilitasi klien
  7. Jenis obat yang di berikan berupa :
  8. Bronkodilators
  9. Terapi aerosol

10.  Terapi infeksi

11.  Kortikosteroid

12.  Oksigenasi

Selain itu, oleh Corwin, Elizabeth J. (2009) penatalaksanaan emfisema yakni pengobatan emfisema bertujuan menghasilkan gejala dan mencegah perburukan kondisi penyakit. Emfisema tidak dapat disembuhkan. Terapi antara lain:

  1. Mendorong individu untuk berhenti merokok
  2. Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara yang terperangkap.
  3. Member pengajaran mengenai teknik relaksasi dan cara untuk menghemat energy
  4. Banyak pasien emfisema memerlukan terapi oksigen agar dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Terapi oksigen dapat memperlambat kemajuan penyakit dan mengurang morbiditas dan mortilitas.
  5. Terapi latihan yang dirancang dengan baik dapat memperbaiki gejala.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. J.      POHON MASALAH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

KONSEP ASKEP

 

  1. A.    Pengkajian

Pada pemeriksaan fisik emfisema, yakni

  1.  Pernafasan B1 (breath)
    1.  Bentuk dada : barrel chest
    2. Pola nafas : tidak teratur
    3. Suara napas : tidak terdengar saat di auskultasi.
    4. Retraksi otot bantu napas : ada
    5. Kardiovaskular B2 (blood)
      1. Irama jantung : regular; S1,S2 tunggal.
      2. Nyeri dada : ada, skala 6
      3. Akral : lembab
      4. Tekanan darah: 130/80 mmHg (hipertensi)
      5. Saturasi Hb O2 : hipoksia
      6. Persyarafan B3 (brain)

Umumnya normal

  1. Perkemihan B4 (bladder)

Pada umumnya normal

  1. Pencernaan B5 (bowel)

Pada umumnya normal.

  1. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
    1. Turgor kulit : Berkeringat
    2. Massa otot : menurun

 

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan laboratorium dihasilkan abnormal pada pemeriksaan fungsi paru, termasuk penurunan hasil pengukuran FEV, (volume ekspresi paksa), penurunan kapasitas vital, dan peningkatan volume residual (udara yang tersisa di dalam saluran napas setiap kali bernapas) mengakibatkan penurunan elastisitas paru. Seiring perkembangan penyakit, analisis gas darah yang pertama kali menunjukkan hipoksia. Pada tahap lanjut penyakit, kadar karbondioksida juga dapat mengalami peningkatan (Corwin, Elizabeth J.2009).

            Pemeriksaan diagnostik menurut Somantri, Irman (2009) yakni:

  1. Chest X-Ray, dapat menunjukkan hipernflantion paru, flattenet diafragma, peningkatan ruang udara restroternal, penurunan tanda vascular/ bullae (emfisema), peningkatan suara bronkovaskuler (bronchitis), normal ditemukan satu periode remisi (asma).
  2. Pemeriksaan fungsi paru, dilakukan untuk menentukan penybeba dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau rektraksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengeluarkan efek dari terapi, misalnya bronkodilator.
  3. Total Lung Capacity (TLC): meningkatkan pada bronchitis berat dan biasanya pada asma, namun menurun pada emfisema.
  4. Kapasitas Inspirasi, menurun pada emfisema.
  5. FEVI/ FVC: rasio tekanan ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asma.
  6. Arteri Blood Gasses (ABGs): menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (emfisema), tetapi sering kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma)
  7. Bronkogram, dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mucus (bronchitis).
  8. Darah lengkap, terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan primer.
  9. Kimia darah, alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer.

10.  Sputum kultur, untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi.

11.  Elektrokardiogram (EKG): deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma berat), atrial disritmia (bronchitis), gelombang P dan leads II, III dan AVF panjang, tinggi (pada bronchitis dan emfisema), dan aksis QRS vertical (emfisema).

12.  Exercise ECG, Stress Test, membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator dan merencanakan/ evaluasi program.

Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC).

 

  1. B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
  2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi secret (secret yang tertahan kental), menurunnya energy atau fatigue
  3. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh secret bronkospasme, air trapping), destruksi alveoli.
  4. Peningkatan pola napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang ditandai penumpukan secret di alveoli.
  5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan destruksi alveoli.

 

  1. C.    INTERVENSI

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi secret (secret yang tertahan, kental), menurunnya energy atau fatigue

Ditandai dengan:

1)      Klien mengeluh sulit untuk bernapas

2)      Perubahan kedalaman/ jumlah napas, penggunaan otot bantu pernapasan

3)      Suara napas abnormal seperti wheezing, ronchi, dan crackles,

4)      Batuk (persisten) dengan/ tanpa produksi sputum

 

Tujuan (NOC):

Status respirasi kepatenan jalan napas dengan skala 2-5 (1-5) setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam.

 

Kriteria Hasil:

1)      Tidak ada demam

2)      Tidak ada cemas

3)      RR dalam batas normal (16-24 jam x/ menit)

4)      Irama napas dalam batas normal

5)      Pergerakan sputum keluar dari jalan napas

6)      Bebas dari suara napas tambahan

NO

INTERVENSI

RASIONAL

1

Manajemen jalan napas

Mengatur tindakan pemberian jalan napas

2

Penurunan kecemasan

Memotivasi klien dalam menghadapi masalah

3

Aspiration precautions

Pemberian tindakan jalan napas

4

Fisioterapi dada

Meningkatkan jalan napas

5

Latih batuk efektif

Mengeluarkan jalan napas (meningkatkan jalan napas)

6

Terapi oksigen

Meningkatkan jalan napas

7

Pemberian posisi

Memberikan rileks dan meningkatkan jalan napas

8

Monitoring respirasi

Memantau perkembangan jalan napas klien

9

Surveillance

Meningkatkan jalan napas dan mengurangi risiko terhambatnya jalan napas pada klien

10

Mengurangi jumlah pengunjung yang datang

Meningkatkan ketenangan klien

11

Berikan Health Education

Memberikan pengetauhan kepada klien tentang bersihan jalan napas

12

Monitoring tanda vital

Memantau kondisi klien

 

Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh secret, bronkospasme, air trapping), destruksi alveoli

Ditandai dengan:

1)      Dispnea

2)      Confusion lemah

3)      Tidak mampu mengeluarkan secret

4)      Nilai ABGs abnormal (hipoksia dan hiperkapnea)

5)      Perubahan tanda-tanda vital yang menuju normal (RR:16-24x/menit, tekanan darah: 110-130/70-90 mmHg, nadi: 60-90x/menit,suhu:36,5 derajat Celsius-37,5 derajat Celsius).

6)      Menurunnya toleransi terhadap aktivitas

 

Tujuan (NOC):

Status respirasi pertukaran gas dengan skala 2-5 setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam

Kriteria Hasil:

1)      Status mental dalam batas normal

2)      Bernapas dengan mudah

3)      Tidak ada sianosis

4)      PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal

5)      Saturasi O2 dalam rentang normal

NO

INTERVENSI

RASIONAL

1

Manajemen asam dan basa

Menyeimbangkan cairam asam basa klien

2

Manajemen jalan napas

Mengatur tindakan pemberian jalan napas

3

Latihan batuk efektif

Meningkatkan jalan napas

4

Tingkatkan aktivitas

Meningkatkan jalan napas

5

Terapi oksigen

Meningkatkan jalan napas

6

Monitoring respirasi

Memantau kondisi dan respirasi klien

7

Monitoring tanda vital

Memantau kondisi klien