1.1
Perubahan Pada Lansia yang Mempengaruhi Status Gizi
Proses menua
(menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
di derita (Darmojo & Martono 1999 dalam Fatmah, 2010). Akibat dari
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya, lansia akan mengalami perubahan-perubahan
pada dirinya. Perubahan tersebut dapat mencakup perubahan struktur dan fungsi
tubuh, kemampuan kognitif dan kesehatan mental. Perubahan ini terjadi hampir di
seluruh sistem tubuh pada lansia, salah satunya adalah sistem pencernaan pada lansia. Perubahan pada
sistem pencernaan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan secara anatomis
dan fisiologis. Perubahan ini dapat mempengaruhi kemampuan sistem pencernaan
dalam bekerja dan berimplikasi terhadap status gizi lansia. Status gizi pada lansia juga dipengaruhi
oleh beberapa faktor risiko dalam pemenuhan kebutuhan gizi. Miller (2004)
menyebutkan bahwa faktor risiko tersebut adalah perawatan mulut yang tidak
adekuat, gangguan fungsional dan proses penyakit, efek pengobatan, gaya hidup,
faktor psikologi, sosial, ekonomi dan budaya. Sementara itu Touhy & Jett
(2010) menjelaskan bahwa faktor yang
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi pada lansia adalah penuaan, perubahan
pada indera perasa dan penciuman, perubahan pada sistem pencernaan, pengaturan
nafsu makan, kebiasaan makan, sosialisasi, transportasi, tempat tinggal,
pertumbuhan gigi, tinggal di rumah sakit atau institusi. Selain faktor-faktor
diatas Fatmah (2010) menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan gizi lansia adalah usia dan jenis kelamin.
A. Perubahan Anatomis dan
Fisiologis Sistem Pencernaan Pada Lansia
Tubuh lansia
mengalami penurunan fungsi fisiologis secara alami seiring bertambahnya usia.
Penurunan fungsi ini tentunya akan menurunkan kemampuan lansia tersebut untuk
menanggapi adanya rangsangan atau berespon. Akibat dari penurunan fungsi,
lansia mengalami banyak perubahan dalam segi fisik, kemampuan kognitif,
kemampuan fungsi organ, psikologi, sosial dan sebagainya. Kemunduran dan kelemahan yang diderita oleh
lansia akibat adanya perubahan ini menurut Darmojo dalam Arisman (2004) adalah
pergerakan dan kestabilan terganggu;
demensia; depresi; inkontinensia dan impotensia; defisiensi imunologis;
infeksi, konstipasi dan malnutrisi; latrogenesis dan insomnia; kemunduran
penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi, integritas kulit; dan kemunduran proses
penyakit. Perubahan-perubahan secara anatomis dan
fisiologis pada lansia yang dapat mempengaruhi status gizi lansia, diantaranya:
a. Indera Perasa dan
Penciuman
Indera perasa
dan penciuman mempengaruhi seseorang dalam menikmati makanan. Kemampuan penciuman seseorang bergantung pada
persepsi odorants (bau-bauan) dari
sel sensori dalam mukosa olfaktori dan proses informasi dari sistem saraf
pusat. Perubahan usia mengakibatkan penurunan fungsi pada system saraf pusat. Faktor lain yang menyebabkan
penurunan kemampuan indera penciuman
adalah merokok, kekurangan vitamin B12, terapi pengobatan, penyakit periodontal dan infeksi mulut, penyakit
sistem pernapasan bagian atas (seperti sinusitis),
penyakit sistemik (seperti demensia, diabetes) dan pengalaman pekerjaan (seperti bekerja di pabrik
sebelumnya) (Bromley, 2000; Finkel et al, 2001; Morley, 2002 dalam Miller, 2004). Kemampuan perasa bergantung utamanya pada
sel-sel reseptor di tempat-tempat perasa,
seperti lidah, palatum dan tonsils. Karakteristik dari sensasi perasa diukur
sesuai kemampuan menerima intensitas rasa dan kemampuan membedakan rasa
(Miller, 2004). Perubahan pada lansia tidak mempengaruhi sensasi rasa secara keseluruhan, kemampuan untuk mendeteksi rasa manis
masih sama sedangkan kemampuan mendeteksi rasa
asam, asin dan pahit mengalami penurunan (Touhy & Jett, 2010).
b. Saluran Gastrointestinal
Proses
penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam saluran gastrointestinal (GI), yaitu:
Tabel 1. 1. Perubahan pada saluran
Gastrointestinal lansia
Organ |
Perubahan yang terjadi |
·
Rongga mulut ·
Faring dan esofagus ·
Lambung ·
Usus halus ·
Hati dan pankreas ·
Usus besar dan rectum |
·
Lansia
mengalami penurunan fungsi fisiologis pada rongga mulut sehingga mempengaruhi
proses mekanisme makanan. Perubahan dalam rongga mulut yang terjadi pada
lansia mencakup tanggalnya gigi, mulut kering dan penurunan motilitas
esophagus (Meiner, 2006). Pada lansia, banyak gigi yang tanggal serta terjadi
kerusakan gusi karena proses degenarasi akan mempengaruhi proses pengunyahan
makanan (Fatmah, 2010). Tanggalnya gigi
bukan suatu konsekuensi dasar dari proses penuaan, banyak lansia mengalami
penanggalan gigi sebagai akibat dari hilangnya tulang penyokong pada
permukaan periosteal dan periodontal. Hilangnya sokongan tulang ini juga
turut berperan terhadap kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan penyediaan
sokongan gigi yang adekuat dan stabil pada usia lebih lanjut (Stanley, 2007). Kelenjar
saliva juga mulai sukar disekresi yang mempengaruhi proses perubahan
karbohidrat kompleks menjadi disakarida karena enzim ptyalin menurun. Fungsi lidah sebagai pelicin pun
berkurang sehingga proses menelan menjadi lebih sulit. Sebaliknya, asupan
gizi juga berpengaruh pada penurunan fungsi
fisiologis di rongga mulut. Kekurangan protein sering dikaitkan dengan degenerasi jaringan ikat gingival,
membrane periodontal dan mukosa pendukung
basis gigi tiruan (Fatmah, 2010). ·
Banyak
lansia yang mengalami kelemahan otot polos sehingga proses menelan lebih
sulit. Motilitas esofagus tetap normal meskipun esophagus mengalami sedikit
dilatasi seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah kehilangan tonus, reflex muntah juga
melemah pada lansia, sehingga meningkatkan
risiko aspirasi pada lansia (Stanley, 2007). ·
Perubahan
yang terjadi pada lambung adalah atrofi mukosa. Atrofi sel kelenjar, sel
parietal dan sel chief akan menyebabkan
berkurangnya sekresi asam
lambung, pepsin dan faktor instrinsik. Karena sekresi asam lambung yang
berkurang, maka rasa lapar juga akan berkurang. Ukuran lambung pada lansia
juga mengecil sehingga daya tampung makanan berkurang. Selain itu, proses
perubahan protein menjadi pepton terganggu (Fatmah, 2010). Selain itu, Meiner
(2006) menjelaskan perubahan pH dalam saluran gastrointestinal dapat menyebabkan malabsorbsi vitamin B.
Penurunan sekresi HCl dan pepsin yang berkurang pada lansia juga dapat
menyebabkan penyerapan zat besi dan vitamin B12 menurun (Arisman, 2004). ·
Perubahan
pada usus halus yang terjadi pada lansia mencakup atrofi dari otot dan
permukaan mukosa, pengurangan jumlah
titik-titik limfatik, pengurangan berat usus halus dan pemendekan dan
pelebaran vili sehingga menurunkan proses absorbsi. Perubahan struktur ini
tidak secara signifikan mempengaruhi motilitas, permeabilitas atau waktu
transit usus halus. Perubahan ini dapat mempengaruhi fungsi imun dan absorbsi
dari beberapa nutrisi seperti kalsium dan vitamin D (Miller, 2004). ·
Kapasitas
fungsional hati dan pankreas tetap dalam rentang normal karena adanya
cadangan fisiologis dari hati dan pankreas. Setelah usia 70 tahun, ukuran hati dan pankreas akan
mengecil, terjadi penurunan kapasitas menyimpan dan kemampuan mensintesis
protein dan enzim-enzim pencernaan (Stanley, 2007). Hati berfungsi sangat penting dalam metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Selain itu, hati juga memegang peranan besar dalam proses detoksifikasi, sirkulasi,
penyimpanan vitamin, konjugasi bilirubin
dan sebagainya. Semakin meningkatnya
usia, secara histologis dan anatomis akan terjadi perubahan akibat atrofi
sebagian besar sel. Sel tersebut akan berubah bentuk menjadi jaringan
fibrosa. Hal ini akan menyebabkan perubahan fungsi hati dalam berbagai aspek
tersebut, terutama dalam metabolisme obat-obatan. Produksi enzim amylase,
tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas metabolism karbohidrat,
pepsin dan lemak juga akan menurun (Fatmah, 2010). ·
Pada
lansia perubahan yang terjadi di usus besar dan rectum mencakup penurunan
sekresi mucus, penuruanan elastisitas dinding rectum dan penuruan persepsi distensi pada dinding
rectum. Perubahan ini memiliki sedikit atau tidak ada hubungan pada motalitas
dari feses saat buang air besar, tetapi ini merupakan predisposisi konstipasi
pada lansia karena volume rectal yang bertambah (Prather, 2000 dalam Miller,
2004). Selain itu, proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh kontraksi
dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen pada
lansia sudah melemah (Fatmah, 2010). |
B.
Faktor Risiko yang Mempengaruhi Pemenuhan Kebutuhan Gizi Pada
Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi lansia
dalam pemenuhan kebutuhan gizi adalah:
Tabel 1.2 . Faktor resiko kebutuhan gizi lansia
Faktor resiko |
Pemenuhan kebutuhan Gizi |
·
Usia ·
Jenis kelamin ·
Perawatan mulut yang tidak adekuat ·
Gangguan fungsional dan proses penyakit ·
Efek pengobatan ·
Gaya hidup ·
Faktor psikososial ·
Faktor sosial ekonomi dan budaya ·
Faktor lingkungan |
·
Seiring
pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak menurun,sedangkan
kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat. Hal ini dikarenakan
ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel tubuh dari
radikal bebas (Fatmah, 2010). ·
Fatmah
(2010) menjelaskan bahwa lansia laki-laki lebih banyak memerlukan kalori,
protein dan lemak. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik pada laki-laki
dan perempuan. ·
Perawatan
mulut yang tidak adekuat biasanya menjadi penyebab masalah kesehatan mulut
yang dapat mengakibatkan kekurangan nutrisi
dan berpengaruh pada sistem pencernaan. Faktor yang dapat menyebabkan tidak
adekuatnya perawatan gigi adalah tingkat ekonomi yang rendah, tingkat
pendidikan yang rendah, kurangnya transportasi, kurangnya pelayanan perawatan
gigi dan mahalnya pelayanan perawatan gigi (Miller, 2004). ·
Sharkey, (2002) dalam Miler, (2004) menjelaskan
bahwa gangguan fungsional kuat hubungannya dengan kekurangan nutrisi dan
kesulitan memperoleh makanan, khususnya pada komunitas lansia. Heimburger
(2006) menjelaskan bahwa 85% dari lansia memiliki penyakit kronis. Arthritis
adalah penyakit kronis yang paling umum pada lansia, selanjutnya diikuti
gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, penyakit jantung dan hipertensi.
Akibat penyakit kronis ini lansia mengalami keterbatasan dalam beraktivitas sehingga mempengaruhi kemampuan lansia
dalam memperoleh, mempersiapkan dan menikmati makanan. Selain itu pengaturan
makanan yang lebih ketat pada penderita diabetes atau gagal jantung juga
mempengaruhi selera makan pada lansia. ·
Pengobatan
menjadi faktor risiko untuk gangguan sistem pencernaan dan tidak adekuatnya
nutrisi yang masuk ke dalam sistem pencernaan, pola makan dan utilisasi
nutrisi. Pengobatan mempengaruhi nutrisi berhubungan dengan absorbsi dan
ekskresi nutrisi yang masuk ke dalam tubuh seseorang (Miller, 2004). Selain
itu, obat yang dikonsumsi dapat mengubah nafsu makan, rasa atau bau yang
mempengaruhi nutrisi ataupun memiliki efek samping seperti mual, muntah atau
diare (Heimburger, 2006). ·
Konsumsi
alkohol dan rokok dapat mengubah status nutrisi lansia dalam beberapa cara.
Alkohol memiliki jumlah kalori yang tinggi namun nilai nutrisi yang rendah.
Selain itu, alcohol juga mempengaruhi absorbs vitamin B kompleks dan vitamin
C. Merokok juga dapat mengurangi kemampuan mencium dan merasakan makanan
serta turut campur dalam absorbsi vitamin C dan asam folat (Miller, 2004). ·
Faktor
psikososial dapat mempengaruhi selera dan pola makan pada lansia. Stres dan
cemas dapat mempengaruhi proses sistem pencernaan melalui sistem saraf autonomi.
Depresi, masalah memori dan penurunan kognitif lainnya juga
dapat mempengaruhi pola makan dan kemampuan dalam menyiapkan makanan (Miller, 2004). ·
Latar
belakang suku, kepercayaan religius dan faktor budaya yang kuat dapat
mempengaruhi seseorang dalam mendefinisikan, memilih, menyiapkan dan memakan
makanan serta minuman. Faktor budaya juga dapat mempengaruhi pola makan
seseorang sehinga hal ini memiliki hubungan dengan status kesehatan seseorang
(Miller, 2004). Status ekonomi masa lalu dan sekarang pada individu juga
mempengaruhi dalam memilih makanan. Touhy & Jett (2010) menjelaskan bahwa
terdapat hubungan kuat antara kekurangan nutrisi dan pendapatan yang rendah.
Lansia dengan pendapatan yang rendah akan memikirkan dan memilih untuk
kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan makan. Bahkan, lansia memilih makan
hanya sekali dalam sehari untuk mencukupi kebutuhannya. Pendidikan juga
mempengaruhi status nutrisi pada lansia.
Biasanya lansia yang tingkat pendidikannya terbatas akan diasosiasikan dengan
kekurangan nutrisi dan kurang pelayanan gigi (Vargas et al, 2001 dalam Miller
2004). ·
Faktor
lingkungan mempengaruhi seseorang dalam menikmati makanan serta kemampuan
untuk memperoleh dan mempersiapkan makanannya. Banyak hambatan diidentifikasi
dalam lingkungan perawatan lansia seperti panti werdha, pelayanan sosial dan
rumah sakit (Miller, 2004). Touhy & Jett (2010) menjelaskan bahwa lansia
yang berada di ekonomi rendah cenderung berada di rumah yang di bawah standar
dan mungkin tidak memiliki peralatan untuk menyimpan dan memasak makanan sehingga akan mempengaruhi
asupan makanan. Lansia yang tinggal di rumah sakit atau perawatan jangka
panjang juga mungkin mengalami masalah nutrisi. Hal ini disebabkan karena
diet yang sangat dibatasi serta waktu dan fasilitas staf yang kurang dalam
membantu lansia. |
C. Gangguan sistem pencernaan pada lansia dengan konstipasi
Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau
kesulitan pergerakan feses, feses kering (Leueckenotte, 2000). Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu
dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007). International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi
dikategorikan dalam dua golongan: konstipasi fungsional dan konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan
adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus. Menurut
Stanley (2007) : Mengejan berlebihan
saat BAB, Massa feses yang keras, Perasaan
tidak puas saat BAB, Sakit pada daerah rektum saat BAB, Menggunakan jari-jari
untuk mengeluarkan feses. Makanan yang menyebabkan konstipasi adalah makanan yang
tinggi
lemak. Contoh : minyak kacang tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, ayam, daging sapi, mentega, margarin, keju, susu kental manis, tepung susu, dan sebagainya. Serta makanan yang tinggi gula, seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan (yankes.itb.ac.id).
Proses Pembentukan Feses: Setiap harinya, sekitar 750 cc chime masuk ke kolon dari ileum. Di kolon,
chime tersebut mengalami proses absorpsi air, natrium, dan kloride. Absorbsi ini dibantu dengan adanya gerakan peristaltic usus. Dari 750 cc
chime tersebut, sekitar 150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chime yang tidak direabsorbsi
menjadi bentuk semisolid yang disebut feses. Selain itu, dalam saluran cerna banyak terdapat bakteri. Bakteri tersebut mengadakan fermentasi
zat makanan yang tidak dicerna. Proses fermentasi
akan menghasilkan gas yang dikeluarkan melalui anus setiap
harinya, yang kita kenal dengan istilah flatus.
Misalnya, karbohidrat saat difermentasi akan menjadi hydrogen, karbondioksida, dan gas metan.
Apabila terjadi gangguan pencernaan
karbohidrat, maka akan ada banyak gas yang terbentuk saat fermentasi.
Akibatnya, seseorang akan merasa
kembung. Protein, setelah mengalami proses fermentasi
oleh bakteri, akan
menghasilkan asam amino, indole, statole, dan hydrogen sulphide.
Oleh karenanya, apabila terjadi gangguan pencernaan protein maka flatus dan
fesesnya menjadi
sangat bau (Asmadi. 2008). Akibat Konstipasi Menurut Darmojo & Martono (2006)
akibat-akibat konstipasi antara lain:
·
Impaksi feses: Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya
penyerapan
dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.
·
Volvulus daerah
sigmoid: Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan
konstipasi dapat berakibat
prolaps dari rektum.
·
Haemorrhoid : Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi sehingga ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid.
·
Kanker
kolon: Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang keras akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki
waktu yang cukup
lama untuk memproduksi karsinogen dan
karsinogen yang diproduksi
menjadi lebih konsentrat.
·
Penyakit divertikular : Mengedan berlebihan
(peningkatan tekanan intraabdominal) pada
penderita konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantung-kantung pada dinding kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisa-sisa makanan. Kantung-kantung ini dapat meradang dan disebut
dengan divertikulitis.
DAFTAR
PUSTAKA
Arisman. (2004). Gizi dalam daur kehidupan: buku ajar ilmu
gizi. Jakarta: EGC.
Asmadi.(2008). Teknik
prosedural keperawatan : konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta
: Salemba medika.
Darmojo, R.B & Martono, H.H. (2006). Geriatri
Ilmu Kesehatan Usia Lanjut (Edisi Ketiga). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ebersole, P.,
Hess,P., Touhy,T.,Jett,K. (2009). Gerontological
nursing &health aging.2nded. St. Louis, Missouri: Mosby,
Inc.
Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Heimburger, D.C.
& Ard, J.D. (2006). Handbook of
clinical nutrition. 4th ed. Philadelphia:
Mosby Elseiver.
ITB. (2008). Konstipasi:
Penyebab dan Cara Penanganan yang Tepat. http://yankes.itb.ac.id/?page_id=365.
Diunduh 4
okt 2014.
Lueckenotte, A.G.
(2000). Gerontologic Nursing. (2nd ed.). Missouri : Mosby.
Meiner, Sue E &
Annette, G.L. (2006). Gerontological
nursing. 3thed. St. Louis Missouri:
Mosby.
Miller, Carol A.
(2004). Nursing for wellness in older
adults: theory and practice. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkin.
Stanley, M. dan Patricia
G. B. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. Alih bahasa Nety
J. dan Sari K. Jakarta : EGC.
Touhy, T.A. &
Jett, K.F. (2010). Ebersole & Hess’
gerontological nursing & healthy aging. 3rd ed. St. Louis Missouri: Mosby