I.
DEFINISI
Child
Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka
yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki
kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua,
keluarga dekat, dan guru.
Child abuse
adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat
anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik,
perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.
Sementara
menurut U.S Departement of Health,
Education and Wolfare memberikan definisi Child abuse sebagai
kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak
dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak
terancam
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala
bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan
terhadap anak. Child abuse atau
perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk
terhadap anak ataupun adolesens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang
seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka.
II.
HAK-HAK
ANAK
A.
Hak
pendidikan
1.
Hak
untuk mendapatkan kemudahan akses pendidikan yang berkualitas, bebas dan
pendidikan dasar wajib.
2.
Tidak
adanya diskriminasi dalam mendapatkan akses pendidikan (kesenjangan gender)
3.
Hak
untuk mengikuti segala kegiatan rekreasi dan kebudayaan
B.
Hak
Kesehatan
1.
Hak
untuk mendapatkan kemudahan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas
2.
Hak
perlakuan khusus bagi anak penyandang cacat
3.
Hak
mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja
4.
Hak
untuk memperoleh keuntungan dari jaminan social
5.
Hak
untuk mendapatkan jaminan kehidupan yang layak
C.
Hak
Perlindungan Khusus
1.
Perlindungan
terhadap semua bentuk eksploitasi (ekonomi, seksual)
2.
Hak
mendapatkan perlindungaan dari kekerasan fisik terhadap anak (fisik, psikologi,
seksual)
3.
Perlindungan
terhindar dari mutilasi genital (kebiri) dan pernikahan dini
4.
Penyiksaan
dan perampasan kebebasan untuk remaja dalam konflik dengan hokum
5.
Pekerjaan
yang berbahaya
6.
Merokok,
penyalahgunaan zat, dan perdagangan
7.
Anak
jalanan.
III.
KLASIFIKASI
Terdapat dua golongan besar, yaitu:
A.
Di dalam
Keluarga
1.
Penganiayaan
a.
Penganiayaan fisik, non Accidental “injury” mulai
dari ringan “bruiser laserasi” sampai pada trauma neurologik yang berat dan
kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau
pemberian racun.
b.
Penganiayaan emosional
Ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan
anak, tidak mengakui sebagai anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu
diikuti bentuk penganiayaan lain.
c.
Penganiayaan seksual
Penganiayaan seksual mempergunakan pendekatan
persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk mengajak berperilaku/mengadakan
kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan kegiatan seperti: aktivitas
seksual (oral genital, genital, anal, atau sodomi) termasuk incest.
2.
Penelantaran
anak/kelalaian
Penelantantaran anak/kelalaian, yaitu: kegiatan atau behavior
yang langsung dapat menyebabkan efek merusak pada kondisi fisik anak dan
perkembangan psikologisnya.
Kelalaian ini dapat berupa :
a.
Pemeliharaan yang kurang memadai. Menyebabkan
gagal tumbuh, anak merasa kehilangan kasih sayang, gangguan kejiwaan,
keterlambatan perkembangan
b.
Pengawasan yang kurang memadai. Menyebabkan anak
gagal mengalami resiko untuk terjadinya trauma fisik dan jiwa.
c.
Kelalaian dalam mendapatkan pengobatan
d.
Kegagalan dalam merawat anak dengan baik
e.
Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan
dalam mendidik anak agar mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal
menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak
terpaksa putus sekolah.
B.
Di luar Rumah
Dalam institusi/ lembaga, di tempat kerja, di jalan, di medan
perang.
Macam – macam Child Abuse :
1. Emotional Abuse,
Perlakuan
yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror, mengabaikan anak,
atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa dirinya tidak
dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan menyebabkan
kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional anak.
Indikator
fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan. Indikator
perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul ).
2. Physical Abuse
Cedera
yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang dapat
menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai tindakan
yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa luka
memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan.
Indikator
fisik – luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut,
cakaran. Indikator perilaku – waspada saat bertemu degan orang dewasa,
berperilaku ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut
untuk pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.
Gambaran kekerasan fisik pada anak.
Ø Human bites
-
Strongly
suggest abuse
-
Easily
overlooked
-
Location
of bite marks on infants differ
from sites on older
children
Ø Bruises
-
Generally
speaking:
o
fresh
injury is red to blue
o
1-3 days
deep black or purple
o
3-6 days
color changes to green and then brown
o
6-15
days: green to tan to yellow to faded, then disappears
-
The
younger the child the quicker the color resolves.
Ø Burn
Ø Suspicious Fracture
Ø Falls
-
In most
cases, falls cause a minor injury.
-
If a
child is reported to have had a routine
fall but has what
appear to be severe injuries,
the inconsistency of
the history with the injury
indicates child
abuse
Ø Head, Facial Oral Injuries
-
Head is
a common area of injury.
-
Approx.
50 % of physical abuse patients have head or facial injuries.
-
Injuries
to the sides of the face, ears, cheeks, and temple area are highly suspicious
for abuse.
-
Mouth/lip/teeth
injuries
3. Neglect
Kegagalan
orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti tidak
memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau meninggalkan
anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.
Indikator
fisik–kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya
perhatian, masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.
4. Sexual Abuse
Termasuk
menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar pornografi anak-anak,
atau aktifitas sexual lainnya kepada anak. Indikator fisik , kesulitan untuk
berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam, nyeri atau gatal di
area genital, memar atau perdarahan di area genital / rektal, berpenyakit
kelamin.
Indikator
kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak sesuai
dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya,
tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif /
berperilaku yang menggairahkan, penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan
tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).
Ø Perilaku
Seksual yang Menyimpang:
a)
Homoseksual/ Lesbian
Homoseksual
adalah aktivitas seks yang terjadi akibat perubahan orientasi pasangan seks,
pelakunya disebut gay atau homo untuk pria. Lesbian adalah untuk penyuka sesame
jenis wanita.
b)
Sadomasokisme
Aktifitas
ini adalah salah satu jenis penyimpangan seks yang sangat berbahaya sebab jika
dilakukan secara ekstrim dapat menyebabkan kematian seks diperoleh dengan cara
menyiksa partner seks terlebih dahulu sebelum melakukan hubungan intim. Semakin
keras rasa sakit yang ditimbulkan maka pelaku akan semakin terangsang.
Sedangkan masokisme adalah perilaku menyimpang dimana penderita merasa puas
jika disiksa atau disakiti selama melakukan hubungan intim
c)
Eksibhisionisme
Ekshibisionisme
adalah perilaku seks menyimpang dimana pelakunya akan memperoleh kenikmatan
dengan cara memperlihatkan organ seksnya kepada orang lain. Objek yang kaget,
takut, malu dan menjerit akan semakin membuat pelaku terangsang. Meski
penyimpangan seks ini sebagian besar diidap kaum pria, namun banyak juga wanita
yang senang mempertontonkan anggota tubuh vitalnya kepada orang lain di depan
public atau melalui media social seperti facebook ataupun twitter.
d)
Voyeurisme
Voyeurisme
adalah perilaku seks menyimpang dimana pelakunya memperoleh kepuasan seks
dengan cara mengintip orang lain yang sedang telanjang, mandi ataupun saat
berhubungan seks. Pelaku umumnya tidak akan melakukan kekerasan fisik pada
korban, hanya mengintip atau melakukan masturbasi setelah atau selama
mengintip.
e)
Fethisisme
Aktivitas
fethishisme disebut aneh karena pelaku hanya bisa menyalurkan hasrat seksnya
terhadap benda-benda tertentu seperti BH, celana dalam, kaos kaki atau benda
lain. Pelaku akan melakukan masturbasi hanya dengan memegang objek tersebut
sambil membayangkan bersetubuh dengan objek tersebut.
f)
Pedophilia
Pedophilia
bukan hanya penyimpangan seks tetapi juga pelanggaran hokum yang sangat fatal.
Pedophilia adalah ketertarikan melakukan aktivitas seks terhadap anak kecil di
bawah umur. Pelaku sebagian besar adalah orang dekat korban seperti keluarga
ataupun tetangga.
g)
Bestially
Bestially
adalah perilaku seks menyimpang dimana penderita memiliki ketertarikan
melakukan hubungan seks dengan binatang seperti kuda, anjing, ayam, ular, dan
lain-lain.
h)
Incest
Incest
adalah hubungan intim yang dilakukan terhadap sesama anggota keluarga seperti
antara anak dengan ayah atau ibu, paman dengan keponakan, antara sepupu atau
antara saudara dengan saudara. Hubungan rahasia ini biasanya tersembunyi sangat
rapat dan sangat jarang diketahui atau terbongkar.
i)
Necrophilia
Adalah
jenis penyimpangan seks dimana pelaku melakukan hubungan seks dengan mayat.
Umumnya pelaku adalah pria yang mengalami gangguan perilaku dan keterhambatan
social dan menjadikan mayat yang tidak berdaya sebagai objek.
j)
Frotteurisme
Di Jepang
disebut dengan istilah Chikan, dimana seseorang mendapatkan kepuasan seks
dengan cara menggosok-gosokkan alat kelaminnya ke tubuh wanita di tempat umum
seperti di kereta, bis, atau di tempat keramaian lainnya.
k)
Nymphomania
Adalah
perilaku seks yang menyimpang dimana pelakunya memiliki gairah seks yang tinggi
dan sulit dibendung.
IV. ETIOLOGI
Menurut
Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse,
yaitu:
1.
Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang
memiliki kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau
orang tua tidak memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan
yang tidak sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari
keluarga yang lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling
berjauhan dari rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan
support kepadanya.
2.
Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal
ini dapat terjadi pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak
direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang
tidak disukai, misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan
berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus
berpisah untuk beberapa lama, padahal pada beberapa hari inilah normal bonding
akan terjalin.
3.
Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak
terlalu berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag
sering terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang
sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang lebih
besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena
stress dapat terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial
ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka child abuse dapat terjadi pada semua
tingkatan.
Menurut Rusel dan
Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena wanita
merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak
melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih
besar untuk melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik
maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:
1.
Stress yang berasal dari anak.
a.
Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik
anak berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak
mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan anak
lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b.
Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga
anak mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan
lingkungan di sekitarnya.
c.
Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung
mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki
temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen keras
cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak bertemperamen lemah.
d.
Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak
sewajarnya dan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan
bertingkah aneh di dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e.
Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar
disebabkan orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil
perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang
kuat antara anak angkat dan orang tua.
2.
Stress keluarga
a. Kemiskinan
dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang menyebabkan
terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini berhubungan kuat dengan
kelangsungan hidup. Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama demi
mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus mengorbankan keluarga.
b.
Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga
berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan
sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan tingkah
laku anak.
c. Perceraian,
perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan kehilangan kasih
sayang dari kedua orangtua.
d. Anak
yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku
kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb.
3.
Stress berasal dari orang tua,
a.
Rendah diri, anak dengan rendah diri
akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak selalu merasa dirinya tidak
berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b.
Waktu kecil mendapat perlakuan
salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah pada masa kecil akan melakuakan
hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai bentuk pelampiasan atas
kejadian yang pernah dialaminya.
c.
Harapan pada anak yang tidak
realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat orangtua mengalami stress
berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua
cenderung menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan
tindakan kekerasan.
V.
DAMPAK
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan
bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam
beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah
frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai
kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada
pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain
itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh
kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak
korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku
menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004)
mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan,
memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut
ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak
(child abuse),
antara lain;
a.
Dampak
kekerasan fisik, anak
yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif,
dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua
agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi
orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan
bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap
anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal
dunia;
b.
Dampak
kekerasan psikis. Unicef
(1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti
dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti
bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan,
anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki
dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar
diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata
seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang
tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya
rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik
diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri;
c.
Dampak
kekerasan seksual.
Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam
terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat
eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah.
Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak
ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan
seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan
antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa
takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom
fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
d.
Dampak
penelantaran anak.
Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya
perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990)
mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan
berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan
selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
e.
Dampak
yang lainnya (dalam Sitohang,
2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam
merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam
mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau
menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus
sekolah.
VI.
MANIFESTASI KLINIS
Akibat
pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar,
patah tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya
kerusakan organ dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya
jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat
lainnya. Kematian.
Akibat
pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami
perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
1.
Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak mendaapat perlakuan salah.
2. Perkembangan
kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
a)
Kecerdasan
a. Berbagai
penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif,
bahasa, membaca, dan motorik.
b. Retardasi
mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
c. Pada
beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang
adekuat atau karena gangguan emosi.
b)
Emosi
a. Terdapat
gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau bermusuh dalam
mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain,
termasuk kemampuan untuk percaya diri.
b. Terjadi
pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan
orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak
suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah,
sulit tidur, tempretantrum, dsb.
c) Konsep
diri
Anak
yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak
dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan
bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
d) Agresif
Anak
yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman
sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka
atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil
miskinnya konsep diri.
e) Hubungan
social
Pada
anak sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang
dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa,
misalnya dengan melempari batu atau perbuatan2 kriminal lainnya.
f) Akibat
dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda
penganiayaan seksual antara lain:
a. Tanda
akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan
perdarahan anus.
b. Tanda
gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis,
anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
c. Tingkah
laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus
anak.
VII.
MEKANISME KOPING
Mekanisme koping
adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk
melindungi diri antara lain :
1.
Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada
obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya
adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2.
Proyeksi :Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3.
Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4.
Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5.
Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada
obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat
hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Perawat seringkali menjadi orang
yang pertamakali menemui adanya tanda kekerasan pada anak (lihat indicator
fisik dan kebiasaan pada macam-macam child
abuse di atas). Saat abuse terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan
seluruh gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak,
kemudian menginterview anak.
1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan
di rumah orang lain atau saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi
adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah
psikiatrik.
3. Identifikasi
situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4. Identifikasi
bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan tinggi (seperti
prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan, ketidakmampuan
perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian)
5. Monitor
reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis
kelamin anak yang dilahirkan.
6. Kaji
pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
7. Kaji
respon psikologis pada trauma
8. Kaji
keadekuatan dan adanya support system
9. Situasi Keluarga.
Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk
menegakkan diagnosa keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain:
1) Psikososial
Melalaikan diri (neglect), baju dan
rambut kotor, bau
Gagal tumbuh dengan baik
Keterlambatan perkembangan tingkat
kognitif, psikomotor, dan psikososial
With drawl (memisahkan diri) dari
orang-orang dewasa
2) Muskuloskeletal
Fraktur
Dislokasi
Keseleo (sprain)
3)
Genito Urinaria
Infeksi saluran kemih
Perdarahan per vagina
Luka pada vagina/penis
Nyeri waktu miksi
Laserasi pada organ genetalia
eksternal, vagina, dan anus.
4)
Integumen
Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus
luka bakar oleh karena rokok)
Luka bakar pada kulit, memar dan
abrasi
Adanya tanda2 gigitan manusia yang
tidak dapat dijelaskan
Bengkak.
Evaluasi diagnostik
Diagnostik perlakuan salah dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang teliti,
dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.
a)
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
1)
Penganiayaan fisik. Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:
Luka memar, terutama di wajah,
bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
Luka bakar yang patogomonik dan
sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam air panas, atau luka bakar
berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat aliran listrik seperti oven
atau setrika.
Trauma kepala, seperti fraktur
tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan fraktur tulang panjang
yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.
Trauma abdomen dan toraks lebih jarang
dibanding trauma kepala dan tulang pada penganiayaan anak. Penganiayaan fisik
lebih dominan pada anak di atas usia 2 tahun.
2)
Pengabaian
Pengabaian non organic failure to
thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan kegagalan mengikuti pola
pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi respons baik terhadap
pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
Pengabaian medis, yaitu tidak
mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita penyakit kronik karena
orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik. Tidak mampu imunisasi dan
perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga
mencakup kelalaian merawat kesehatan gigi dan mulut anak sehingga.
3)
Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
Nyeri vagina, anus, dan penis serta
adanya perdarahan atau sekret di vagina.
Disuria kronik, enuresis, konstipasi
atau encopresis.
Pubertas prematur pada wanita
Tingkah laku yang spesifik:
melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya, binatang, atau objek tertentu.
Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan umur anak serta tingkah laku
yang menggairahkan.
Tingkah laku yang tidak spesifik:
percobaan bunuh diri, perasaan takut pada orang dewasa, mimpi buruk, gangguan
tidur, menarik diri, rendah diri, depresi, gangguan stres post-traumatik,
prostitusi, gangguan makan, dsb.
b)
Laboratorium
Jika
dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada penganiayaan
seksual, dilakukan pemeriksaan:
Swab untuk analisa asam fosfatase,
spermatozoa dalam 72 jam setelah penganiayaan seksual.
Kultur spesimen dari oral, anal, dan
vaginal untuk genokokus
Tes untuk sifilis, HIV, dan
hepatitis B
Analisa rambut pubis
c)
Radiologi
Ada
dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada anak,
yaitu untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,
Pemeriksaan
radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya dilakukan untuk meneliti
tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun hanya perlu dilakukan jika ada
rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan pada saat pemeriksaan fisik.
Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan adanya penyaniayaan fisik.
CT-scan lebih sensitif dan spesifik
untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya diindikasikan pada pengniayaan anak
atau seorang bayi yang mengalami trauma kepala yang berat.
MRI (Magnetik Resonance Imaging)
lebih sensitif pada lesi yang subakut dan kronik seperti perdarahan subdural
dan sub arakhnoid.
Ultrasonografi digunakan untuk
mendiagnosis adanya lesi visceral
Pemeriksaan kolposkopi untuk
mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan seksual.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Perilaku
kekerasan berhubungan dengan keluarga tidak harmonis ,harga diri rendah.
b.
Isolasi
social berhubungan dengan koping keluarga inefektif, keluarga yang tidak
harmonis.
c.
Koping keluarga inefektif berhubungan dengan
keluarga tidak harmonis.
d.
Risiko
mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
I. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga
diri rendah
Tujuan.
Klien dapat mengontrol perilaku
kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain.
Kriteria
hasil:
Klien dapat membina hubungan saling
percaya.
Klien dapat mengidentifikasi
kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
Klien dapat menilai kemampuan yang
digunakan.
Klien dapat menetapkan dan
merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
Klien dapat melakukan kegiatan
sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
Klien dapat memanfaatkan sistem
pendukung yang ada.
Intervensi :
1.
Bina hubungan
saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
Rasional
: hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai
dasar untuk intervensi selanjutnya.
2.
Diskusikan
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional
: mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3.
Setiap bertemu
klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional
: pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
4.
Utamakan
memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional
: meningkatkan harga diri klien.
5.
Diskusikan
dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional
: mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6.
Diskusikan
kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional
: mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7.
Berikan pujian.
Rasional
: meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8.
Minta klien
untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional
: agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang
dimiliki.
9.
Bantu klien
melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional
: menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10.
Beri pujian
atas keberhasilan klien.
Rasional
: meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11.
Diskusikan
jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional
: mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12. Beri kesempatan
pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional
: tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon
koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13.
Beri pujian
atas keberhasilan klien.
Rasional
: meningkatkan harga diri klien.
14.
Diskusikan
kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional
: mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
II. Isolasi social berhubungan dengan perilaku
kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Tujuan
Klien
dapat menerima interaksi social terhadap individu lainya.
Kriteria hasil
Klien
dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
Klien
dapat berkomunikasi dengan baik atau jelas dan terbuka.
Klien
dapat menggunakan koping yang konstruktif.
Kecemasan
klien telah berkurang.
Intervensi
1. Psikoterapeutik.
a. Bina hubungan saling percaya
Buat kontrak dengan klien :
memperkenalkan nama perawat dan waktu interaksi dan tujuan.
Ajak klien bercakap-cakap dengan
memanggil nama klien, untuk menunjukkan penghargaan yang tulus.
Jelaskan kepada klien bahwa
informasi tentang pribadi klien tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang
tidak berkepentingan.
Selalu memperhatikan kebutuhan
klien.
b. Berkomunikasi dengan klien secara
jelas dan terbuka
Bicarakan dengan klien tentang
sesuatu yang nyata dan pakai istilah yang sederhana
Gunakan komunikasi verbal dan non
verbal yang sesuai, jelas dan teratur.
Bersama klien menilai manfaat dari
pembicaraannya dengan perawat.
Tunjukkan sikap empati dan beri
kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaanya
c. Kenal dan dukung kelebihan klien
Tunjukkan cara penyelesaian masalah
(koping) yang bisa digunakan klien, cara menceritakan perasaanya kepada
orang lain yang terdekat/dipercaya.
Bahas bersama klien tentang koping
yang konstruktif
Dukung koping klien yang konstruktif
Anjurkan klien untuk menggunakan koping
yang konstruktif.
d. Bantu klien mengurangi cemasnya
ketika hubungan interpersonal
Batasi jumlah orang yang berhubungan
dengan klien pada awal terapi.
Lakukan interaksi dengan klien
sesering mungkin.
Temani klien beberapa saat dengan
duduk disamping klien.
Libatkan klien dalam berinteraksi
dengan orang lain secara bertahap, dimulai dari klien dengan perawat, kemudian
dengan dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan seterusnya.
Libatkan klien dalam aktivitas
kelompok.
2.
Pendidikan kesehatan
a.
Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan kata-kata
seperti dengan menulis, menangis, menggambar, berolah-raga, bermain musik, cara
berhubungan dengan orang lain : keuntungan berhubungan dengan orang lain.
b.
Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.
c.
Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan hubungan dengan
klien.
d.
Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam aktivitas dilingkungan
masyarakat.
3.
Kegiatan hidup sehari-hari
a.
Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat melaksanakannya
sendiri.
b.
Bimbing klien berpakaian yang rapi
c. Batasi
kesempatan untuk tidur
d. Sediakan
sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat kabar, radio dan
televisi.
e.
Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.
4.
Lingkungan Terapeutik
a.
Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun orang lain dari
ruangan.
b.
Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam jangka
waktu yang lama.
c.
Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di ruangan.
III.
Koping keluarga inefektif berhubungan
dengan keluarga tidak harmonis.
Tujuan
Koping adatif dapat dilakukan dengan
optimal.
Kriteria
hasil
Keluarga dapat mengenal masalah
dalam keluarga dan menyelesaikannya dengan tindakan yang tepat.
Intervensi
1.
Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .
Rasional
: Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima perasaannya sehingga
mempermudah pemberian asuhan kepada anak dengan benar.
2.
Beri reinforcement positif atas tindakan keluarga yang adaptif.
Rasional
: Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara baik dan benar tanpa
menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan yang buruk.
3. Diskusikan
dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya terhadap anak.
Rasional
: Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya dapat dilaksanakan
keluarga terhadap anak.
4. Diskusikan
dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua sebagai status pendukung
dalam proses tumbuh kembang anak.
Rasional
: Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk meningkatkan peran
sertanya dalam pengasuhan dan proses tumbuh kembang anaknya.
5.
Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.
Rasional
:Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga ( orang tua ),tentang
pentingnya peran orang tua dalam tumbuh kembang anak,memiliki pengetahuan
tentang metode pengasuhan yang baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima
anaknya dalam keadaan apapun.
IV. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan
Tujuan.
Klien tidak mencederai diri / orang
lain / lingkungan.
Kriteria
hasil:
Klien dapat membina hubungan saling
percaya.
Klien dapat mengidentifikasi
penyebab perilaku kekerasan.
Klien dapat mengidentifikasi
tanda-tanda perilaku kekerasan.
Klien dapat mengidentifikasi
perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
Klien dapat mengidentifikasi akibat
perilaku kekerasan.
Klien dapat melakukan cara berespons
terhadap kemarahan secara konstruktif.
Klien dapat mendemonstrasikan sikap
perilaku kekerasan.
Klien dapat dukungan keluarga dalam
mengontrol perilaku kekerasan.
Klien dapat menggunakan obat yang
benar.
Intervensi :
1.
Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu
tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan
tenang, observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati.
Rasional
: Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar
untuk intervensi selanjutnya.
2.
Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional
: Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam
menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3.
Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional
: pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan
menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4.
Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional
: Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah
yang konstruktif pula.
5.
Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional
: mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk
intervensi.
6.
Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional
: memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7.
Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional
: memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8.
Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Rasional
: mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9.
Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya
selesai.
Rasional
: membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
10.
Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional
: mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11.
Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional
: mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
12.
Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional
: menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
13.
Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional
: mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
14.
Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
Secara
fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau pekerjaan
yang memerlukan tenaga.
Secara
verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
Secara
sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif,
latihan manajemen perilaku kekerasan.
Secara
spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar diberi
kesabaran.
Rasional
: dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
15.
Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional
: memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
16.
Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional
: mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17.
Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional
: mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18.
Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional
: meningkatkan harga diri klien.
19.
Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel /
marah.
Rasional
: mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20.
Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional
: memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
21.
Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional
: menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku
klien.
No comments:
Post a Comment