Friday, June 19, 2020

Asuhan Keperawatan Anak dengan Epilepsi

Asuhan Keperawatan Anak dengan Epilepsi

Sumber:

Ngastiyah.1997.Perawatan Anak Sakit.Jakarta:EGC.
Soetomengddim Taskun S.2000.Neurologi Anak.Jakarta: BP IDAI

Wong, Donna L.1996.Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Jakarta:EGC.



BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Definisi
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.
      Epilepsi adalah gangguan kronik dengan ciri timbulnya dengan gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan yang berulang-ulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik yang abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dasn menghilang secara tiba-tiba. (Arif Mansoer,1999: 27). Epilepsi merupakan suatu manifestasi lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat, gejala ini merupakan terganggunya fungsi otak (Donna L. Wong, hal. 376). Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepasnya muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

Dampak pada anak-anak, biasanya terjadi sebagai berikut.
1.      Long Term General Effect, secara umum untuk efek jangka lama dari kejang sangat bergantung pada penyebabnya. Anak-anak yang mengalami epilepsy akan berdampak terhadap kondisi yang spesifik, contohnya injuri kepala dan gangguan saraf yang mempunyai mortalitas lebih tinggi daripada populasi normal.
2.      Effect on Memory and Learning. Secara umum anak-anak yang mengalami kejang akan lebih berdampak pad perluasan gangguan otak dan akan terjadi keburukan. Anak dengan kejang yang tidak terkontrol merupakan factor risiko terjadinya kemunduran intelektual.
3.      Social and Behavioral Consequences. Gangguan pengetahuan dan bahasa, dan emosi serta gangguan tingkah laku, terjadi pada sejumlah anak dengan beberapa sindrom epilepsy parsial. Anak-anak tersebut biasanya berpenampilan dengan sikap yang buruk dibandingkan dengan anak lainnya.

B.     Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsy sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Namun hal ini sering terjadi pada:
1.      Trauma lahir, Asphyxia neonatum
2.      Cedera kepala, infeksi system saraf
3.      Keracunan Karbon monoksida, intoksikasi obat atau alcohol
4.      Demam, gangguan metabolic (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5.      Tumor Otak
6.      Kelainan pembuluh darah
Ditinjauh dari penyebabnya, epilepsy dibagi menjadi dua, yakni:
1.      Epilepsi primer (idiopatik)
Epilepsy primer hingga kini belum ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kmiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2.      Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsy yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena di bawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolism dan nutrisi (misalnya hipogklikemi, fenilketonuria/ PK, defisiensi vitamin B6), factor toksik (putus alcohol, uremia), ensefalitis, anoksia gangguan sirkulasi dan neoplasma.
Penyebab spesifik epilepsi
1.      Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol atau mengalami cidera.
2.      Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia kerusakan karena tindakan.
3.      Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4.      Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak
5.      Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6.      Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak, yaitu encephalitis dan meningitis. Organ dari CNS (otak dan medulla spinalis) dilapisi oleh tiga lapisan jaringan konektif yang disebut dengan meningen dan berisikan pia meter, arachnoid, dan durameter. Meningen ini membantu menjaga aliran darah dan cairan cerebrospinal. Struktur ini merupakan yang dapat terjadi meningitis, inflamasi meningitis, dan jika terjadi keparahan maka tidak menjadi encephalitis dan inflamasi otak.
7.      Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8.      Kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
9.       Gangguan mekanisme biologis : abnormalitas dalam otak  yang menyebabkan sejumlah sel-sel syaraf dan kortex serebral menjadi aktif secara serempak, memancarkan secara tiba-tiba, dan peledakan yang berlebihan dari energy elektrikal. Hal ini meliputi kerja dari kanal-kanal ion dan neurotransmitter (Gamma aminobutyric acid (GABA), Serotonin, Acetylcholine  ).

C.     Patologi
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi). Secara Patologi, fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi :
1.      Ketidakstabilan membran sel saraf
2.      Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3.       Polarisasi abnormal.
4.       Ketidakseimbangan ion.
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari gangguan sistem saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia).
Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensefalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi (Brunner, 2003)
Pada tingkat membran sel, neoron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. beberapa diantaranya adalah:
1.      Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2.      Neuron hipersensitifdengan ambang yang menurun sehingga mudah terangsang dan dapat terangsang secara berlebihan
3.      Terjadi polarisasi yang abnormal ( polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi, atau terhentinya repolarisasi).
4.      Ketidakseimbangan ion uang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal mengalami perubahan
Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan membran neuron mengalami depolarisasi.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Akibat adanya distriknia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sapai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Keadaan ini dapat duhubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan, hilangnya tonus otot serta gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensai, dan persepsi. Sehingga epilepsi bukan penyakit tetapi suatu gejala.Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf pada salah satu bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. karakteristik kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebihan ini. Pola awal kejang menunjukkan daerah otak dimana kejang tersebut berasal. Juga penting untuk menunjukkan jika klien mengalami aura (suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik yang dapat menunjukkan asal kejang misalnya melihat kilatan sinar dapat menunjukkan kejang berasal dari lobus oksipital)

D.    Tanda dan gejala
Manifestasi bangkitan kejang dapat bermacam dari yang ringan sampai berat. Yang ringan seperti rasa tidak enak di perut, dan yang berat dapat berupa gangguan kesadaran, gangguan fungsi motorik, sensorik, otonom, fungsi luhur, gangguan tingkah laku.  Sebetulnya setiap orang dapat dibuat mengalami kejang asal diberikan rangsangan yang cukup kuat, misalnya elektrosyok atau suntikan metrazol. Bila rangsangan tersebut melampui ambang kejang maka terjadi kejang.
1.      Kejang parsial
a.       Kejang parsial sederhana,
Dicirikan dengan hal berikut:
                                  i.            Tetap sadar dan waspada
                                ii.            Gejala motorik terlokalisasi pada salah satu sisi tubuh
                              iii.            Gejala somatosensori, psikis, otonomik
                              iv.            Gabungan dari hal-hal di atas

Manifestasi:
                             i.            Kejang aversive (kejang motorik paling umum pada anak), mata atau kedua amta dan kepala saling menjauh dari sisi focus, kesadaran terhadap gerakan
                           ii.            Kejang Rolandic (sylvian), gerakan tonik-klonik yang melibatkan wajah, salvias, bicara terhenti, paling umum selama tidur.
                         iii.            Gerakan jacksonian (jarang pada anak), gerakan klonik berkembangan secara berurutan dari mulai kaki, tangan, atau wajah dan bergerak atua “gerakan; bagian tubuh yang berdekatan

b.      Kejang sensori khusus
Dicirikan dengan berbagai sensasi, termasuk hal-hal berikut: Kebas, kesemutan, rasa terturuk, parestesia, atau nyeri yang berasal dari satu area (misalnya wajah atau eksremitas) dan menyebar ke bagian tubuh lainnya. Sensasi penglihatan atau pembentukan gambaran. Fenomena motorik sesuai postur atau hipertonia. Tidak umum pada anak-anak di bawah 8 tahun.

c.       Parsial Kompleks (psikomotor)
Lebih sering terjadi pada anak dari usia 3 tahun sampai remaja. Dicirikan dengan:
a.       Aura adalah sensasi paling sering yakni perasaan kuat apda dasar lambung yang naik ke tenggorok; juga bau aneh; halusinasi rasa atau pendengaran serta penglihatan, atau perasaan déjà vu
b.      Kerusakan kesadaran, mungkin tampak linglung dan konfusi, tidak dapat berespons atau mengikuti instruksi.
c.       Automatisme, aktivitas berulang tanpa tujuan dilakukan dalam keadaan bermimpi, seperti manatap langit, menjadi lemas atau kaku, mengambil sikap, mengulang kata-kata, menarik-narik pakaian, mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, perilaku social atau perilaku asocial atau tidak tepat, seperti membuka pakaian di depan umum atau bertindak agresif (kurang umum pada anak-anak)
d.      Pasca kejang, setelah kejang, anak dapat merasa disorientasi, konfusi, dan tidak mempunyai ingatan tentang fase  kejang

2.      Kejang Umum
Kejang tonik-klonik dahulu disebut grand mal. Paling umum dan paling dramatis dari semua manifestasi kejang. Terjadi tanpa peringatan.
a.       Fase tonik
Manifestasi:
                                i.            Mata ke atas
                              ii.            Kesadaran hilang dengan segera
                            iii.            Bila berdiri jatuh ke lantai atau tanah
                            iv.            Kekakuan terjadi pada kontraksi tonik simetrik yang umum pada seluruh otot tubuh
                              v.            Lengan biasanya fleksi
                            vi.            Kaki, kepala, dan leher ekstensi
                          vii.            Tangisan aneh, melengking (menangis epileptic)
                        viii.            Apnea, dapat menjadi sianotik
                            ix.            Peningkatan salivasi
b.      Fase Klonik
                                i.            Manifestasi: gerakan kasar pada tubuh dan ekstremitas berada pada kontraksi dan relaksasi yang berirama, berbusa pada mulut karena hipersalivasi, dapat mengalami inkontinensia urine.
                              ii.            Saat kejang berakhir, gerakan berkurang, terjadi pada interval yang lebih panjang, kemudian berhenti secara keseluruhan.
                            iii.            Status epileptikus: urutan kejang pada interval yang terlalu singkat untuk memungkinkan anak sadar kembali di antara waktu berakhirnya satu episode dan dimulainya episode berikutnya. Memerlukan intervensi darurat. Dapat menimbulkan kelelahan, gagal napas, dan kematian.
                            iv.            Status pasca kejang: tampak rileks, dapat tetap semi sadar dan sulit untuk bangun, dapat terbangun dalam beberapa menit, tetap mengalami konfusi selama beberapa jam, koordinasi buruk, kerusakan ringan pada gerakan motorik halus, dapat megalami kesulitan penglihatan dan bicara, muntah atau mengeluh sakit kepala berat.

E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi misalnya kadar gula darah, elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan, perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi.
2.      Pemeriksaan EEG,
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan. EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya deficit (kelainan) neurologis. Tiidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang atua demam segera setelah atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsy.
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa epilepsiform discharge atau epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and wave dan sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
3.      Pemeriksaan radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.
4.      Neuroimaging
a.       CT Scan
Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal gangguan degenerative serebral. Merupakan tes gambaran otak pertama yang dianjurkan untuk banyak anak dengan kejang awal. Teknik gambaran ini cukup sensitive untuk berbagai tujuan. Teknik penggambaran yang lebih sensitive dibandingkan dengan X-Ray, mengikuti makna yang tinggi terhadap struktur tulang dan jaringan yang lunak, clear images dari organ seperti otak, otot, struktur join, vena dan arteri.
b.      MRI (magnetic resonance imaging) kepala
Digunakan untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil, seperti lesi kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut di lobus tempralis. Gambaran dari MRI dapat digunakan untuk persiapan pembedahan. Kedua pemeriksaan tersebut tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya

F.      Penatalaksanaan
1.      Pencegahan
Upaya social luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsy. Risiko epilepsy muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang member keamanan yang tingi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsy akibat cedera kepala. Ibu yang mempunyai risiko tinggi (misalnya tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus diiidentifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat antikonvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
2.      Pertolongan pertama untuk epilepsy
a.       Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari benda keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat atau benda berbahaya. Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
b.      Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya ke samping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada keadaan spaspme untuk memasukkan sesuatu.
c.       Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras di antara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Jika terjadi kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan di antara gigi untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
d.      Setelah terjadi kejang, penyandang akan bingung atua mengantuk setelah kejang. Biarkan penderita beristirahat
e.       Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter
f.       Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atua penyandang luka berat, bawa ke dokter atau rumah sakit terdekat.
3.      Tindakan Keperawatan
Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadinya bahaya akibat bangkitan epilepsy, gangguan rasa aman dan nyaman, risiko terjadinya gangguan psikososial, kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
4.      Pengobatan Medik
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati kejang
Obat
Jenis epilepsy
Efek samping yg mungkin terjadi
Karbamazepin
Generalisata, parsial
Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang
Etoksimid
Petit mal
Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang
Gabapentin
Parsial
Tenang
Lamotrigin
Generalisata, parsial
Ruam kulit
Fenobarbital
Generalisata, parsial
Tenang
Fenitoin
Generalisata, parsial
Pembengkakan gusi
Primidon
Generalisata, parsial
Tenang
Valproat
Kejang infantil, petit mal
Penambahan berat badan, rambut rontok

a.       Pengobatan Kausal, perlu diselidiki apakah pasien masih menderita penyakit yang aktif, misalnya tumor serebri, hematoma sub dural kronik. Bila memang menderita penyakit yang aktif, perlu diobati dahulu.
b.      Pengobatan Rumat
Pada pasien epilepsy diberikan obat antikonvulsan secara rumit. Pada klinik saraf anak FKUI- RSCM, Jakarta, biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun bebas serangan, kemudian obat dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka waktu 6 bulan. Pada umumnya lama pengobatan berkisar antara 2-4 tahun bebas serangan. Selama pengobatan harus diperiksa gejala intoksikasi dan pemeriksaan laboratorium secara berkala.
c.       Obat yang dipakai untuk epilepsy yang dapat diberikan pada semua bentuk kejang
i.                    Fenobarbita, dosis 3-8 mg/kg BB/ hari
ii.                  Diazepam, dosis 0,2-0,5 mg/ Kg BB /hari
iii.                Diamox (asetazolamid), dosis 10-90 mg/Kg BB/hari
iv.                Dilatin (Difenilhidantoin), dosis 5-10 mg/Kg BB/ hari
v.                  Mysolin (Primidion), dosis 12-25 mg/ Kg BB/ hari
Bila menderita spasme infantile diberikan:
i.                    Prednison, dosis 2-3 mg/Kg BB/ hari
ii.                  Dexametason, dosis 0,2-0,3 mg/Kg BB/ hari
iii.                Adrenokortikotropin, dosis 2-4 mg/Kg  BB/jari

G.    Pohon Masalah
 





Resiko tinggi cidera berhubungan dengan kerusakan akan kesadaran dan automatisme
 
 















BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I.            Pengkajian
Pada pengkajian fisik secara umum, sering didapatkan pada awal pasca kejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bagun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penurunan kesadaran.
1.      B 1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didpaatkan pada klien epilepsy disertai adanya gangguan system pernapasan. Pada fase iktal, biasnaya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut. Pernapasan klien menurun atau cepat, peningkatan sekresi mucus dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase posiktal, klien mengalami apneu.
2.      B 2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular terutama dilakukan pada klien epilepsy tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok
3.      B 3 (Brain)
Pengkajian brain merupakan focus dan lebih lengkap dibandingkan pada system lainnya
4.      B 4 (Bladder)
Pengkajian pada system kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
5.      B 5 (Bowel)
Mual sampai muntah di hubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsy menurun karena anoreksia dan adanya kejang
6.      B 6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri.
Pada pemeriksaan saraf cranial, ditemukan hal-hal berikut
1.      Saraf I, biasanya pada klien epilepsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan
2.      Saraf II, tes pada ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
3.      Saraf III, IV, dan VI, dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsy mengeluh mengalami fotofobia (sensitive yang berlebihan terhadap cahaya)
4.      Saraf V, pada klien epilepsy pada umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan rileks kornea biasanya tidak ada kelainan
5.      Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris
6.      Saraf VIII, tidak ditemukan adanya kondisi tuli kondutif dan tuli persepsi
7.      Saraf IX dan X, kemampuan menelan klien umumnya baik
8.      Saraf XI, tidak ada atropi otot sternokleidomastoideus dan trazius
9.      Saraf XII, umumnya lidah simetris, tidak ada devisiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra normal
Fungsi serebral
1.      Status mental , observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi, ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsy tahap lanjut biasnaya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan dan persepsi
2.      Sistem motorik, kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada epilepsy tahap lanjut mengalami perubahan.
3.      Sistem sensorik, pemeriksaan pada epilepsy basanya ditemukan peka terhadap cahay merupakan tanda khas dari epilepsy. Pasca kejang sering dikeluhkan adanya nyeri kepala yang bersifat akut
Gerakan involunter, tidak ditemuka nadanya tremor, Tic, distnoa. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, pada anak dengan epilepsy disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
Tingkat kesadaran, kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi sistemp persarafan. Beberapa system digunakan untuk peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. Riwayat Penyakit
1.      Riwayat Penyakit sekarang
Pada riwayat penyakit sekarang, biasanya klien memiliki keluhan mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan (ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarahan gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan terdapat pembesaran hati, limpa dan kelenjar limpe, dan kelemahan, nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
2.       Riwayat Kesehatan
Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang kehaliman, asfiksia neonatorum, riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, penggunaaan obat-obatan, diabetes, atau hipertensi), pascacedera kepala, adanya riwayat penyakit pada masa kanak-kanak (campak, penyakit gondongan, epilepsi bakteri), adanya riwayat keracunan (karbon monoksida dan menunjukkan keracunan), riwayat gangguan sirkulasi serebral, riwayat demam tinggi, riwayat gangguan metabolism dan nutrisi atau gisi,riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol, riwayat adanya tumor otak, abses, dan kelahiran bentuk bawaan, riwayat keturunan epilepsy
3.      Riwayat Kehamilan
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat pre natal, nata, dan post natal. Dalam riwayat pre natal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi system kekebalan terhadap penyakit anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban pada anak.
Dapatkan riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan kejadian prenatal, perinatal, dan neonatal; adanya contoh infeksi, apnea, kolik, atau menyusui yang buruk; informasi mengenai kecelakaan atau penyakit serius sebelumnya. Dapatkan riwayat aktivitas kejang yang mencakup hal berikut:
1.      Gambaran perilaku anak selama kejang
2.      Usia awitan
3.      Waktu ketika kejang yang terjadi-waktu, ketika tidur atau terjaga, hubungan dengan makan.
4.      Adanya factor pencetus yang dapat menimbulkan kejang (misalnya demam, infeksi), jatuh yang menyebabkan trauma kepala, ansietas, keletihan, aktivitas (misalnya hiperventilitasi), kejadian di lingkungan (misalnya pemajanan pada stimulus kuat seperti sinar terang, sinar berkilau atau suara yang keras).
5.      Durasi perkembangan dan adanya perasaan atau perilaku pasca kejang
Lakukan pengkajian fisik dan neurologi. Observasi pengkajian fisik dan neurologi. Bantu adalam prosedur diagnostic dan pengujian, misalnya elektroensefalografi, tomografi, radiografi tengkorak, ekoensefalografi, skan otak, kimia darah, glukosa serum, nitrogen urea darah, ammonia, tes khusus untuk gangguan metabolic.
1.      Oberservasi kejang
Jelaskan hal-hal berikut, yakni:
a.       Hanya hal yang harus diobservasi dengan benar
b.      Urutan kejadian (sebelum, selama, dan setelah kejang)
c.       Durasi kejang
d.      Tonik-klonik: dari tanda pertama kejadian kejang sampai sentakannya berhenti.
e.       Tanpa kejang: dari kehilangan kesadaran sampai pasien sadar kembali.
f.       Parsial kompleks: dari aura sampai berhenti secara otomatis atau menunjukkan responsitivitas pada lingkungan
2.      Awitan
Jelaskan hal-hal berikut, yakni:
a.       Waktu awitan
b.      Kejadian pra kejang yang signifikan-sinar terang, bising, kegirangan, emosi berlebihan
c.       Perilaku yakni perubahan pada ekspresi wajah seperti pada rasa takut, menangis atau bunyi lain, gerakan  stereotip atau otomatis, aktivitas acak (mengeluyur)
d.      Poosisi kepala, tubuh, ekstremitas: postur unilateral atau bilateral dari salah satu atau lebih ekstremitas, eviasi tubuh ke samping
3.      Gerakan
a.       Perubahan posisi, bila ada
b.      Sisi permulaan: tangan, ibu jari, mulut, seluruh tubuh.
c.       Fase tonik, bila ada lama, melibatkan beberapa bagian tubuh.
d.      Fase klonik: kedutan atau gerakan menyentak, melibatkan beberapa bagian tubuh, urutan bagian yang terkena, umum, perubahan dalam karakteristik gerakan.
e.       Kurang gerakan atau tonus otot pada bagian tubuh atau seluruh tubuh.
4.      Wajah
a.       Perubahan warna: pucat, sianosis, wajah kemerahan
b.      Keringat
c.       Mulut: posisi, menyimpang ke salah satu sisi, gigi mengatup, lidah tergigit, mual berbusa, flek darah atau perdarahan.
d.      Kurang dalam ekspresi
5.      Mata
a.       Posisi: lurus, menyimpang ke atas, menyimpang keluar, konjugasi atau divergen.
b.      Pupil (bila mampu untuk mengkaji): perubahan pada ukuran, kesamaan reaksi terhadap sinar dan akomodasi.
6.      Upaya pernapasan
a.       Ada dan lamanya apnea
b.      Adanya stertor (mengorok)
7.      Lain-lain
a.       Berkemih involunter
b.      Defekasi involunter
8.      Observasi pasca kejang
a.       Masa pasca kejang
b.      Metode terminasi
c.       Status kesadaran: tidak responsive, mengantuk, konfusi
d.      Orientasi terhadap waktu dan orang
e.       Tidur tetapi mampu untuk bangun
f.       Kemampuan motorik: adanya perubahan pada kekuatan motorik, kemampuan untuk menggerakkan semua ekstremitas, adanya paresis atau kelemahan, kemampuan untuk bersiul (bila sesuai dengan usia).
g.      Bicara: berubah, aneh, jenis dan luasnya kesulitan
h.      Sensasi: keluhan tidak nyaman atau nyeri, adanya kerusakan sensori dan pendengaran/ penglihatan, pengumpulan kembali sensasi pra kejang, peringatan serangan, kesadaran bahwa serangan sudah mulai terjadi.

II.            Intervensi

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler peningkatan sekresi mucus
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien dapat mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan napas
Kriteria Hasil:
1)      Klien dapat mempertahankan pernapasan yang efektif
2)      Tanda-tanda vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit, Respirasi Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat Celsius)
NO
INTERVENSI
Rasional
1
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal
Menurunkan resiko aspirasi atau masuknya benda asing ke faring
2
Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miring kepala selama serangan kejang
Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan setelah meredanya aktivitas kejang jika pasien tersebut tidak sadar dan tidak dapat mempertahankan posisi lidah yang aman
3
Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia
4
Pantau apakah terdapat benda yang dapat menghambat jalan pernapasan
Menurunkan hipoksia sebagai akibat dari sirikulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang
5
Masukkan spatel lidah atau jalan napas buatan atau gulungan benda lunak
Munculnya apneu yang berpanjangan pada fase posiktal membutuhkan dukungan ventilator mekanik
6
Kolaborasi dalam pemberian oksigenasi
Memberikan terapi yang lebih tepat

Risiko tinggi cedera berhubungan dengan tipe kejang
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 ham, klien tidak mengalami kejang
Kriteria Hasil:
a.       Klien tidak mengalami kejang
b.      Anak dan keluarga mendemonstrasikan pemahaman tentang kemungkinan respon yang tidak baik terhadap obat dan intervensi yang tepat
c.       Pasien tidak mengalami cedera
d.      Anak dan keluarga menyetujui aktivitas atau modifikasi aktivitas yang tepat untuk anak
e.       Individu yang berhubungan dengan anak memberikan intervensi yang tepat selama dan setelah kejang
f.       Tanda-tanda vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit, Respirasi Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat Celsius)
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Sadari dan ajari keluarga untuk mengenali reaksi yang tidak baik terhadap obat-obatan
Memberikan informasi yang adekuat tentang proses reaksi obat
 2
Dorong pengkajian fisik dan laboratorium secara periodic
Menentukan kemungkinan penyimpangan dari temuan normal
3
Dorong perawatan gigi yang baik selama terapi fenitoin
Menurunkan hyperplasia gusi karena fenitoin
4
Dorong masukkan vitamin D dan asam folat yang adekuat selama terapi fenitonin dan fenobarbital
Mencegah defisiensi
5
Kolaborasi dalam pemberian obat antilepsi
Memberikan terapi yang tepat
6
Tekankan pentingnya mematuhi program terapeutik
Memberikan terapi sesuai prosedur
7
Hindari situasi yang diketahui mencetuskan kejang, misalnya cahaya berkedip-kedip dan keletihan
Mencegah terjadinya kejang
8
Didik orang tua dan anak mengenai aktivitas yang tepat untuk anak (tergantung dari tipe, frekuensi, dan beratnya kejang)
Memberikan informasi tentang proses penyakit
9
Gali modifikasi atau dapatasi yang tepat pada situasi
Mencetuskan bahwa selama kejang (memanjat pohon memainkan alat)
10
Damping anak selama aktivitas yang diizinkan, seperti berenang, bersepeda
Mencegah terjadinya cedera apabila terjadi kejang
11
Dianjurkan untuk mandi dengan pengawasan yang ketat selama mandi
Mencegah terjadinya cedera apabila terjadi kejang
12
didik orang terdekat dengan klien yang berhubungan dengan anak mengenai bantuan yang tepat selama dan setelah kejang
Mencegah terjadinya cedera apabila terjadi kejang dan dapat menangani kejang secara cepat dan tepat

Risiko tinggi cidera, hipoksia dan aspirasi berhubungan dengan aktivitas motorik dan hilangnya kesadaran (kejang tonik-klonik)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien tidak mengalami cedera, distress pernapasan atau aspirasi
Kriteria Hasil:
1)      Klien tidak mengalami cedera, distress pernapasan, atau aspirasi
2)      Anak tidak menunjukkan tanda cedera fisik atau mental atau aspirasi
3)      Tanda-tanda vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit, Respirasi Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat Celsius)
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Hitung lamanya kejang
Menentukan durasi kemungkinan hipoksia dan kebutuhan perawatan darurat
2
Lindungi anak selama kejang
Mencegah terjadinya cedera pada klien
3
Jangan berusaha menstrain anak atau menggukana paksaan
Mencegah terjadinya cedera pada anak atau diri sendiri
4
Tempatkan selimut kecil atau tangan anda sendiri di bawah kepala anak
Mencegah terjadinya cedera
5
Jangan menempatkan apapun di mulut anak, seperti spatel lidah, makanan, atau cairan
Menyebabkan cedera, menghambat pernapsan atau  teraspirasi
6
Lepaskan kacamata
Melindungi mata dari trauma
7
Longgarkan pakaian
Pakaian yang tidak dilonggarkan mengakibatkan gerakan terbatas, atau pembatasan pada pernapasan
8
Cegah anak dari membenturkan kepala pada objek yang keras
Menyebabkan cedera selama sentakan otot tidak terkontrol
9
Singkirkan benda yang dapat menimbulkan bahaya
Mencegah terjadinya cedera
10
Bantali objek seperti keranjang bayi, penghalang tempat tidur atau kursi roda
Mengurangi cedera karena benturan
11
Pertahankan agar penghalang tempat tidur tetap terpasang ketika anak sedang tidur, istirahat, atau mengalami kejang
Menghindari jatuh
12
Bila anak mulai mulai muntah, miringkan dengan hati-hati
Mencegah terjadinya aspirasi
13
Lindungi anak setelah kejang (periode pasca kejang), masa periode pasca kejang
Mencegah terjadinya cedera

Risiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan kesadaran dan automatisme (kejang parsial kompleks)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien tidak mengalami cedera dan tetap tenang
Kriteria Hasil:
1)      Klien tidak mengalami cedera dan tetap tenang
2)      Tanda-tanda vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit, Respirasi Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat Celsius)
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Hitung lama kejang
Menentukan durasi dan kemungkinan kemungkinan kebutuhan perawatan darurat
2
Lindungi anak selama kejang
Mencegah terjadinya cedera
3
Jangan meresisten, kecuali anak dalam bahaya
Mencegah cedera pada anak atau diri sendiri
4
Singkirkan bahaya dalam lingkungna
Mencegah terjadinya cedera
5
Arahkan anak ke area aman, khususnya jauh dari jendela, tangga, alat pemanas, atau sumber air
Mencegah jatuh, luka bakar, dan tenggelam
6
Perhatikan apakah kejang tersebut menyebar menjadi kejang tonik klonik
Memantau keadaan klien
7
Lindungi anak setelah kejang
Mencegah terjadinya cedera



No comments:

Post a Comment