Asuhan Keperawatan Anak dengan Epilepsi
Sumber:
Sumber:
Ngastiyah.1997.Perawatan
Anak Sakit.Jakarta:EGC.
Soetomengddim Taskun S.2000.Neurologi Anak.Jakarta: BP IDAI
Wong, Donna L.1996.Pedoman
Klinis Keperawatan Pediatrik.Jakarta:EGC.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Epilepsi
adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan
involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai
gangguan fisik.
Epilepsi adalah gangguan kronik dengan ciri timbulnya dengan gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan yang berulang-ulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik yang abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dasn menghilang secara tiba-tiba. (Arif Mansoer,1999: 27). Epilepsi merupakan suatu manifestasi lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat, gejala ini merupakan terganggunya fungsi otak (Donna L. Wong, hal. 376). Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepasnya muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
Epilepsi adalah gangguan kronik dengan ciri timbulnya dengan gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan yang berulang-ulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik yang abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dasn menghilang secara tiba-tiba. (Arif Mansoer,1999: 27). Epilepsi merupakan suatu manifestasi lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat, gejala ini merupakan terganggunya fungsi otak (Donna L. Wong, hal. 376). Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepasnya muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
Dampak
pada anak-anak, biasanya terjadi sebagai berikut.
1.
Long
Term General Effect, secara umum untuk efek jangka lama dari kejang sangat
bergantung pada penyebabnya. Anak-anak yang mengalami epilepsy akan berdampak
terhadap kondisi yang spesifik, contohnya injuri kepala dan gangguan saraf yang
mempunyai mortalitas lebih tinggi daripada populasi normal.
2.
Effect
on Memory and Learning. Secara umum anak-anak yang mengalami kejang akan lebih
berdampak pad perluasan gangguan otak dan akan terjadi keburukan. Anak dengan
kejang yang tidak terkontrol merupakan factor risiko terjadinya kemunduran
intelektual.
3.
Social
and Behavioral Consequences. Gangguan pengetahuan dan bahasa, dan emosi serta
gangguan tingkah laku, terjadi pada sejumlah anak dengan beberapa sindrom
epilepsy parsial. Anak-anak tersebut biasanya berpenampilan dengan sikap yang
buruk dibandingkan dengan anak lainnya.
B.
Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsy sebagian besar
belum diketahui (Idiopatik). Namun hal ini sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatum
2. Cedera kepala, infeksi system saraf
3. Keracunan Karbon monoksida, intoksikasi obat
atau alcohol
4. Demam, gangguan metabolic (hipoglikemia,
hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6.
Kelainan
pembuluh darah
Ditinjauh dari penyebabnya, epilepsy
dibagi menjadi dua, yakni:
1.
Epilepsi
primer (idiopatik)
Epilepsy
primer hingga kini belum ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan pada jaringan
otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kmiawi dan
sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2.
Epilepsi
Sekunder (Simtomatik)
Epilepsy yang diketahui penyebabnya
atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan
karena di bawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan
otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolism dan nutrisi
(misalnya hipogklikemi, fenilketonuria/ PK, defisiensi vitamin B6), factor
toksik (putus alcohol, uremia), ensefalitis, anoksia gangguan sirkulasi dan
neoplasma.
Penyebab spesifik epilepsi
1. Kelainan yang terjadi selama
perkembangan janin atau kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat tertentu yang
dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol atau mengalami
cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat
kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia kerusakan
karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan
kerusakan pada otak
4. Tumor otak merupakan penyebab
epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau
kelainan pembuluh darah otak
6. Radang atau infeksi pada otak dan
selaput otak, yaitu encephalitis dan meningitis. Organ dari CNS (otak dan
medulla spinalis) dilapisi oleh tiga lapisan jaringan konektif yang disebut
dengan meningen dan berisikan pia meter, arachnoid, dan durameter. Meningen ini
membantu menjaga aliran darah dan cairan cerebrospinal. Struktur ini merupakan
yang dapat terjadi meningitis, inflamasi meningitis, dan jika terjadi keparahan
maka tidak menjadi encephalitis dan inflamasi otak.
7. Penyakit keturunan seperti
fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat
menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya epilepsy
yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih
rendah dari normal diturunkan pada anak.
9. Gangguan mekanisme biologis : abnormalitas
dalam otak yang menyebabkan sejumlah sel-sel syaraf dan kortex serebral
menjadi aktif secara serempak, memancarkan secara tiba-tiba, dan peledakan yang
berlebihan dari energy elektrikal. Hal ini meliputi kerja dari kanal-kanal ion
dan neurotransmitter (Gamma aminobutyric acid (GABA), Serotonin,
Acetylcholine ).
C.
Patologi
Menurut para penyelidik
bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal
dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara
berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang
disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi,
baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian
dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah
disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat
dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik
berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla
spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun
posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai
saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel
neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya
epilepsi). Secara Patologi, fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi
:
1.
Ketidakstabilan membran sel saraf
2.
Neuron hypersensitif dengan ambang menurun.
3.
Polarisasi abnormal.
4.
Ketidakseimbangan ion.
Adanya predisposisi yang memungkinkan
gangguan pada sistem listrik dari gangguan sistem saraf pusat pada suatu bagian
otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal,
berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia).
Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensefalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi (Brunner, 2003)
Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensefalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi (Brunner, 2003)
Pada
tingkat membran sel, neoron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu.
beberapa diantaranya adalah:
1.
Ketidakstabilan membran sel saraf
sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2.
Neuron hipersensitifdengan ambang yang
menurun sehingga mudah terangsang dan dapat terangsang secara berlebihan
3.
Terjadi polarisasi yang abnormal (
polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi, atau terhentinya repolarisasi).
4.
Ketidakseimbangan ion uang mengubah
lingkungan kimia dari neuron. Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada
tingkat neuronal mengalami perubahan
Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan
membran neuron mengalami depolarisasi.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Akibat adanya distriknia muatan listrik
pada bagian otak tertentu ini memberikan manifestasi pada serangan awal kejang
sederhana sapai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Keadaan
ini dapat duhubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan,
hilangnya tonus otot serta gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan,
sensai, dan persepsi. Sehingga epilepsi bukan penyakit tetapi suatu
gejala.Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel
saraf pada salah satu bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan
listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. karakteristik kejang
epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebihan ini. Pola awal
kejang menunjukkan daerah otak dimana kejang tersebut berasal. Juga penting
untuk menunjukkan jika klien mengalami aura (suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik yang dapat menunjukkan asal kejang misalnya melihat kilatan sinar
dapat menunjukkan kejang berasal dari lobus oksipital)
D.
Tanda
dan gejala
Manifestasi bangkitan kejang dapat
bermacam dari yang ringan sampai berat. Yang ringan seperti rasa tidak enak di
perut, dan yang berat dapat berupa gangguan kesadaran, gangguan fungsi motorik,
sensorik, otonom, fungsi luhur, gangguan tingkah laku. Sebetulnya setiap orang dapat dibuat
mengalami kejang asal diberikan rangsangan yang cukup kuat, misalnya
elektrosyok atau suntikan metrazol. Bila rangsangan tersebut melampui ambang
kejang maka terjadi kejang.
1.
Kejang parsial
a. Kejang
parsial sederhana,
Dicirikan
dengan hal berikut:
i.
Tetap sadar dan waspada
ii.
Gejala motorik terlokalisasi pada salah
satu sisi tubuh
iii.
Gejala somatosensori, psikis, otonomik
iv.
Gabungan dari hal-hal di atas
Manifestasi:
i.
Kejang aversive (kejang motorik paling
umum pada anak), mata atau kedua amta dan kepala saling menjauh dari sisi
focus, kesadaran terhadap gerakan
ii.
Kejang Rolandic (sylvian), gerakan
tonik-klonik yang melibatkan wajah, salvias, bicara terhenti, paling umum
selama tidur.
iii.
Gerakan jacksonian (jarang pada anak),
gerakan klonik berkembangan secara berurutan dari mulai kaki, tangan, atau
wajah dan bergerak atua “gerakan; bagian tubuh yang berdekatan
b. Kejang
sensori khusus
Dicirikan dengan berbagai sensasi, termasuk hal-hal
berikut: Kebas, kesemutan, rasa terturuk, parestesia, atau nyeri yang berasal
dari satu area (misalnya wajah atau eksremitas) dan menyebar ke bagian tubuh
lainnya. Sensasi penglihatan atau pembentukan gambaran. Fenomena motorik sesuai
postur atau hipertonia. Tidak umum pada anak-anak di bawah 8 tahun.
c. Parsial
Kompleks (psikomotor)
Lebih
sering terjadi pada anak dari usia 3 tahun sampai remaja. Dicirikan dengan:
a. Aura
adalah sensasi paling sering yakni perasaan kuat apda dasar lambung yang naik
ke tenggorok; juga bau aneh; halusinasi rasa atau pendengaran serta
penglihatan, atau perasaan déjà vu
b. Kerusakan
kesadaran, mungkin tampak linglung dan konfusi, tidak dapat berespons atau
mengikuti instruksi.
c. Automatisme,
aktivitas berulang tanpa tujuan dilakukan dalam keadaan bermimpi, seperti
manatap langit, menjadi lemas atau kaku, mengambil sikap, mengulang kata-kata,
menarik-narik pakaian, mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, perilaku social
atau perilaku asocial atau tidak tepat, seperti membuka pakaian di depan umum
atau bertindak agresif (kurang umum pada anak-anak)
d. Pasca
kejang, setelah kejang, anak dapat merasa disorientasi, konfusi, dan tidak
mempunyai ingatan tentang fase kejang
2.
Kejang Umum
Kejang
tonik-klonik dahulu disebut grand mal. Paling umum dan paling dramatis dari
semua manifestasi kejang. Terjadi tanpa peringatan.
a. Fase
tonik
Manifestasi:
i.
Mata ke atas
ii.
Kesadaran hilang dengan segera
iii.
Bila berdiri jatuh ke lantai atau tanah
iv.
Kekakuan terjadi pada kontraksi tonik
simetrik yang umum pada seluruh otot tubuh
v.
Lengan biasanya fleksi
vi.
Kaki, kepala, dan leher ekstensi
vii.
Tangisan aneh, melengking (menangis
epileptic)
viii.
Apnea, dapat menjadi sianotik
ix.
Peningkatan salivasi
b. Fase
Klonik
i.
Manifestasi: gerakan kasar pada tubuh
dan ekstremitas berada pada kontraksi dan relaksasi yang berirama, berbusa pada
mulut karena hipersalivasi, dapat mengalami inkontinensia urine.
ii.
Saat kejang berakhir, gerakan berkurang,
terjadi pada interval yang lebih panjang, kemudian berhenti secara keseluruhan.
iii.
Status epileptikus: urutan kejang pada
interval yang terlalu singkat untuk memungkinkan anak sadar kembali di antara
waktu berakhirnya satu episode dan dimulainya episode berikutnya. Memerlukan
intervensi darurat. Dapat menimbulkan kelelahan, gagal napas, dan kematian.
iv.
Status pasca kejang: tampak rileks,
dapat tetap semi sadar dan sulit untuk bangun, dapat terbangun dalam beberapa
menit, tetap mengalami konfusi selama beberapa jam, koordinasi buruk, kerusakan
ringan pada gerakan motorik halus, dapat megalami kesulitan penglihatan dan
bicara, muntah atau mengeluh sakit kepala berat.
E.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi
dan lainnya sesuai indikasi misalnya kadar gula darah, elektrolit. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan,
perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula NaCl dan
pemeriksaan lain atas indikasi.
2. Pemeriksaan EEG,
Pemeriksaan EEG digunakan untuk
mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan. EEG adalah pemeriksaan gelombang
otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan
untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya deficit
(kelainan) neurologis. Tiidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang
dilakukan saat kejang atua demam segera setelah atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam,
gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang
demam atau risiko epilepsy.
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk
diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa epilepsiform discharge atau
epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and wave dan
sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah
fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan
secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang
normal).
3.
Pemeriksaan
radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui
kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang
abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan
sebagainya.
Pneumoensefalografi dan
ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub
arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui
pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma /
hematome/ abses.
4.
Neuroimaging
a. CT Scan
Digunakan
untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal
gangguan degenerative serebral. Merupakan tes gambaran otak pertama yang
dianjurkan untuk banyak anak dengan kejang awal. Teknik gambaran ini cukup
sensitive untuk berbagai tujuan. Teknik penggambaran yang lebih sensitive
dibandingkan dengan X-Ray, mengikuti makna yang tinggi terhadap struktur tulang
dan jaringan yang lunak, clear images dari organ seperti otak, otot, struktur
join, vena dan arteri.
b. MRI (magnetic resonance imaging)
kepala
Digunakan untuk melihat ada tidaknya
neuropati fokal. MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil, seperti
lesi kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut di lobus tempralis.
Gambaran dari MRI dapat digunakan untuk persiapan pembedahan. Kedua pemeriksaan
tersebut tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama
kalinya
F.
Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Upaya social luas
yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsy.
Risiko epilepsy muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi
yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama yang dapat dicegah. Melalui program yang member keamanan yang tingi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsy akibat cedera kepala. Ibu yang mempunyai
risiko tinggi (misalnya tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus diiidentifikasi
dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada
usia dini, program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat
antikonvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian
dari rencana pencegahan ini.
2. Pertolongan pertama untuk epilepsy
a.
Hindarkan
benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari benda keras, tajam atau panas.
Jauhkan ia dari tempat atau benda berbahaya. Jika pasien di tempat tidur,
singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
b.
Longgarkan
bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya ke samping untuk mencegah lidahnya
menutupi jalan pernapasan. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup
pada keadaan spaspme untuk memasukkan sesuatu.
c.
Biarkan
kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras di antara giginya, karena
dapat mengakibatkan gigi patah. Jika terjadi kejang, masukkan spatel lidah yang
diberi bantalan di antara gigi untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
d.
Setelah
terjadi kejang, penyandang akan bingung atua mengantuk setelah kejang. Biarkan
penderita beristirahat
e.
Laporkan
adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian
pengobatan oleh dokter
f.
Bila
serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atua penyandang luka berat, bawa ke
dokter atau rumah sakit terdekat.
3. Tindakan Keperawatan
Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah
risiko terjadinya bahaya akibat bangkitan epilepsy, gangguan rasa aman dan
nyaman, risiko terjadinya gangguan psikososial, kurang pengetahuan orang tua
mengenai penyakit.
4. Pengobatan Medik
Obat-obatan yang
digunakan untuk mengobati kejang
Obat
|
Jenis epilepsy
|
Efek samping yg
mungkin terjadi
|
Karbamazepin
|
Generalisata, parsial
|
Jumlah sel darah putih & sel darah
merah berkurang
|
Etoksimid
|
Petit mal
|
Jumlah sel darah putih & sel darah
merah berkurang
|
Gabapentin
|
Parsial
|
Tenang
|
Lamotrigin
|
Generalisata, parsial
|
Ruam kulit
|
Fenobarbital
|
Generalisata, parsial
|
Tenang
|
Fenitoin
|
Generalisata, parsial
|
Pembengkakan gusi
|
Primidon
|
Generalisata, parsial
|
Tenang
|
Valproat
|
Kejang infantil, petit
mal
|
Penambahan berat
badan, rambut rontok
|
a.
Pengobatan
Kausal, perlu diselidiki apakah pasien masih menderita penyakit yang aktif,
misalnya tumor serebri, hematoma sub dural kronik. Bila memang menderita
penyakit yang aktif, perlu diobati dahulu.
b.
Pengobatan
Rumat
Pada pasien epilepsy diberikan obat
antikonvulsan secara rumit. Pada klinik saraf anak FKUI- RSCM, Jakarta,
biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun bebas serangan, kemudian obat
dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka waktu 6 bulan. Pada
umumnya lama pengobatan berkisar antara 2-4 tahun bebas serangan. Selama pengobatan
harus diperiksa gejala intoksikasi dan pemeriksaan laboratorium secara berkala.
c.
Obat
yang dipakai untuk epilepsy yang dapat diberikan pada semua bentuk kejang
i.
Fenobarbita,
dosis 3-8 mg/kg BB/ hari
ii.
Diazepam,
dosis 0,2-0,5 mg/ Kg BB /hari
iii.
Diamox
(asetazolamid), dosis 10-90 mg/Kg BB/hari
iv.
Dilatin
(Difenilhidantoin), dosis 5-10 mg/Kg BB/ hari
v.
Mysolin
(Primidion), dosis 12-25 mg/ Kg BB/ hari
Bila menderita spasme infantile diberikan:
i.
Prednison,
dosis 2-3 mg/Kg BB/ hari
ii.
Dexametason,
dosis 0,2-0,3 mg/Kg BB/ hari
iii.
Adrenokortikotropin,
dosis 2-4 mg/Kg BB/jari
G.
Pohon
Masalah
|
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I.
Pengkajian
Pada pengkajian fisik secara umum,
sering didapatkan pada awal pasca kejang klien mengalami konfusi dan sulit
untuk bagun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penurunan
kesadaran.
1. B
1 (Breathing)
Inspeksi
apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didpaatkan pada klien epilepsy
disertai adanya gangguan system pernapasan. Pada fase iktal, biasnaya ditemukan
klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi jalan napas, klien menggigit
lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya ditemukan perlukaan pada
lidah dan gusi akibat gigitan tersebut. Pernapasan klien menurun atau cepat,
peningkatan sekresi mucus dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase
posiktal, klien mengalami apneu.
2. B
2 (Blood)
Pengkajian
pada system kardiovaskular terutama dilakukan pada klien epilepsy tahap lanjut
apabila klien sudah mengalami syok
3. B
3 (Brain)
Pengkajian
brain merupakan focus dan lebih lengkap dibandingkan pada system lainnya
4. B
4 (Bladder)
Pengkajian
pada system kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
5. B
5 (Bowel)
Mual
sampai muntah di hubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien epilepsy menurun karena anoreksia dan adanya kejang
6. B
6 (Bone)
Pada
fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan
kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri.
Pada
pemeriksaan saraf cranial, ditemukan hal-hal berikut
1. Saraf
I, biasanya pada klien epilepsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan
2. Saraf
II, tes pada ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
3. Saraf
III, IV, dan VI, dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsy mengeluh
mengalami fotofobia (sensitive yang berlebihan terhadap cahaya)
4. Saraf
V, pada klien epilepsy pada umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah
dan rileks kornea biasanya tidak ada kelainan
5. Saraf
VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris
6. Saraf
VIII, tidak ditemukan adanya kondisi tuli kondutif dan tuli persepsi
7. Saraf
IX dan X, kemampuan menelan klien umumnya baik
8. Saraf
XI, tidak ada atropi otot sternokleidomastoideus dan trazius
9. Saraf
XII, umumnya lidah simetris, tidak ada devisiasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, indra normal
Fungsi
serebral
1. Status
mental , observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan
observasi, ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsy tahap lanjut
biasnaya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku,
alam perasaan dan persepsi
2. Sistem
motorik, kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
epilepsy tahap lanjut mengalami perubahan.
3. Sistem
sensorik, pemeriksaan pada epilepsy basanya ditemukan peka terhadap cahay
merupakan tanda khas dari epilepsy. Pasca kejang sering dikeluhkan adanya nyeri
kepala yang bersifat akut
Gerakan involunter, tidak ditemuka
nadanya tremor, Tic, distnoa. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami
kejang umum, pada anak dengan epilepsy disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
Tingkat kesadaran, kualitas kesadaran
klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang
membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan
adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi sistemp persarafan. Beberapa
system digunakan untuk peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. Riwayat
Penyakit
1. Riwayat
Penyakit sekarang
Pada
riwayat penyakit sekarang, biasanya klien memiliki keluhan mulai rewel,
kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan (ptekia, ekimosis, pitaksis,
pendarahan gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan terdapat pembesaran hati,
limpa dan kelenjar limpe, dan kelemahan, nyeri tulang atau sendi dengan atau
tanpa pembengkakan.
2. Riwayat Kesehatan
Riwayat
bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang
kehaliman, asfiksia neonatorum, riwayat ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi
(tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, penggunaaan
obat-obatan, diabetes, atau hipertensi), pascacedera kepala, adanya riwayat
penyakit pada masa kanak-kanak (campak, penyakit gondongan, epilepsi bakteri),
adanya riwayat keracunan (karbon monoksida dan menunjukkan keracunan), riwayat
gangguan sirkulasi serebral, riwayat demam tinggi, riwayat gangguan metabolism
dan nutrisi atau gisi,riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol, riwayat
adanya tumor otak, abses, dan kelahiran bentuk bawaan, riwayat keturunan
epilepsy
3.
Riwayat
Kehamilan
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat
pre natal, nata, dan post natal. Dalam riwayat pre natal perlu diketahui
penyakit apa saja yang pernah diderita ibu. Riwayat natal perlu diketahui
apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi
system kekebalan terhadap penyakit anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi
timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban pada anak.
Dapatkan riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan
dengan kejadian prenatal, perinatal, dan neonatal; adanya contoh infeksi,
apnea, kolik, atau menyusui yang buruk; informasi mengenai kecelakaan atau
penyakit serius sebelumnya. Dapatkan riwayat aktivitas kejang yang mencakup hal
berikut:
1. Gambaran
perilaku anak selama kejang
2. Usia
awitan
3. Waktu
ketika kejang yang terjadi-waktu, ketika tidur atau terjaga, hubungan dengan
makan.
4. Adanya
factor pencetus yang dapat menimbulkan kejang (misalnya demam, infeksi), jatuh
yang menyebabkan trauma kepala, ansietas, keletihan, aktivitas (misalnya
hiperventilitasi), kejadian di lingkungan (misalnya pemajanan pada stimulus
kuat seperti sinar terang, sinar berkilau atau suara yang keras).
5. Durasi
perkembangan dan adanya perasaan atau perilaku pasca kejang
Lakukan pengkajian fisik dan neurologi. Observasi
pengkajian fisik dan neurologi. Bantu adalam prosedur diagnostic dan pengujian,
misalnya elektroensefalografi, tomografi, radiografi tengkorak,
ekoensefalografi, skan otak, kimia darah, glukosa serum, nitrogen urea darah,
ammonia, tes khusus untuk gangguan metabolic.
1. Oberservasi
kejang
Jelaskan hal-hal
berikut, yakni:
a. Hanya
hal yang harus diobservasi dengan benar
b. Urutan
kejadian (sebelum, selama, dan setelah kejang)
c. Durasi
kejang
d. Tonik-klonik:
dari tanda pertama kejadian kejang sampai sentakannya berhenti.
e. Tanpa
kejang: dari kehilangan kesadaran sampai pasien sadar kembali.
f. Parsial
kompleks: dari aura sampai berhenti secara otomatis atau menunjukkan
responsitivitas pada lingkungan
2. Awitan
Jelaskan hal-hal
berikut, yakni:
a. Waktu
awitan
b. Kejadian
pra kejang yang signifikan-sinar terang, bising, kegirangan, emosi berlebihan
c. Perilaku
yakni perubahan pada ekspresi wajah seperti pada rasa takut, menangis atau
bunyi lain, gerakan stereotip atau
otomatis, aktivitas acak (mengeluyur)
d. Poosisi
kepala, tubuh, ekstremitas: postur unilateral atau bilateral dari salah satu
atau lebih ekstremitas, eviasi tubuh ke samping
3. Gerakan
a. Perubahan
posisi, bila ada
b. Sisi
permulaan: tangan, ibu jari, mulut, seluruh tubuh.
c. Fase
tonik, bila ada lama, melibatkan beberapa bagian tubuh.
d. Fase
klonik: kedutan atau gerakan menyentak, melibatkan beberapa bagian tubuh,
urutan bagian yang terkena, umum, perubahan dalam karakteristik gerakan.
e. Kurang
gerakan atau tonus otot pada bagian tubuh atau seluruh tubuh.
4. Wajah
a. Perubahan
warna: pucat, sianosis, wajah kemerahan
b. Keringat
c. Mulut:
posisi, menyimpang ke salah satu sisi, gigi mengatup, lidah tergigit, mual
berbusa, flek darah atau perdarahan.
d. Kurang
dalam ekspresi
5. Mata
a. Posisi:
lurus, menyimpang ke atas, menyimpang keluar, konjugasi atau divergen.
b. Pupil
(bila mampu untuk mengkaji): perubahan pada ukuran, kesamaan reaksi terhadap
sinar dan akomodasi.
6. Upaya
pernapasan
a. Ada
dan lamanya apnea
b. Adanya
stertor (mengorok)
7. Lain-lain
a. Berkemih
involunter
b. Defekasi
involunter
8. Observasi
pasca kejang
a. Masa
pasca kejang
b. Metode
terminasi
c. Status
kesadaran: tidak responsive, mengantuk, konfusi
d. Orientasi
terhadap waktu dan orang
e. Tidur
tetapi mampu untuk bangun
f. Kemampuan
motorik: adanya perubahan pada kekuatan motorik, kemampuan untuk menggerakkan
semua ekstremitas, adanya paresis atau kelemahan, kemampuan untuk bersiul (bila
sesuai dengan usia).
g. Bicara:
berubah, aneh, jenis dan luasnya kesulitan
h. Sensasi:
keluhan tidak nyaman atau nyeri, adanya kerusakan sensori dan pendengaran/
penglihatan, pengumpulan kembali sensasi pra kejang, peringatan serangan,
kesadaran bahwa serangan sudah mulai terjadi.
II.
Intervensi
Pola napas tidak
efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler peningkatan sekresi mucus
|
||
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien dapat
mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan napas
Kriteria
Hasil:
1) Klien
dapat mempertahankan pernapasan yang efektif
2) Tanda-tanda
vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit,
Respirasi Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat
Celsius)
|
||
NO
|
INTERVENSI
|
Rasional
|
1
|
Anjurkan
klien untuk mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu jika fase aura
terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal
|
Menurunkan
resiko aspirasi atau masuknya benda asing ke faring
|
2
|
Letakkan
klien pada posisi miring, permukaan datar, miring kepala selama serangan
kejang
|
Mencegah
tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan setelah
meredanya aktivitas kejang jika pasien tersebut tidak sadar dan tidak dapat
mempertahankan posisi lidah yang aman
|
3
|
Tanggalkan
pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
|
Menurunkan
risiko aspirasi atau asfiksia
|
4
|
Pantau
apakah terdapat benda yang dapat menghambat jalan pernapasan
|
Menurunkan
hipoksia sebagai akibat dari sirikulasi yang menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang
|
5
|
Masukkan
spatel lidah atau jalan napas buatan atau gulungan benda lunak
|
Munculnya
apneu yang berpanjangan pada fase posiktal membutuhkan dukungan ventilator
mekanik
|
6
|
Kolaborasi
dalam pemberian oksigenasi
|
Memberikan
terapi yang lebih tepat
|
Risiko tinggi cedera
berhubungan dengan tipe kejang
|
||
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 ham, klien tidak mengalami
kejang
Kriteria
Hasil:
a. Klien
tidak mengalami kejang
b. Anak
dan keluarga mendemonstrasikan pemahaman tentang kemungkinan respon yang
tidak baik terhadap obat dan intervensi yang tepat
c. Pasien
tidak mengalami cedera
d. Anak
dan keluarga menyetujui aktivitas atau modifikasi aktivitas yang tepat untuk
anak
e. Individu
yang berhubungan dengan anak memberikan intervensi yang tepat selama dan
setelah kejang
f. Tanda-tanda
vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit,
Respirasi Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat
Celsius)
|
||
NO
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Sadari
dan ajari keluarga untuk mengenali reaksi yang tidak baik terhadap
obat-obatan
|
Memberikan
informasi yang adekuat tentang proses reaksi obat
|
2
|
Dorong
pengkajian fisik dan laboratorium secara periodic
|
Menentukan
kemungkinan penyimpangan dari temuan normal
|
3
|
Dorong
perawatan gigi yang baik selama terapi fenitoin
|
Menurunkan
hyperplasia gusi karena fenitoin
|
4
|
Dorong
masukkan vitamin D dan asam folat yang adekuat selama terapi fenitonin dan
fenobarbital
|
Mencegah
defisiensi
|
5
|
Kolaborasi
dalam pemberian obat antilepsi
|
Memberikan
terapi yang tepat
|
6
|
Tekankan
pentingnya mematuhi program terapeutik
|
Memberikan
terapi sesuai prosedur
|
7
|
Hindari
situasi yang diketahui mencetuskan kejang, misalnya cahaya berkedip-kedip dan
keletihan
|
Mencegah
terjadinya kejang
|
8
|
Didik
orang tua dan anak mengenai aktivitas yang tepat untuk anak (tergantung dari
tipe, frekuensi, dan beratnya kejang)
|
Memberikan
informasi tentang proses penyakit
|
9
|
Gali
modifikasi atau dapatasi yang tepat pada situasi
|
Mencetuskan
bahwa selama kejang (memanjat pohon memainkan alat)
|
10
|
Damping
anak selama aktivitas yang diizinkan, seperti berenang, bersepeda
|
Mencegah
terjadinya cedera apabila terjadi kejang
|
11
|
Dianjurkan
untuk mandi dengan pengawasan yang ketat selama mandi
|
Mencegah
terjadinya cedera apabila terjadi kejang
|
12
|
didik
orang terdekat dengan klien yang berhubungan dengan anak mengenai bantuan
yang tepat selama dan setelah kejang
|
Mencegah
terjadinya cedera apabila terjadi kejang dan dapat menangani kejang secara
cepat dan tepat
|
Risiko
tinggi cidera, hipoksia dan aspirasi berhubungan dengan aktivitas motorik dan
hilangnya kesadaran (kejang tonik-klonik)
|
||
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien tidak mengalami
cedera, distress pernapasan atau aspirasi
Kriteria
Hasil:
1) Klien
tidak mengalami cedera, distress pernapasan, atau aspirasi
2) Anak
tidak menunjukkan tanda cedera fisik atau mental atau aspirasi
3) Tanda-tanda
vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit,
Respirasi Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat
Celsius)
|
||
NO
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Hitung
lamanya kejang
|
Menentukan
durasi kemungkinan hipoksia dan kebutuhan perawatan darurat
|
2
|
Lindungi
anak selama kejang
|
Mencegah
terjadinya cedera pada klien
|
3
|
Jangan
berusaha menstrain anak atau menggukana paksaan
|
Mencegah
terjadinya cedera pada anak atau diri sendiri
|
4
|
Tempatkan
selimut kecil atau tangan anda sendiri di bawah kepala anak
|
Mencegah
terjadinya cedera
|
5
|
Jangan
menempatkan apapun di mulut anak, seperti spatel lidah, makanan, atau cairan
|
Menyebabkan
cedera, menghambat pernapsan atau
teraspirasi
|
6
|
Lepaskan
kacamata
|
Melindungi
mata dari trauma
|
7
|
Longgarkan
pakaian
|
Pakaian
yang tidak dilonggarkan mengakibatkan gerakan terbatas, atau pembatasan pada
pernapasan
|
8
|
Cegah
anak dari membenturkan kepala pada objek yang keras
|
Menyebabkan
cedera selama sentakan otot tidak terkontrol
|
9
|
Singkirkan
benda yang dapat menimbulkan bahaya
|
Mencegah
terjadinya cedera
|
10
|
Bantali
objek seperti keranjang bayi, penghalang tempat tidur atau kursi roda
|
Mengurangi
cedera karena benturan
|
11
|
Pertahankan
agar penghalang tempat tidur tetap terpasang ketika anak sedang tidur,
istirahat, atau mengalami kejang
|
Menghindari
jatuh
|
12
|
Bila
anak mulai mulai muntah, miringkan dengan hati-hati
|
Mencegah
terjadinya aspirasi
|
13
|
Lindungi
anak setelah kejang (periode pasca kejang), masa periode pasca kejang
|
Mencegah
terjadinya cedera
|
Risiko tinggi cedera
berhubungan dengan kerusakan kesadaran dan automatisme (kejang parsial
kompleks)
|
||
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien tidak mengalami
cedera dan tetap tenang
Kriteria
Hasil:
1) Klien
tidak mengalami cedera dan tetap tenang
2) Tanda-tanda
vital normal (Tekanan darah 110-130/ 70-90 mmHg, nadi: 60-90 x/menit, Respirasi
Rate (RR):16-24x/menit, suhu: 36,5 derajat Celsius-37,5 derajat Celsius)
|
||
NO
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Hitung
lama kejang
|
Menentukan
durasi dan kemungkinan kemungkinan kebutuhan perawatan darurat
|
2
|
Lindungi
anak selama kejang
|
Mencegah
terjadinya cedera
|
3
|
Jangan
meresisten, kecuali anak dalam bahaya
|
Mencegah
cedera pada anak atau diri sendiri
|
4
|
Singkirkan
bahaya dalam lingkungna
|
Mencegah
terjadinya cedera
|
5
|
Arahkan
anak ke area aman, khususnya jauh dari jendela, tangga, alat pemanas, atau
sumber air
|
Mencegah
jatuh, luka bakar, dan tenggelam
|
6
|
Perhatikan
apakah kejang tersebut menyebar menjadi kejang tonik klonik
|
Memantau
keadaan klien
|
7
|
Lindungi
anak setelah kejang
|
Mencegah
terjadinya cedera
|
No comments:
Post a Comment