Friday, July 10, 2020

Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Etis, dalam Praktik Keperawatan

Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Etis, dalam Praktik Keperawatan
(Sumber/ source: Suhaemi, Mimin Emi.2002.Etika Keperawatan: Aplikasi pada Praktik.Jakarta: EGC.)
(Rewritten by/ Diketik kembali oleh: Dimas Erda Widyamarta.2014. please follow blog/ silahkan ikuti blog: www.ithinkeducation.blogspot.com or www.ithinkeducation.wordpress.com)
Berbagai faktor mempunyai pengaruh terhadap seseorang dalam membuat keputusan etis. Faktor ini antara lain faktor agama, sosial, ilmu pengetahuan atau teknologi, legislasi atau keputusan yuridis, dana atau keuangan, pekerjaan atau posisi klien maupun perawat, kode etik keperawatan, dan hak klien.
  1. Faktor agama dan adat istiadat
Agama serta latar belakang adat istiadat merupakan faktor utama dalam membuat keputusan etis. Setiap perawat disarankan memahami nilai yang diyakini maupun kaidah agama yang dianutnya. Untuk memahami ini memang diperlukan proses. Semakin tua akan semakin banyak pengalaman dan belajar, seseorang akan lebih mengenal siapa dirinya dan nilai yang dimilikinya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk dengan berbagai agama atau kepercayaan dan adat istiadat. Setiap penduduk yang menjadi warga negara Indonesia harus beragama atau berkepercayaan. Ini sesuai dengan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” dan Indonesia menjadikan aspek ketuhanan sebagai dasar yang paling utama. Setiap warga negara diberi kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan yang dianutnya. Ini sesuai dengan Bab XI pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi 1) Negara berdasarskan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Sebagai negara berketuhanan, segala kebijakan atau aturan yang dibuat diupayakan tidak bertentangan dengan aspek agama yang ada di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu). Misalnya, sebelum keluarga berencana atau KB dijadikan program nasional, pihak pemerintah telah mendiskusikan berbagai metode kontrasepsi yang tidak bertentangan dengan agama dengan para pemuka agama. Dengan adanya kejelasan tentang program kesehatan nasional, misalnya KB, dengan ketentuan agama maka perawat tidak ragu-ragu dalam mempromosikan program tersebut dan dapat memberi informasi yang tidak bertentangan dengan agama yang dianut pasien.
Selain faktor agama, faktor adat istiadat juga berpengaruh pada seseorang dalam membuat keputusan etis. Indonesia yang terdiri atas lebih 13000 pulau dan 300 suku bangsa yang mempunyai adat istiadat yang bervariasi. Kaitan adat istiadat dan implikasii dalam keperawtan sampai saat ini belum tergali secara jelas di Indonesia. Di beberapa negara maju, misalnya Amerika Serikat, aspek adat istiadat dan budaya yang telah digali enjadi spesialisasi khusus keahlian budaya yang telah digali menjadi spesialisasi khusus keahlian keperawatan. Beberapa Universitas di Amerika Serikat yang membuka program ini adlaah University of Utah mempunyai program doktoral Transcultural nursing dan University of Whasington serta the Penssylvania State of University mempunyai program transcultural nursing tingkat master. Dengan ditawarkannya program ini maka penelitian tentang keperawatan pada pasien dari berbagai budaya menjadi semakin marak dan membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan selaras dengan budaya pasiennya. Kita di Indonesia yang mempunyai budaya lebih beranekaragam sudah harus mempertimbangkan hal ini. Faktor adat istiadat yang dimiliki perawat atau pasien sangat berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis. Contoh masalah praktik adat istiadat bisa diperhatikan berikut ini. Dalam budaya Jawa dan daerah lain dikenal falsafah tradisional “Mangan ora mangan anggere kumpul” (Makan tidak makan asalkan tetap bersama). Falsafah ini sampai sekarang masih banyak memengaruhi sistem kekerabatan orang Jawa. Bila ada anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit, biasanya ada salah satu keluarga yang ingin selalu menungguinya. Ini berbeda dengan sistem kekerabatan orang Barat yang bila ada anggota keluarga yang sakit maka sepenuhnya diserahkan kepada perawat dalam keperawatan sehari-hari. Setiap rumah sakit di Indonesia mempunyai aturan menunggu dan persyaratan klien yang boleh ditunggu. Namun, hal ini sering tidak dihiraukan oleh keluarga pasien, misalkan dengan alasan rumaj jauh, klien tidak tenang bila tidak ditunggu keluarga, dan lain-lain. Ini sering menimbulkan masalah etis bagi perawat antara membolehkan dan tidak membolehkan.

  1. Faktor Sosial
Berbagai faktor sosial berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis. Faktor ini meliputi perilaku sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum dan peraturan perundang-undangan (Ellis, Hartley, 1980). Beberapa tahun terakhir telah terjadi berbagai perkembangan perilaku sosial dan budaya kita. Masyarakat Indonesia yang awalnya merupakan masyarakat agraris, yang sebagian besar tinggal di pedesaan, lambat laun mampu mengembangkan industri yang menyebabkan berbagai perubahan, antara lain semakin meningkatnya area kawasan industri.
Nilai tradisional sedikit demi sedikit demi sedikit telah ditinggalkan oleh beberapa kalangan masyarakat. misalnya, kaum wanita yang pada awalnya hanya sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada suami, telah teralih pada pendamping suami yang mempunyai pekerjaan dan banyak yang menjadi wanita karier. Dengan semakin meningkatnya orang menekuni profesinya, semakin banyak pula orang menunda perkawinan dan banyak pula yang mempertahankan kesendirian.
Perkembangan sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap sistem kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan yang awalnya berorientasi pada program medis lambat laun menjadi pelayanan komprehensif dengna pendekatan tim kesehatan. Ini menyebabkan beberapa perubahan dalam berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan dirumuskan dengan melibatkan tim kesehatan. Namun, untuk menentukan kebijakan dan peraturan tidak mudah. Oleh karena cukup luasnya wilayah Indonesiam aka kita ketahui adanya berbagai peraturan yang bersifat regional, misalnya peraturan daerah.
Nilai yang diyakii masyarakat berpengaruh pula terhadap keperawatan. Sebagai contoh dapat dilihat pada kasus dibawah ini.
Seorang klien yang menderita penyakit kronis dan dirawat dirumah sakit, sudah beberapa bulan dalam keadaan lemah. Oleh karena itu, pasien atau kelaurganya mungkin memilih untuk membawa klien pulang agar dapat dipersiapkan agar meninggal dunia dengan tenang. Selain dengan pertimbangan faktor biaya, adat, hal ini juga karena adanya anggapan atau nilai di masyarakat bahwa “orang yang etikanya tidak baik selama hidup maka sulit meninggal dunia,” klien kemudian dibawa pulang ,atas permintaan sendiri (APS). Beberapa hari kemudian klien tersebut meninggal dunia.
Contoh tersebut dapat terjadi karena mahalnya biaya pengobatan di rumah sakit sedangkan sebagian besar penduduk tidak mempunyai asuransi kesehatan. Ajaran agama juga menyebbutkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kehidupan sementara sehingga hidup di dunia bukan merupakan tujuan akhir manusia. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa dikenal istilah bahwa hidup di dunia hanyalah “mampir ngombe” (singgah sejenak untuk minum) sehingga mereka rela atau siap bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan. Ini  cukup berbeda dengna nilai yang diyakini oleh sebagian masyarakat tidak beragama (ateis), yang menganggap hidup di dunia merupakan segala-galanya dan menganggap kehidupan setelah mati merupakan ajaran tradisional atau khayalan manusia saja.

  1. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada era abad XX, manusia telah berhasl mencapai tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meliputi berbagai bidang. Manusia telah menjelajahi ruang angkasa dan mendarat di beberapa planet selain bumi. Setelah komunikasi antarnegara dapat dilaksanakan secara langsung dari tempat yang jaraknya ribuan kilometer.
Kemajuan di bidang kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang usia manusia dengan ditemukannya berbagai mesin mekanik kesehatan, cara prosedur baru, dan bahan atau obatan baru. Misalnya, klien dengan gangguan ginjal yang dapat diperpanjang usianya berkat adanya mesin hemodialisa. Wanita yang mengalami kesulitan dapat dibantu dengan berbagai inseminasi. Kemajuan ini menimbulkan pertanyaan yang berhubungan dengan etika.

  1. Faktor Legislasi dan keputusan yuridis
Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap perubahan sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya suatu tindakan yang merupakan reaksi perubahan tersebut. legislasi merupakan jaminan tindakan menurut hukum sehingga orang yang bertindak sesuai hukum dapat menimbukan suatu konfilk (Ellis, Hartley, 1990).
Saat ini aspek legislasi dan bentuk keputusan yuridis tentang masalah etika kesehatan sedang menjadi topik yang banyak diicarakan. Hukum kesehatan telah menjadi suatu bidang ilmu dan perundang-undangan baru yang banyak disusun untuk menyempurnakan perundang-undangan lama atau untuk mengantisipasi perkembangan masalah hukum kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang praktik keperawatan dan keputusan menteri kesehatan yang mengatur registrasi dan praktik perawat.
Pemberian izin praktik bagi perawat merupakan manifestasi dari UU Ke. RI No.23 tahun 1992 pasal 53 ayat 1 tentang hak memperoleh perlidnungan hukum, yaitu “Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungna hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya,” dan ayat 2 tentang perlindungan/ melindungi hak klien, yaitu “Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak klien.”
Upaya pengendalian mutu praktik keperawatan melalui legislasi keperawatan. Legislasi berarti suatu ketetapan hukum atau ketentuan hukum yng mengatur hak dan kewajiban seseorang yang berhubungan erat dengan tindakan (Lieberman,1970). Keputusan Menteri Kesehatan No.1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan praktik Keperawatan.

  1. Faktor Dana atau Keuangan
Dana atau keungan untuk membiayai pengobatan dan perawatan dapat menimbulkan konflik. Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, pemerintah tela banyak berupaya dengan mengadakan berbagai program yang dibiayai pemerintah. Walaupun pemerintah telah mengalokasiikan dana yang besar untuk pembangunan kesehatan, dana ini belum seluruhnya dapat mengatasi berbagai masalah kesehatan sehingga partisipasi swasta dan masyarakat banyak digalakkan.
Perawatan sebagai tenaga kesehatan yang setiap hari menghadapi klien, sering menerima keluhan klien mengenai pendanaan. Dalam daftar kategori diagnosis keperawatan tidak ada pernyataan yang menyatkan ketidakcukupan dana, tetapi hal ini dapat menjadi etiologi bagi berbagai diagnosis keperawatan, antara lain ansietas dan ketidakpatuhan. Masalah ketidakcukupan dana dapat menimbulkan konflik terutama bila tidak dapat dipecahkan. Contoh dapat dilihat pada masalah berikut:
Ny, Karlina dirawat di unit rawat inap penyakit dalam dengan masalah diabetes melitus. Setelah selama tiga minggu, Ny Karlina diperbolehkan pulang. Ny Karlina menjadi gelisah dan tidak dapat tidur setelah mengetahui perincian biaya rawat yang cukup tinggi. Ia tidak mempunyai uang yang cukup dan menyuruh anaknya yang sering nengok untuk pulang mencari dana.
Diana, seorang mahasiswa akademi keperawatan yang diberi tugas praktis merawat Ny Karlina. Ia mendapat banyak keluhan dari Ny Karlina dan pada pendataan terakhir Ny Karlina menyatkan “Anak saya sedang saya suruh pulang cari uang pinjaman. Sebenarnya saya sudah boleh pulang tiga hari yang lalu, tetapi bingung karena sampai saat ini dia belum datang padahal saya tidak boleh meninggalkan rumah sakit sebelum melunasi biaya mondok.” Diana mengetahui ansietas Ny Karlina, namun ia tidak mengetahui tindakan apa yang paling tepat untuk klien ini dan sejauh mana kewenangan perawat dalam pembuatan keputusan terhadap masalah ini. Akhirnya, ia hanya menganggukkan kepala dan menyarankan Ny Karlina untuk bersabar.

  1. Faktor Pekerjaan
Dalam pembuatan suatu keputusan, perawat perlu mempertimbangkan posisi pekerjaannya. Sebagian besar perawat bukan merupakan tenaga yang praktik sendiri, tetapi bekerja di rumah sakit, dokter praktik swasta atau institusi kesehatan lainnya. Tidak semua keputusan pribadi perawat dapat dilaksanakan; namun harus disesuaikan dengan keputusan atau aturan tempat ia bekerja. Perawat yang mengutamakan kepentingan pribadi sering mendapat sorotan sebagai perawat pembangkang. Sebagai konsekuensinya, ia dapat mendapat sanksi administrasi atau mungkin kehilangan pekerjaan. Contoh dapat dilihat pada masalah berikut.
DH, seorang perawat baru yang ditempatkan di suatu rumah sakit di unit perawatan bedah. Setelah bekerja selama tiga bulan, ia berpendapat bahwa kesejahteraan perawat yang menyangkut keselamatan kerja kurang dijamin oleh rumah sakit. Persediaan peralatan habis pakai, misalnya kapas, kasa steril, dan sarung tangan pada unit bedah tersebut sangat terbatas sehingga para perawat dalam bekerja mengalami kesulitan dalam menjaga teknik septik. Mereka terpaksa harus sering bersinggungan langsung dengan lokasi operasi ataupun darah klien sehingga kemungkinan terjadi infeksi lewat kontak luka atau darah bagi perawat cukup besar. Tahun sebelumnya terdapat sekitar 25% klien pascaoperasi mengalami infeksi pada luka operasi dan dalam hal ini, perawat dituduh kurang dapat menjaga teknik aseptik. DH mendiskusikan hal ini dengan perawat yang akhirnya mengajukan usulan agar persediaan peralatan sekali pakai ditingkat menjadi sekitar 400%. Pihak rumah sakit menolak dengan alasan tidak ada dana. DH kemudian mempelajari alokasi dana rumah sakit. Ia mendapatkan data bahwa sebagian besar pemasukan biaya operator, sedangkan jawa perawat yang merawat sama sekali tidak ada. DH mengusulkan agar jasa operator dikurangisehingga dapat digunakan untuk meningkatkan persediaan peralatan habis pakai. Pihak rumah sakit dan para operator tersinggung dan mengecam DH sebagai perawat yang tidak sopan. Akhirnya muncul keputusan baru bahwa DH dipindahkan dari unit rawat bedah ke unit lain.

No comments:

Post a Comment