Thursday, July 9, 2020

Mengenal Ragam Bahasa di dalam Bahasa Indonesia


Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Ragam bahasa dibagi atas dasar media pembicaraan, situasi dan pemakaian, serta topik pembicaraan.

A. Ragam bahasa menurut media pembicaraan

ragam bahasa menurut media pembicaraan dibagi atas:
1. Ragam lisan
      Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide.
2. Ragam Tulis
      Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bawha ciri-ciri dari ragam tulis adalah sebagai berikut :
a. Kosa kata yang digunakan dipilih secara cermat, 
b. Pembentukan kata dilakukan secara sempurna, 
c. Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap, dan
d. Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu. 

Adapun, kelebihan dari ragam tulis diantaranya tidak bergantung pada waktu dan tempat, jadi dimanapun seseorang berada asalkan ia memiliki suatu media berupa ragam tulis, struktur dan paduan katanya tidak akan berubah. Namun dalam pemakaiannya secara langsung, ragam lisan lebih unggul dikarenakan karakteristiknya yang memiliki unsur suprasegmental dengan mimik wajah, tinggi rendahnya suara, serta gerak tubuh.

B. Ragam bahasa menurut situasi pemakaiannya

ragam bahasa juga dipengaruhi oleh situasi pemakaian. Tidak seperti ragam baku tulisan, ragam baku lisan akan berpengaruh terhadap situasi dari pemakaian dan terdapat kemungkinan peniadaan beberapa kata yang dimaksudkan untuk mempersingkat tanpa mengurangi unsur penting yaitu penyampaian informasi. Misalkan, dalam ragam baku tulisan terdapat kalimat :
Saya bertempat tinggal di Bogor.
sedangkan dalam ragam lisan, kalimat tersebut bisa berbentuk seperti :
Saya tinggal di Bogor.
Dalam kebakuan, ragam lisan akan semakin tinggi sebanding dengan situasinya, contohnya seperti saat berbicara dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi akan lebih baku ketimbang berbicara dengan yang berstatus sosial sama ataupun lebih rendah.
C. Ragam bahasa menurut topik pembicaraan

Di kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ada kalanya digunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama akan berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi.

Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah Laras bahasa. Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata peristilahan atau ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama. Istilah koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran.Software, hardware, adalah kata-kata yang umum digunakan dalam bidang Ilmu komputer.
Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam sastra berbeda dengan kalimat-kalimat dalam koran atau artikel.

1.     Seiring dengan perkembangan bahasa, berkembang pula penguasaan anak-anak atas system bahas itu yang dipelajarinya. Sistem bahasa itu terdiri atas subsistem , yaitu : fonologi, morfologi, sintaksis, semnatik, dan pragmatik. Bagaimana perkembangan : fonologis, morfologis, sintaksis, semantic, dan pragmatic? Jelaskan!

Perkembangan Fonologis                                     
            Sebelum masuk SD, anak telah menguasai sejumlah fonem/bunyi bahasa,tetapi masih ada beberapa fonem yang masih sulit diucapkan dengan tepat. Menurut pendapat Woolfolk (1990), sekitar 10% anak umur 8 tahun masih mempunyai masalah dengan bunyi s, z, v. Sedangkan hasil penelitian  Budiasih dan Zuhdi (1997)menunjukkan bahwa anak kelas dua dan tiga melakukan kesalahan pada pengucapan f, sy, dan ks diucapkan menjadi p, s, k. Terkait dengan hal tersebut,Tompkins(1995) juga menyatakan bahwa ada sejumlah bunyi bahasa yang belum diperoleh anak sampai menginjak usia kelas awal SD, khususnya bunyi tengah dan akhir,misalnya v, zh, sh, dan ch.
Perkembangan Morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna akibat dari proses afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah menjadi bersatu, menyatu, kesatu,satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesatuan kebersatuan, mempersatukan,dst.
Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfemmula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulansecara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentukkaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terusberlangsung sampai pada masa adolesen.Berdasarkan kerumitan afiksasi tersebut, perkembangan morfologis ataukemampuan menggunakan morfem/afiks anak SD dapat diduga sebagaiberikut.:
-Anak kelas awal SD telah dapat mengunakan kata berprefiks dan bersufiks seperti melempar danmakanan.
- Anak kelas menengah SD telah dapat mengunakan kata berimbuhan simulfiks/konfiks sederhana seperti menjauhi, disatukan
 -Anak kelas atas SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks yang sudah kompleks misalnya diperdengarkan dan memberlakukan dalam bahasa lisan atau tulisan.

Perkembangan Sintaksis
            Brown dan Harlon (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan bahwakalimat awal anak adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan berorientasiberita. Setelah itu, anak baru menguasai kalimat tanya, dan ingkar. Berikutnyakalimat anak mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat berita, tanya,maupun ingkar. Menurut hasil pengamatan Brown dan Bellugi terhadappercakapan anak, memberi kesimpulan bahwa ada tiga macam cara yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu pengembangan,pengurangan, dan peniruan.
Perkembangan Semantik
            Selama periode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan maknakata. Secara horisontal, anak semakin mampu memahami dan dapatmenggunakan suatu kata dengan nuansa makna yang agak berbeda secara tepat.Penambahan vertikal berupa penambahan jumlah kata yang dapat dipahami dandigunakan dengan tepat (Owens dalam Budiasih dan Zuchdi, 1997).Menurut Lindfors, perkembangan semantik berlangsung dengan sangat pesat di SD. Kosakata anak bertambah sekitar 3000 kata pertahun (Tompkins, 1989).

 Perkembangan Pragmatik
            Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling pentingdibanding perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini pada usiaprasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat, sistematis,dan menarik.Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu dipahami anak (1)kepada siapa berbicara (2) untuk tujuan apa, (3) dalam konteks apa, (4) dalamsituasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, (7) dalam peristiwaapa (Tarigan, 1990). Ke-7 faktor penentu komunikasi tersebut berkaitan eratdengan fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday:
instrumental, regulator, interaksional, personal, imajinatif, heuristik, dan informatif .



PETA KONSEP FONOLOGI




















          Fonologi  adalah ilmu tentang perbendaharaan bunyi-bunyi (fonem) bahasa dan distribusinya. Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia.. Bidang kajian fonologi adalah bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran dengan gabungan bunyi yang membentuk suku kata.

            Asal kata fonologi, secara harfiah sederhana, terdiri dari gabungan kata fon (yang berarti bunyi) dan logi (yang berarti ilmu). Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah fonologi merupakan turunan kata dari bahasa Belanda, yaitu fonologie.

            Fonologi terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik. Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan dan pengucapan bahasa. Dengan kata lain, fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Sementara itu, Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.

Ada 3 (tiga) unsur penting ketika organ ucap manusia memproduksi bunyi atau fonem, yaitu:

udara - sebagai penghantar bunyi,
artikulator - bagian alat ucap yang bergerak, dan
titik artikulasi (disebut juga artikulator pasif) - bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Ada beberapa istilah lain yang berkaitan dengan fonologi, antara lain: fona, fonem, vokal, dan konsonan. Fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral atau masih belum terbukti membedakan arti, sedangkan fonem adalah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti.

            Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf, jadi fonem berbeda dengan huruf. Variasi ini terdiri dari: vokal, konsonan, diftong (vokal rangkap), dan kluster (konsonan rangkap).

            Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan. Dalam bahasa, khususnya bahasa Indonesia, terdapat huruf vokal. Huruf vokal merupakan huruf-huruf yang dapat berdiri tunggal dan menghasilkan bunyi sendiri. Huruf vokal terdiri atas: a, i, u, e, dan o. Huruf vokal sering pula disebut huruf hidup.

            Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan rintangan adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator. Terdapat pula istilah huruf konsonan, yaitu huruf-huruf yang tidak dapat berdiri tunggal dan membutuhkan keberadaan huruf vokal untuk menghasilkan bunyi. Huruf konsonan terdiri atas: b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p,q, r, s, t, v, w, x, y, dan z. Huruf konsonan sering pula disebut sebagai huruf mati.

Vokal dan konsonan
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok: vokal dan konsonan.

Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor:

tinggi-rendahnya posisi lidah (tinggi, sedang, rendah)
bagian lidah yang dinaikkan (depan, tengah, belakang)
bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (normal, bundar, lebar/terentang)
Konsonan adalah bunyi bahasa yang arus udaranya mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor:

keadaan pita suara (merapat atau merenggang - bersuara atau tak bersuara)
penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap/artikulator (bibir, gigi, gusi, lidah, langit-langit)
cara alat ucap tersebut bersentuhan/berdekatan
Artikulator adalah alat ucap yang bersentuhan atau yang didekatkan untuk membentuk bunyi bahasa.

Daerah artiulasi adalah daerah pertemuan antara dua artikulator. Macamnya:

Bilabial - bibir atas dan bibir bawah (kedua bibir terkatup), mis.: [p], [b], [m]
Labiodental - bibir bawah dan ujung gigi atas, mis.: [f]
Alveolar - ujung/daun lidah menyentuh/mendekati gusi, mis.: [t], [d], [s]
Dental - ujung/daun lidah menyentuh/mendekati gigi depan atas
Palatal - depan lidah menyentuh langit-langit keras, mis.: [c], [j], [y]
Velar - belakang lidah menempel/mendekati langit-langit lunak, mis.: [k], [g]
Glotal (hamzah) - pita suara didekatkan cukup rapat sehingga arus udara dari paru-paru tertahan, mis.: bunyi yang memisahkan bunyi [a] pertama dan [a] kedua pada kata saat
Cara artikulasi adalah cara artikulator menyentuh atau mendekati daerah artikulasi. Macamnya:

Bunyi hambat - kedua bibir terkatup, saluran ke rongga hidung tertutup, kemudian katup bibir dibuka tiba-tiba. Mis.: [p] dan [b]
Bunyi semi-hambat - kedua bibir terkatup, udara dikeluarkan melalui rongga hidung. Mis.: [m]
Bunyi frikatif - arus udara dikeluarkan melalui saluran sempit sehingga terdengar bunyi berisik (desis). Mis.: [f] dan [s]
Bunyi lateral - ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah. Mis.: [l]
Bunyi getar - ujung lidah menyentuh tempat yang sama berulang-ulang. Mis.: [r]
Selain bunyi-bunyi di atas, ada bunyi yang cara pembentukannya sama seperti pembentukan vokal, tetapi tidak pernah dapat menjadi inti suku kata. Mis.: [w] dan [y]

Diftong dan gugus
Diftong berhubungan dengan vokal, sedangkan gugus berhubungan dengan konsonan.

Diftong merupakan gabungan vokal dengan /w/ atau /y/, contohnya /aw/ pada /kalaw/ dan /baŋau/ (untuk kata "kalau" dan "bangau"), tetapi bukan /au/ pada /mau/ dan /bau/.
Gugus adalah gabungan dua konsonan, atau lebih, yang termasuk dalam satu suku kata yang sama. /kl/ dan /br/ (seperti dalam "klinik" dan "obral") adalah gugus, sedangkan /mp/ dan /rc/ (seperti dalam "tampak", "timpa", "arca", dan "percaya") bukanlah gugus dalam bahasa Indonesia.
Diftong adalah vokal yang berubah kualiasnya. Dalam sistem tulisan diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ pada kata "harimau" adalah diftong, sehingga <au> pada suku kata "-mau" tidak dapat dipisahkan menjadi "ma·u" seperti pada kata "mau". Demikian pula halnya dengan deretan huruf vokal <ai> pada kata "sungai". Deretan huruf vokal itu melambangkan bunyi diftong /ay/ yang merupakan inti suku kata "-ngai".

Diftong berbeda dari deretan vokal. Tiap-tiap vokal pada deretan vokal mendapat hembusan napas yang sama atau hampir sama; kedua vokal itu termasuk dalam dua suku kata yang berbeda. Bunyi /aw/ dan /ay/ pada kata "daun" dan "main", misalnya, bukanlah diftong, karena baik [a] maupun [u] atau masing-masing mendapat aksen yang (hampir) sama dan membentuk suku kata tersendiri sehingga kata "daun" dan "main" masing-masing terdiri atas dua suku kata.

Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku kata yang sama. Bunyi [pr] pada kata "praktik" adalah gugus konsonan, tetapi [kt] pada kata yang sama itu bukanlah gugus konsonan. Pemisahan bunyi pada kata itu adalah prak·tik.

Dengan contoh di atas jelaslah bawha tidak semua deretan konsonan itu selalu membentuk gugus konsonan. Dalam bahasa Indonesia cukup banyak kata yang memiliki dua konsonan yang berdampingan, namun belum tentu deretan itu merupakan gugus konsonan. Contoh lain dari deretan dua konsonan yang bukan gugus konsonan adalah "cipta", "aksi", dan "harga".

Fonem dan grafem[sunting]
Fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau mirip kedengarannya. Dalam ilmu bahasa fonem itu ditulis di antara dua garis miring: /.../.
/p/ dan /b/ adalah dua fonem karena kedua bunyi itu membedakan arti. Contoh:

pola — /pola/        : bola — /bola/
parang — /paraŋ/     : barang — /baraŋ/
peras — /pɘras/      : beras — /bɘras/
Fonem dalam bahasa dapat mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Fonem /p/ dalam bahasa Indonesia, misalnya, dapat mempunyai dua macam lafal. Bila berada pada awal suku kata, fonem itu dilafalkan secara lepas. Pada kata /pola/, misalnya, fonem /p/ itu diucapkan secara lepas untuk kemudian diikuti oleh fonem /o/. Bila berada pada akhir kata, fonem /p/ tidak diucapkan secara lepas; bibir kita masih tetap rapat tertutup waktu mengucapkan bunyi ini. Dengan demikian, fonem /p/ dalam bahasa Indonia mempunyai dua variasi.

Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon dituliskan di antara dua kurung siku [...]. Kalau [p] yang lepas kita tandai dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>], maka kita dapat berkata bahwa dalam bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan [p>].

Grafem berbicara tentang huruf, sedangkan fonem berbicara tentang bunyi. Seringkali represenasi tertulis kedua konsep ini sama. Misalnya untuk menyatakan benda yang dipakai untuk duduk yang bernama "kursi", kita menulis kata kursi yang terdiri dari grafem <k>, <u>, <r>, <s>, dan <i>, dan mengucapkannya pun /kursi/ - dari segi grafem ada alima satuan, dan dari segi fonem juga ada lima satuan. Akan tetapi, hubungan satu-lawan-satu seperti itu tidak selalu kita temukan. Kata "ladang" mempunyai enam grafem, yakni <l>, <a>, <d>, <a>, <n>, dan <g>. Dari segi bunyinya perkaatan yang sama itu hanya mempunyai lima fonem, yakni /l/, /a/, /d/, /a/, dan /ŋ/ karena grafem <n> dan <g> hanya mewakili satu fonem /ŋ/ saja.

Bunyi yang dinyatakan oleh grafem <p> dan <g> dalam bahasa Indonesia jelas sangat berbeda. Sebaliknya, bunyi yang dinyatakan oleh grafem <p> dan <b> sangat berdekatan. Dengan perbedaan dan kemiripan seperti itu maka dalam percakapan telepon, perkataan "pula" dan "gula" tidak akan keliru ditangkap, sedangkan "pola" dan "bola" dapa dengan mudah membingungkan kita.

No comments:

Post a Comment