Ragam
bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai
prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya
ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di
dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau
ragam bahasa resmi.
Ragam
bahasa dibagi atas dasar media pembicaraan, situasi dan pemakaian, serta topik
pembicaraan.
A. Ragam bahasa menurut media pembicaraan
ragam bahasa menurut media pembicaraan dibagi atas:
1.
Ragam lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech)
dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata
bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat
memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau
isyarat untuk mengungkapkan ide.
2.
Ragam Tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan
dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan
tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan
kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata
bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata,
kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bawha ciri-ciri dari ragam tulis adalah
sebagai berikut :
a. Kosa kata yang
digunakan dipilih secara cermat,
b. Pembentukan
kata dilakukan secara sempurna,
c. Kalimat
dibentuk dengan struktur yang lengkap, dan
d. Paragraf
dikembangkan secara lengkap dan padu.
Adapun, kelebihan dari ragam tulis diantaranya tidak bergantung pada waktu dan tempat, jadi dimanapun seseorang berada asalkan ia memiliki suatu media berupa ragam tulis, struktur dan paduan katanya tidak akan berubah. Namun dalam pemakaiannya secara langsung, ragam lisan lebih unggul dikarenakan karakteristiknya yang memiliki unsur suprasegmental dengan mimik wajah, tinggi rendahnya suara, serta gerak tubuh.
B. Ragam bahasa menurut situasi pemakaiannya
ragam bahasa juga dipengaruhi oleh situasi pemakaian. Tidak seperti ragam baku tulisan, ragam baku lisan akan berpengaruh terhadap situasi dari pemakaian dan terdapat kemungkinan peniadaan beberapa kata yang dimaksudkan untuk mempersingkat tanpa mengurangi unsur penting yaitu penyampaian informasi. Misalkan, dalam ragam baku tulisan terdapat kalimat :
Saya bertempat tinggal di Bogor.
sedangkan
dalam ragam lisan, kalimat tersebut bisa berbentuk seperti :
Saya tinggal di Bogor.
Dalam
kebakuan, ragam lisan akan semakin tinggi sebanding dengan situasinya,
contohnya seperti saat berbicara dengan orang yang status sosialnya lebih
tinggi akan lebih baku ketimbang berbicara dengan yang berstatus sosial sama
ataupun lebih rendah.
C.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan
Di
kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam
membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ada kalanya digunakan ragam
bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama akan
berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau
pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa
yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau
teknologi.
Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah Laras bahasa. Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata peristilahan atau ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama. Istilah koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran.Software, hardware, adalah kata-kata yang umum digunakan dalam bidang Ilmu komputer.
Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam sastra berbeda dengan kalimat-kalimat dalam koran atau artikel.
Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah Laras bahasa. Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata peristilahan atau ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama. Istilah koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran.Software, hardware, adalah kata-kata yang umum digunakan dalam bidang Ilmu komputer.
Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam sastra berbeda dengan kalimat-kalimat dalam koran atau artikel.
1.
Seiring dengan perkembangan bahasa,
berkembang pula penguasaan anak-anak atas system bahas itu yang dipelajarinya.
Sistem bahasa itu terdiri atas subsistem , yaitu : fonologi, morfologi,
sintaksis, semnatik, dan pragmatik. Bagaimana perkembangan : fonologis,
morfologis, sintaksis, semantic, dan pragmatic? Jelaskan!
Perkembangan Fonologis
Sebelum masuk SD, anak telah
menguasai sejumlah fonem/bunyi bahasa,tetapi masih ada beberapa fonem yang
masih sulit diucapkan dengan tepat. Menurut pendapat Woolfolk (1990), sekitar
10% anak umur 8 tahun masih mempunyai masalah dengan bunyi s, z, v. Sedangkan
hasil penelitian Budiasih dan Zuhdi
(1997)menunjukkan bahwa anak kelas dua dan tiga melakukan kesalahan pada
pengucapan f, sy, dan ks diucapkan menjadi p, s, k. Terkait dengan hal
tersebut,Tompkins(1995) juga menyatakan bahwa ada sejumlah bunyi bahasa yang
belum diperoleh anak sampai menginjak usia kelas awal SD, khususnya bunyi
tengah dan akhir,misalnya v, zh, sh, dan ch.
Perkembangan
Morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek
morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna
akibat dari proses afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah.
Misalnya kata satu dapat berubah menjadi bersatu, menyatu, kesatu,satuan,
satukan, disatukan, persatuan, kesatuan kebersatuan, mempersatukan,dst.
Zuhdi
dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfemmula-mula
bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulansecara kasar
tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentukkaidah. Proses yang
rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terusberlangsung sampai pada masa
adolesen.Berdasarkan kerumitan afiksasi tersebut, perkembangan morfologis
ataukemampuan menggunakan morfem/afiks anak SD dapat diduga sebagaiberikut.:
-Anak kelas awal SD telah dapat mengunakan
kata berprefiks dan bersufiks seperti melempar danmakanan.
- Anak kelas menengah SD telah dapat
mengunakan kata berimbuhan simulfiks/konfiks sederhana seperti menjauhi,
disatukan
-Anak kelas atas SD telah dapat menggunakan
kata berimbuhan konfiks yang sudah kompleks misalnya diperdengarkan dan
memberlakukan dalam bahasa lisan atau tulisan.
Perkembangan
Sintaksis
Brown
dan Harlon (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan bahwakalimat awal
anak adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan berorientasiberita. Setelah
itu, anak baru menguasai kalimat tanya, dan ingkar. Berikutnyakalimat anak
mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat berita, tanya,maupun
ingkar. Menurut hasil pengamatan Brown dan Bellugi terhadappercakapan anak,
memberi kesimpulan bahwa ada tiga macam cara yang biasa ditempuh dalam
mengembangkan kalimat, yaitu pengembangan,pengurangan, dan peniruan.
Perkembangan
Semantik
Selama
periode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan maknakata. Secara
horisontal, anak semakin mampu memahami dan dapatmenggunakan suatu kata dengan
nuansa makna yang agak berbeda secara tepat.Penambahan vertikal berupa
penambahan jumlah kata yang dapat dipahami dandigunakan dengan tepat (Owens
dalam Budiasih dan Zuchdi, 1997).Menurut Lindfors, perkembangan semantik
berlangsung dengan sangat pesat di SD. Kosakata anak bertambah sekitar 3000
kata pertahun (Tompkins, 1989).
Perkembangan Pragmatik
Perkembangan
pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling pentingdibanding
perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini pada usiaprasekolah
anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat, sistematis,dan
menarik.Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu dipahami
anak (1)kepada siapa berbicara (2) untuk tujuan apa, (3) dalam konteks apa, (4)
dalamsituasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, (7) dalam
peristiwaapa (Tarigan, 1990). Ke-7 faktor penentu komunikasi tersebut berkaitan
eratdengan fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday:
instrumental,
regulator, interaksional, personal, imajinatif, heuristik, dan informatif .
PETA KONSEP FONOLOGI
Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan bunyi-bunyi
(fonem) bahasa dan distribusinya. Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang
mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia..
Bidang kajian fonologi adalah bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran
dengan gabungan bunyi yang membentuk suku kata.
Asal kata fonologi,
secara harfiah sederhana, terdiri dari gabungan kata fon (yang berarti bunyi) dan
logi (yang berarti ilmu). Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah fonologi
merupakan turunan kata dari bahasa Belanda, yaitu fonologie.
Fonologi terdiri dari 2
(dua) bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik. Fonologi berbeda dengan fonetik.
Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan
atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia,
terutama yang berhubungan dengan penggunaan dan pengucapan bahasa. Dengan kata
lain, fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi
bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia.
Sementara itu, Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran
menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
Ada 3 (tiga) unsur penting ketika organ ucap manusia memproduksi bunyi
atau fonem, yaitu:
udara - sebagai penghantar bunyi,
artikulator - bagian alat ucap yang bergerak, dan
titik artikulasi (disebut juga artikulator pasif) - bagian alat ucap
yang menjadi titik sentuh artikulator.
Ada beberapa istilah lain yang berkaitan dengan fonologi, antara lain:
fona, fonem, vokal, dan konsonan. Fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral
atau masih belum terbukti membedakan arti, sedangkan fonem adalah satuan bunyi
ujaran terkecil yang membedakan arti.
Variasi fonem karena
pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem
dinamakan huruf, jadi fonem berbeda dengan huruf. Variasi ini terdiri dari:
vokal, konsonan, diftong (vokal rangkap), dan kluster (konsonan rangkap).
Vokal adalah fonem yang
dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan. Dalam bahasa,
khususnya bahasa Indonesia, terdapat huruf vokal. Huruf vokal merupakan
huruf-huruf yang dapat berdiri tunggal dan menghasilkan bunyi sendiri. Huruf
vokal terdiri atas: a, i, u, e, dan o. Huruf vokal sering pula disebut huruf
hidup.
Konsonan adalah fonem
yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Dalam hal
ini, yang dimaksud dengan rintangan adalah terhambatnya udara keluar oleh
adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator. Terdapat pula istilah huruf
konsonan, yaitu huruf-huruf yang tidak dapat berdiri tunggal dan membutuhkan
keberadaan huruf vokal untuk menghasilkan bunyi. Huruf konsonan terdiri atas:
b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p,q, r, s, t, v, w, x, y, dan z. Huruf
konsonan sering pula disebut sebagai huruf mati.
Vokal dan konsonan
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara, bunyi bahasa
dapat dibedakan menjadi dua kelompok: vokal dan konsonan.
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan
dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor:
tinggi-rendahnya posisi lidah (tinggi, sedang, rendah)
bagian lidah yang dinaikkan (depan, tengah, belakang)
bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (normal, bundar,
lebar/terentang)
Konsonan adalah bunyi bahasa yang arus udaranya mengalami rintangan dan
kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor:
keadaan pita suara (merapat atau merenggang - bersuara atau tak
bersuara)
penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap/artikulator (bibir, gigi,
gusi, lidah, langit-langit)
cara alat ucap tersebut bersentuhan/berdekatan
Artikulator adalah alat ucap yang bersentuhan atau yang didekatkan untuk
membentuk bunyi bahasa.
Daerah artiulasi adalah daerah pertemuan antara dua artikulator.
Macamnya:
Bilabial - bibir atas dan bibir bawah (kedua bibir terkatup), mis.: [p],
[b], [m]
Labiodental - bibir bawah dan ujung gigi atas, mis.: [f]
Alveolar - ujung/daun lidah menyentuh/mendekati gusi, mis.: [t], [d],
[s]
Dental - ujung/daun lidah menyentuh/mendekati gigi depan atas
Palatal - depan lidah menyentuh langit-langit keras, mis.: [c], [j], [y]
Velar - belakang lidah menempel/mendekati langit-langit lunak, mis.:
[k], [g]
Glotal (hamzah) - pita suara didekatkan cukup rapat sehingga arus udara
dari paru-paru tertahan, mis.: bunyi yang memisahkan bunyi [a] pertama dan [a]
kedua pada kata saat
Cara artikulasi adalah cara artikulator menyentuh atau mendekati daerah
artikulasi. Macamnya:
Bunyi hambat - kedua bibir terkatup, saluran ke rongga hidung tertutup,
kemudian katup bibir dibuka tiba-tiba. Mis.: [p] dan [b]
Bunyi semi-hambat - kedua bibir terkatup, udara dikeluarkan melalui
rongga hidung. Mis.: [m]
Bunyi frikatif - arus udara dikeluarkan melalui saluran sempit sehingga
terdengar bunyi berisik (desis). Mis.: [f] dan [s]
Bunyi lateral - ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar
melalui samping lidah. Mis.: [l]
Bunyi getar - ujung lidah menyentuh tempat yang sama berulang-ulang.
Mis.: [r]
Selain bunyi-bunyi di atas, ada bunyi yang cara pembentukannya sama
seperti pembentukan vokal, tetapi tidak pernah dapat menjadi inti suku kata.
Mis.: [w] dan [y]
Diftong dan gugus
Diftong berhubungan dengan vokal, sedangkan gugus berhubungan dengan
konsonan.
Diftong merupakan gabungan vokal dengan /w/ atau /y/, contohnya /aw/
pada /kalaw/ dan /baŋau/ (untuk kata "kalau" dan "bangau"),
tetapi bukan /au/ pada /mau/ dan /bau/.
Gugus adalah gabungan dua konsonan, atau lebih, yang termasuk dalam satu
suku kata yang sama. /kl/ dan /br/ (seperti dalam "klinik" dan
"obral") adalah gugus, sedangkan /mp/ dan /rc/ (seperti dalam
"tampak", "timpa", "arca", dan
"percaya") bukanlah gugus dalam bahasa Indonesia.
Diftong adalah vokal yang berubah kualiasnya. Dalam sistem tulisan
diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak
dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ pada kata "harimau" adalah diftong,
sehingga <au> pada suku kata "-mau" tidak dapat dipisahkan
menjadi "ma·u" seperti pada kata "mau". Demikian pula
halnya dengan deretan huruf vokal <ai> pada kata "sungai".
Deretan huruf vokal itu melambangkan bunyi diftong /ay/ yang merupakan inti
suku kata "-ngai".
Diftong berbeda dari deretan vokal. Tiap-tiap vokal pada deretan vokal
mendapat hembusan napas yang sama atau hampir sama; kedua vokal itu termasuk
dalam dua suku kata yang berbeda. Bunyi /aw/ dan /ay/ pada kata
"daun" dan "main", misalnya, bukanlah diftong, karena baik
[a] maupun [u] atau masing-masing mendapat aksen yang (hampir) sama dan
membentuk suku kata tersendiri sehingga kata "daun" dan
"main" masing-masing terdiri atas dua suku kata.
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong
dalam satu suku kata yang sama. Bunyi [pr] pada kata "praktik" adalah
gugus konsonan, tetapi [kt] pada kata yang sama itu bukanlah gugus konsonan.
Pemisahan bunyi pada kata itu adalah prak·tik.
Dengan contoh di atas jelaslah bawha tidak semua deretan konsonan itu
selalu membentuk gugus konsonan. Dalam bahasa Indonesia cukup banyak kata yang
memiliki dua konsonan yang berdampingan, namun belum tentu deretan itu
merupakan gugus konsonan. Contoh lain dari deretan dua konsonan yang bukan
gugus konsonan adalah "cipta", "aksi", dan
"harga".
Fonem dan grafem[sunting]
Fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau mirip kedengarannya. Dalam
ilmu bahasa fonem itu ditulis di antara dua garis miring: /.../.
/p/ dan /b/ adalah dua fonem karena kedua bunyi itu membedakan arti.
Contoh:
pola — /pola/ : bola —
/bola/
parang — /paraŋ/ : barang —
/baraŋ/
peras — /pɘras/ : beras —
/bɘras/
Fonem dalam bahasa dapat mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung
pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Fonem /p/ dalam bahasa Indonesia,
misalnya, dapat mempunyai dua macam lafal. Bila berada pada awal suku kata,
fonem itu dilafalkan secara lepas. Pada kata /pola/, misalnya, fonem /p/ itu
diucapkan secara lepas untuk kemudian diikuti oleh fonem /o/. Bila berada pada
akhir kata, fonem /p/ tidak diucapkan secara lepas; bibir kita masih tetap
rapat tertutup waktu mengucapkan bunyi ini. Dengan demikian, fonem /p/ dalam
bahasa Indonia mempunyai dua variasi.
Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon
dituliskan di antara dua kurung siku [...]. Kalau [p] yang lepas kita tandai
dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>], maka
kita dapat berkata bahwa dalam bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon,
yakni [p] dan [p>].
Grafem berbicara tentang huruf, sedangkan fonem berbicara tentang bunyi.
Seringkali represenasi tertulis kedua konsep ini sama. Misalnya untuk
menyatakan benda yang dipakai untuk duduk yang bernama "kursi", kita
menulis kata kursi yang terdiri dari grafem <k>, <u>, <r>, <s>,
dan <i>, dan mengucapkannya pun /kursi/ - dari segi grafem ada alima
satuan, dan dari segi fonem juga ada lima satuan. Akan tetapi, hubungan
satu-lawan-satu seperti itu tidak selalu kita temukan. Kata "ladang"
mempunyai enam grafem, yakni <l>, <a>, <d>, <a>,
<n>, dan <g>. Dari segi bunyinya perkaatan yang sama itu hanya
mempunyai lima fonem, yakni /l/, /a/, /d/, /a/, dan /ŋ/ karena grafem <n>
dan <g> hanya mewakili satu fonem /ŋ/ saja.
Bunyi yang dinyatakan oleh grafem <p> dan <g> dalam bahasa
Indonesia jelas sangat berbeda. Sebaliknya, bunyi yang dinyatakan oleh grafem
<p> dan <b> sangat berdekatan. Dengan perbedaan dan kemiripan
seperti itu maka dalam percakapan telepon, perkataan "pula" dan
"gula" tidak akan keliru ditangkap, sedangkan "pola" dan
"bola" dapa dengan mudah membingungkan kita.
No comments:
Post a Comment