Proses
masuknya agama Hindhu di Indonesia sampai sekarang belum diketahui secara jelas
karena di kalangan sejarawan belum ada kesepakatan yang bulat hal itu
menimbulkan banyak teori masuknya Hindhu Budha ke Indonesia yaitu:
a. Teori
Waisya
Teori
ini dikemukakan oleh Nj Krom. Ia menyatakan bahwa kaum pedagang dari India, di
samping berdagang, juga membawa adat kebiasaan seperti melakukan upacara
keagamaan. Mereka pada umumnya menetap
di Nusantara dan kemudian memegang peranan penting dalam proses
penyebaran kebudayaan India melalui hubungan penguasa-penguasa Indonesia. Krom
mensyaratkan kemungkinan adanya perkawinan antara pedagang tersebut dengan
wanita Indonesia. Perkawinan itu dianggap sebagai saluran penyebaran pengaruh yang sangat penting dalam
teori ini.
b. Teori
Ksatria
Teori
ini dikemukakan oleh F.D.K Bosch. Dalam teori ini ia berpendapat adanya
raja-raja dari India yang datang menaklukkan daerah-daerahtertentu di Indonesia
dan menghidupkan penduduknya.
c. Teori
Brahmana
Teori
ini dikemukakan oleh J.C. Van Leur. Ia menyatakan bahwa kaumbrahmana yang
menyebarkan agama Hindu di Nusantara. Karena kaum Brahmana yang menguasai
keagamaan. Teori ini disempurnakan oleh bosch. Yang menyatakan bahwa hanya kaum
cendekiawan yang dapat menyampaikanya kepada bangsa Indoonesia.
d. Teori
Sudra
Masuknya
agama hindu karena dibawa oleh para kaum kastra sudra.
e. Teori
Gabungan
Teori
ini berisi bahwa kaum brahmana, bangsawan, dan para pedagang bersama-sama
menyebarkan agama Hindu sesuai dengan peranan masing-masing.
Peradaban
Jawa yang tumbuh antara abad ke-8 hingga abad ke-15. Peradaban yang hampir
berlangsung selama kurang lebih 7 setengah abad ini mencangkup seluruh periode
Hindhu Budha di wilayah budaya Jawa.kerajaan Mataram Kuno bertempat di Jawa Tengah,
dan periode kerajaannya mencangkup 732-928 M. Sumber sejarah untuk mempelajari
awal berdirinya Kerajaan Mataram di Jawa Tengah adalah Prasasti Canggal yang
ditemukan di Desa Canggal, di halaman sebuah candi yang sudah runtuh di lereng
Gunung Wukir (dekat Muntilan, ssebelah barat Magelang). Prasasti yang ditulis
dengan memakai huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang mempunyai keistimewaan,
yaitu memakai angka tahun Candrasangkala yang berbunyi Crutiindriya Rasa. Dalam
makalah ini akan dibahas tentang pengaruh kebudayaan India (Hindu Budha) pada
kerajaan Mataram Kuno.
2.1 Kerajaan
Mataram
a.
Sejarah
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan
intinya yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh
pegunungan dan gununggunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro,
Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah
ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo,
Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.
Kerajaan
Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang merupakan kerajaan
yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang pernah
menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan
Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa
sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah, Wangsa Isana
sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.
Raja pertama
Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan pendiri Wangsa Sanjaya
yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai
Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah
Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik agama Hindu dan Budha berkembang
bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa
Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah
Jawa Tengah bagian selatan.
Wangsa
Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja Samaratungga,
Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut agama Hindu.
Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali
Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang anggota
Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara Pramodawardhani.
Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya yang kemduian menjadi
Raja disana.
Wangsa
Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya Kepemerintahan
Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang mengatakan bahwa pada
saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram Hancur. Mpu
Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan
memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru
bernama Wangsa Isana.
1. Pusat Kerajaan Mataram Kuno
Pada umumnya para sejarawan menyebut
ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa
Sanjaya dan Wangsa
Sailendra pada periode Jawa Tengah,
serta Wangsa Isyana pada periode
Jawa Timur.Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang,
yaitu Sanjaya.
Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa.
Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran (pengganti Sanjaya
sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas
Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai
saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa,
bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan
Sriwijaya di Pulau
Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar
tahun 840-an,
seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil
menikahi Pramodawardhaniputri
mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang,
dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal
kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljanaberpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljanaberpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut
teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai
dari Rakai Panangkaran sampai
dengan Rakai Garung adalah
anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai
sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada
zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit,
yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan
“Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu
Dyah Pancapana.
Slamet
Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai
Garungdengan nama-nama raja Wangsa
Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindraataupun Samaratungga.
yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi
Prasasti Mantyasih.
Sementara
itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa
Isana yang baru muncul pada ‘’periode
Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang
membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam
prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah
kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
2. Berdirinya
Kerajaan Mataram Kuno
Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum
jelas, namun menurut Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama Kerajaan
Mataram Kuno adalah Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan Prasasti Canggal
(732) tanpa menyebut jelas apa nama kerajaannya. Dalam prasasti itu, Sanjaya
menyebutkan terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja
tersebut bernama Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena yang merupakan raja
dari Kerajaan Galuh yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari
Kerajaan Tarumanegara).
Kekuasaan
Sanna digulingkan dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan kemudian
melarikan diri ke Kerjaan Sunda untuk memperoleh perlindungan dari Tarusbawa,
Raja Sunda. Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya yang merupakan keponakan dari
Sanna sebagai menantunya. Setelah naik tahta, Sanjaya pun berniat untuk
menguasai Kerajaan Galuh kembali. Setelah berhasil menguasai Kerajaan Sunda,
Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan baru yaitu
Kerajaan Mataram Kuno.
Dari prasasti
yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa dipastikan
Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak abad ke-7 dengan
rajanya yang pertama adalah Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya.
3. Runtuhnya
Kerajaan Mataram Kuno
Hancurnya
Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang dimulai
saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian
menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan
antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi
selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai
lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa
permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa
Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan
Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang
(sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Runtuhnya
Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok
memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang
memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran
tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan
serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa
lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan
diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan
Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
4.
Sumber Sejarah Kerajaan Mataram
Kuno
Terdapat dua
sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram Kuno, yaiut berbentuk
Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi sekarang ini. Adapun
untuk Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti,
diantaranya:
1. Prasasti
Canggal
Prasasti
Canggal ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa Canggal berangka tahun
732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang
isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa
Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu juga diceritakan bawa yang
menjadi raja sebelumnya adalah Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha
(saudara perempuan Sanna).
Terjemahan
bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:
Bait 1 : Pembanggunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa,Dewa Brahma,dan Dewa wisnu
bait 7 : Pulau jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan
banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan
penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjaradesa
bait 8-9 : Pulau Jawa yang
dulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya,
perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara
berkabung, sedih kehilangan pelindung.
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna
yaitu putranya bernama sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan
tidak langsung diserahkan kepadannya oleh raja Sanna tetapimelalui kakak
perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat
dapat tidur ditengah jala, tidak usah takut akan pencuri dan penyammun atau
akan terjadinya kejahatan lainnya. rakyat hidup serba senang.
Kunjarakunjara-desa dapat berarti “tanah dari pertapaan kunjara”, yang
diidentifikasikan sebagai tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu
yang dipuja di India Selatan.
2. Prasasti
Kalasan
Prasasti Kalasan adalah prasasti
peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno yang berangka tahun 700
Saka atau 778M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman,
Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa
Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil
membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan
mustika keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga
Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi
para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha).
Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi
Kalasan.
3. Prasasti
Mantyasih
Prasasti
ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar
silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai
upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga
menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan
Mataram Kuno. Dalam prasasti ini juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang
ditetapkan Balitung sebagai desa
perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih
terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan
sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing). Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta kasih".
4. Prasasti
Klurak
Prasasti
Kelurak berangka tahun 782 M dan ditemukan di dekat Candi Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian
Prambanan, Jawa Tengah. Keadaan prasasti Kelurak sudah sangat aus,
sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya
tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para
ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak
di Kompleks Percandian Prambanan.
5. Prasasti
Sankhara
Prasasti
Raja Sankhara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan
di Sragen, Jawa Tengah. Prasasti ini kini hilang tidak diketahui di mana
keberadaannya. Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi, Museum Adam
Malik, namun diduga ketika museum ini ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau
2006, koleksi-koleksi museum ini dijual begitu saja. Dalam prasasti itu
disebutkan seorang tokoh bernama Raja Sankhara berpindah agama karena agama Siwa
yang dianut adalah agama yang ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama
ke Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih. Sebelumnya
disebutkan ayah Raja Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari. Karena itulah
Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan
agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat
kerajaannya ke arah timur. Di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia disebutkan
bahwa raja Sankhara disamakan dengan Rakai Panangkaran, sedangkan ayah Raja
Sankhara yang dalam prasasti ini tidak disebutkan namanya, disamakan dengan
raja Sanjaya.
6. Prasasti Sojomerto
Prasasti
Sojomerto merupakan peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa
Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini
beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti ini tidak menyebutkan angka
tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun
akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi. Isi prasasti memuat keluarga
dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra,
yaitu ayahnya bernama Santanu,
ibunya bernama Bhadrawati,
sedangkan istrinya bernama Sampula.
Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra
adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di
Kerajaan Mataram Hindu.
7. Prasasti
Tri Tepusan
Prasasti
Tri Tepusan menyebutkan bahwa Sri Kahulunnan pada tahun 842 M menganugerahkan
tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pembuatan dan pemeliharaan tempat suci Kamulan I Bhumisambhara (kemungkinan
besar nama dari candi Borobudur sekarang). Duplikat dari prasasti ini tersimpan
di dalam museum candi Borobudur.
8. Prasasti Wanua Tengah
Prasasti
ini ditemukan November 1983. Prasasti ini di sebuah ladang di Dukuh Kedunglo,
Desa Gandulan, Kaloran, sekitar 4 km arah timur laut Kota Temanggung. Di dalam
prasasti ini dicantumkan daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi
Mataram pada masa sebelum pemerintahan raja Rake Watukara Dyah Balitung.
Prasasti ini dianggap penting karena menyebutkan 12 nama raja Mataram, sehingga
melengkapi penyebutan dalam Prasasti Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti Tembaga Kedu) yang hanya
menyebut 9 nama raja saja.
9. Prasasti
Rukam
rasasti
ini berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi, ditemukan pada 1975 di desa
Petarongan, kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti ini terdiri
atas dua lempeng tembaga yang berbentuk persegi panjang. Lempeng pertama berisi
28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris. Aksara dan bahasa yang digunakan
adalah Jawa Kuna.
Isi
prasasti adalah mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana
karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api. Kemudian
penduduk desa Rukam diberi kewajiban untuk memelihara bangunan suci yang ada di
Limwung. Mungkin bangunan suci tersebut adalah Candi Sajiwan, sebagaimana kata
Sanjiwana tadi. Candi Sajiwan yang sering dilafalkan Sojiwan terletak tidak
jauh dari Candi Prambanan.
10. Prasasti
Gondosuli
Prasasti
ini ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu,
Temanggung, Jawa Tengah. Yang mengeluarkan adalah anak raja (pangeran) bernama
Rakai Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai
Garung. Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia
ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuna dengan aksara Kawi(Jawa Kuna), berangka
tahun 792M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi
tentang filsafat dan ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.
11. Prasasti
Ngadoman
Prasasti
Ngadoman ditemukan di desa Ngadoman, dekat Salatiga, Jawa Tengah. Prasasti ini
penting karena kemungkinan besar merupakan perantara antara aksara Kawi dengan
aksara Buda.
12. Prasasti
Kayumwungan/Karang Tengah
Prasasti
Kayumwungan adalah sebuah prasasti pada lima buah penggalan batu yang ditemukan
di Dusun Karangtengah, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sehingga lebih
dikenal juga dengan nama prasasti Karangtengah. Isi tulisan pada bagian
berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang raja bernama Samaratungga. Anaknya
bernama Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya serta bangunan
bernama Wenuwana (Sansekerta:
Venuvana, yang berarti "hutan bambu") untuk menempatkan abu jenazah 'raja mega', sebutan untuk Dewa Indra.
Mungkin yang dimaksud adalah raja Indra atauDharanindra dari keluarga
Sailendra.
13. Prasasti
Plumpungan
Prasasti
ini ditemukan di Dukuh Plumpungan dan berangka tahun 750 Masehi. Prasasti ini
dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga. Menurut sejarahnya, di dalam
Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah
perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan
Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi
masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak
berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra.
Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota
Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah
perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah
Salatiga sekarang ini.
Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak
meninggalkan bangunan candi yang masih ada hingga sekarang. Candi-candi
peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari,
Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan
tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.
5.
Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno
Selama berdiri, Kerajaan Mataram
Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya sebagai berikut:
1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram
Kuno
2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya
Wangsa Sailendra
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani,
awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala suami Sri
Isanatunggawijaya
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram
Kuno berakhi
2.2 Dinasti
Kerajaan Mataram
Dinasti
Sanjaya
1. Sumber Sejarah
Bukti-bukti berdirinya Dinasti Sanjaya dapat diketahui
melaui Prasasti Cangggal (daerah Kedu) tahun 732 M, Prasasti Balitung, Kitab
Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal (732 M) dibuat pada masa pemerintahan Raja
Sanjaya agama yang dianutnya adalah agama Hindu.
Sebelum Sanjaya berkuasa, Mataram Kuno diperintah oleh Raja
Sanna (paman Sanjaya). Masa pemerintahan Saan dan Sanjaya dapat diketahui.
Berdasarkan Sojomerto diketahui bahwa Sanjaya adalah keturunan Raja Syailendra
yang beragama Syiwa.
Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya. Isi utamanya
adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (Lambang Siwa), Jawadwipa yang
kaya raya akan hasil bumi terutama padi dan emas.
Urutan
Raja Mataram Kuno adalah sebagai berikut :
a.
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
b.
Sri Maharaja Rakai Panangkaran
c.
Sri Maharaja Rakai
Warak
d.
Sri Maharaja Rakai Garung
e.
Sri Maharaja Rakai Pikatan
f.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
g.
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
h.
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung
Prasasti Balitung (907 M) Prasasti ini adalah prasasti
tembaga yang dikeluarkan oleh Raja Dyah Balitung.
Kitab Carita Parahyangan. Kitab ini menceritakan tentang hal
ikhwal raja-raja Sanjaya.
Kerajaan Mataram Kuno berkembang pesat karena didukung oleh
beberapa faktor.
Sanjaya bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
1) Rakai Mataram Sang Satu Sanjaya
Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa
pendirian candi-candi siwa di Gunung Dieng. Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh putranya Rakai
Panangkaran. Raja Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya.
Raja dapat memperdalam agama Hindu
Siwa. Pemujaan yang tertinggi di Kerajaan Mataram diberikan kepada Dewa Siwa
yang dianggap sebagai dewa tertinggi. Memuja Dewa itu, didirikan candi-candi.
Raja Sanjaya meninggal kira-kira
pertangahan abad ke-8 M. Oleh rakai Panangkaran. Rakai Warak dan Rakai Garung.
2) Rakai Panangkaran
Rakai Panangkaran yang berarti raja
mulia yang berhasil mengambangkan potensi wilayahnya. Menurut Prasati Kalasan,
pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama
Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa
Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.
Pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran ini diduga muncul Dinasti Sailendra yang beragama Budha. Keududukan
Dinasti Sanjaya sehingga Dinasti Sanjaya mengalihkan pemerintahannya ke Jawa
Tengah bagian utara.
3) Sri Maharaja Rakai Pikatan
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang
pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.Pada masa pemerintahannya, pasukan
Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap
mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat
dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.Pada zaman Rakai Pikatan inilah
dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang.
4)
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Rakai
kayuwangi dibantu oleh suatu Dewan Penasehat merangkap staf pelaksana yang
terdiri atas lima patih dan diketuai oleh seorang maha patih.
5)
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang.
Masa pemerintahan Rakai Watuhumalang
tidak dapat diketahui dengan jelas.
Sekitar abad ke-8 di Jawa Tengah telah berdiri suatu
kerajaan yang teratur dan diperintah oleh raja-raja yang cakap.
Daerah-daerah sekitar Mataram Kuno segera ditakhlukkannya,
seperti Kerajaan Galuh di Jawa Barat dan Kerajaan Melayu dni Semenanjung
Malaya.
Pda tahun 778 M Raja Panagkaran atau Maharaja Tejah
Purnapana Mustika membangun bangunan suci (candi) untuk Dewi Tara dan sebuah
biara untuk para pendeta.
Sejak pemerintahan Raja Panangkaran, keluarga Syailendra
terbagi menjadi dua kelompok penganut agama. Hindu Syiwa dan agama Budha.
Raja-raja Mataram Kuno beragama Budha, berkuasa di Jawa
Tengah bagian selatan yang berpusat di Lembah Sungai Progo (Magelang).
Raja-raja penganut Agama Budha keturunan Syailendra yang
pernah memerintah di Jawa Tengah, antara lain Raja Bhanu, Raja Wisnu (Sri
Dharmatungga), Raja Indra (Sri Sanggramadananjaya), Raja Samaratungga, dan Ratu
Pramodhawardani. Berkuasa selama satu abad (750-850 M).
Raja-raja Mataram Kuno beragama Hindu mula-mula berkuasa di
Jawa Tengah bagian utara, terutama disekitar Pegunungan Dieng. Dibuktikan
dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di Daratan Tinggi Dieng, seperti
Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Arjuna, dan Candi Sumbadra.
Candi Dieng dibangun sekitar tahun 778 – 850.
Pembangunan Candi Hindu yang lebih besar dan indah, yaitu
Candi Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di Desa Prambanan.Pengganti Rakai
Pikatan adalah Rakai Kayuwangi.
Menurut Prasati Munggu Antan, Pengganti Rakai Kayuwangi
adalah Rakai Gurunwangi (886) dan Rakai Limus Dyah dewendra (890). Berdasarkan
Prasasti Kedu, penggati Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang yang berputra
Dyah Balitung.
Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910. Ada prasasti yang
menyebutkan bahwa Raja Balitung pernah menyerng Bantan (Bali). Prasasti yang
penting adalah prasasti Mantyasih (Kedu) yang berisi silsilah raja-raja Mataram
Kuno dari Sanjaya sampai dengan Dyah Balitung. Raja Balitung dikenal tiga
jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi sebuah raja) rakryan i
halu dan rakryan i sirikan merupakan tritunggal.
Pengganti Balitung adalah Daksa dengan gelar Sri Maharaja
Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya. Ia memerintah dari tahun 913 sampai
dengan 919.
Pada tahun 919 Daksa digantikan oleh Tulodhong yang bergelar
Sri Maharadja Rakai Layang Dyah Tulodhong Sri Sajanasan-mattanuragatunggadewa. Masa
pemerintahan Tulodhong sangat singkat.
Pengganti Tulodhong ialah Wawa, ia naik tahta pada tahun 924
dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wajayalokanamottungga.
Sri Baginda dibantu Empu Sindok Sri Isanawikrama yang berkedudukan sebagai
mahamantri i hino.
Prasasti-prasasti tersebut lebih banyak membicarakan
masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Rakai
Watuhumalang, masalah keagamaan mendapat perhatian lebih khusus dari pada
masalah pemerintahan.
Sri Maharaja Watukura Diah Balitung. Raja Diah Balitung
adalah seorang Raja Mataram yang besar dan cakap. Ia berhasil mengatasi masalah
yang dihadapi Kerajaan Mataram dan mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan yang
hampir terpecah belah akibat pertentangan antar kaum bangsawan. Kesejahteraan
rakyat meningkat dan keamanan terjamin, bahkan daerah kekuasaannya meluas
hingga ke Jawa Timur.
Diah Balitung memerintah Mataram sampai tahun 910 M.
Prasasti terpenting adalah Prasasti Mantyasih (Kedu) yang berisi tentang
silsilah raja-raja Mataram dari Raja Sanjaya sampai dengan Raja Dyah Balitung.
Tiga jabatan penting, Rakryan I Hino, Rakryan I Halu dan
Rakryan I Sirikan. Merupakan tritunggal dan nama jabatan ini terus dipakai oleh
kerajaan-kerajaan berikutnya pada zaman Singasari-Majapahit.
Sri Maharaja Daksa. Sebelum menjadi Raja Mataram ia menjabat
sebagai Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahannya, pembuatan Candi Prambanan
berhasil diselesaikan. Masa pemerintahan Raja Daksa tidak berlangsung lama dn
digantikan oleh Tulodhong. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat.
Pengganti Raja Tulodhong adalah Rakai Wawa dibantu oleh Mpu
Sindok sebagai Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahannya terjadi kekacauan yang
menjalar sampai ke ibukota kerajaan. Kekacauan itu dapat diatasi, sehingga
keamanan dapat dipulihkan kembali.
Setelah Rakai Wawa meninggal, ia digantikan oleh Mpu Sindok.
Karena rasa khawatir terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh
Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya,d ari Jawa Tengah
ke Jawa Timur. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Mataram di Jawa
Tengah.
1. Kehidupan Politik
Berdasarkan prasasti Metyasih, Rakai
Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) telah memberikan hadiah tanah
kepada 5 orang patihnya yang berjasa besar kepada Mataram. Dalam prasasti
Metyasih juga disebutkan raja-raja yang memerintah pada masa Dinasti Sanjaya.
Pranata politik terutama mendominasi
aspek-aspek yang secara langsung menjalankan fungsi pengendalian, yakni dalam
struktur kekuasaan (dominasi elite nonagama), gagasan raja ideal (tokoh kewiraan),
statifikasi social dan hubungan antarbangsa (alasan politik - Cina).
2.
Kehidupan Sosial
Kehidupa sosial masyarakat di kerajaan
Mataram Kuno sudah teratur. Terlihat dari sikap gotong oyong mereka saat
membuat candi bersama. Sikap toleran diantara masyarakat sangat baik. Terbukti
dengan adanya dua aliran kepercayaan yang berbeda tetapi mereka tetap bisa
bersosialisasi.
3.
Kehidupan Ekonomi
Pada perekonomian kerajaan mataram
ada data prasasti yang memberikan keterangan bahwa ada pegawai pemungut pajak
yang diberi nama rakai kanuruhan. Tapi
kemunculannya tidak diketahui secara persis fungsi pokok jabatan ini. Namun,
dapat dikatakan bahwa kewenangannya dalam hirarki kepemerintahan mulai
menunjukkan peningkatan, khususnya sejak masa pemerintahan Sindok. Dalam
sejumlah prasasti dalam periode ini diketahui bahwa rakai karunuhan diberi
wewenang yang sangat tinggi sebagaimana tercermin dalam beberapa prasasti yang
memberikan kewenangan kepadanya untuk memberikan anugrah Sima, suatu kewenangan
yang biasanya dijalankan oleh raja sendiri. Perekonomian kerajaan Mataram Kuno saat
itu bertumpu pada sektor pertanian karena letaknya yang cukup disebut sebagai
pedalaman dan memiliki tanah yang subur. Berikutnya, Mataram mulai
mengembangkan kehidupan pelayaran, hal ini terjadi pada masa pemerintahan
Balitung yang memanfaatkan sungai Bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangan
menuju pantai utara Jawa Timur.
4.
Kehidupan Agama
Berdasarkan prasasti Canggal yang
menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Siwa), dapat ditarik kesimpulan
bahwa masyarakat Mataram Kuno Wangsa Sanjaya memiliki kepercayaan agama Hindu
beraliran Siwa.
Pengaruh agama terutama sangat domain dalam bidang arsitektur. Pengaruh agama
juga terasa dalam lapangan politik. Khusunya menyangkut gagasan raja ideal
(sebagai Manu) perhelatan kerajaan (alas an penetapan sima, aktivitas pendirian
dan peresmian candi), system sanksi (kutukan), statifikasi social, hubungan
antarbangsa (alas aw2n agama-hindu), pembuatan benda-bendalogam (alat ucap).
Dinasti Syailendra
Pada pertengahan abadke-8 M di Jawa
Tengah bagian selatan yaitu di daerah Bagelan dan Yogyakarta, memerintah
seorang raja dari Dinasti Syailendra. Berdasarkan bukti-bukti peninggalan
Kerajaan Syailendra yang berupa candi-candi, wilayah kekuasaan Syailendra
meliputi wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya.
2. Sumber Sejarah
Sumber sejarah Dinasti Syailendra
ada tiga, yaitu prasasti-prasasti, candi-candi dn arca-arca, serta berita
asing.
Prasasti-prasasti yang berhasil
ditemukan diantaranya sebagai berikut. Prasati Kalasar (778 M) menyebutkan
tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra berhasil menunjuk Rakai
Panangkaran untuk mendirikan suatu bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah
bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran akhirnya menghadiahkan Desa
Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti Kelurak (782 M) di daerah Prambanan
menyebutkan pembuatan arca Manjusri yang merupakan perwujudan sang Buddha,
Wisnu Manjusri dan Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa.
Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang memerintah saat itu, yang bernama
Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M).
menyebutkan kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya
Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
Prasasti Nalanda (856 M).
menyebutkan tentang asal usul Raja Balaputra Dewa. Bahwa Balaputra Dewa adalah
putra dari Raja Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di
Jawa Tengah).
Prasasti-prasasti Syailendra adalah
sebagai berikut
a) Prasasti Kalasan yang berangka tahun
778 M ditulis dengan memakai huruf Pranagari berbahasa Sanskerta.
b) Prasasti Kelurak yang berangka tahun
782 M dituliskan dengan huruf Pra-nagari dan bahasa Sanskerta.
c) Prasasti Karang Tengah ditulis dalam
dua bahasa, yaitu bahasa sanskerta dan Jawa Tengah.
d) Prasasti Kedu yang berangka tahun
842 M ditemukan didaerah Kedu.
e) Prasasti Ligor yang berangka tahun
775 M, ditemukan di Tanah Genting Kra.
f) Prasasti Nalanda yang di temukan di
Nalanda, India Utara tahun 860 M. Di tulis dengan huruf Dewa Nagari dan
berbahasa sanskerta.
Isi Prasasti Nalanda menyebutkan
tentang Raja Dewapaladewa dari Dinasti Pala yang memberikan sebidang tanah
untuk digunakan sebagai tempat mendirikan wihara bagi para mahasiswa dari
Sriwijaya yang sedang belajar agama Buddha. Prasasti ini menyebutkan nama raja
yang memerintah Sriwijaya waktu itu, yaitu Raja Balaputradewa.
Balaputradewa adalah seorang anggota
dari Dinasti Sailendra yang diusir dari Jawa pada tahun 866 M oleh Rakai
Pikatan. Prasasti Nalanda menunjukkan adanya hubungan kerja sama dalam bidang
agama dan kebudayaan antara Indonesia dan India pada abad ke-9.
3.
Kehidupan
Politik
Berdasarkan
prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang pernah memerintah
Dinasti Syailendra, di antaranya:
1) Bhanu
( 752- 775 M )
Raja banu merupakan raja
pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2) Wisnu
( 775- 782 M)
Pada masa
pemerintahannya, Candi Brobudur mulai di banugun tempatnya 778.
3) Indra
( 782 -812 M )
Pada
masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Prasasti Klurak yang berangka tahun
782 M, di daerah Prambanan. Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi
pada masa pemerintahan Raja Indra. Perluasan wilayah ini ditujukan untuk
menguasai daerah-daerah di sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh
pengaruh kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra
menjalankan perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama
Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
4) Samaratungga
( 812 – 833 M )
Pengganti
Raja Indra bernama Samarottungga. Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur
segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga
sangat menghayati nilai agama dan budaya. Pada zaman kekuasaannya dibangun
Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja
Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra
Dewa yang merupakan anak dari selir.
5) Pramodhawardhani
( 883 – 856 M )
Pramodhawardhani
adalah putri Samaratungga
yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya
seorang sekar keratin yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat.
Pramodhawardhani kelak menjdi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno
dari Wangsa Sanjaya.
6) Balaputera
Dewa ( 883 – 850 M )
Balaputera Dewa adalah
putera Raja Samaratungga dari ibunya yang bernama Dewi Tara, Puteri raja
Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai
Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Belaputera Dewa merasa berhak
mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah
Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan Rakai Pikatan yang
keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami
kekalahan dan melatrikan diri ke Palembang.
4. Kehidupan
Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Syailendra tidak diketahui
secara pasti. Namun, melalui bukti-bukti peninggalan berupa candi-candi, para
ahli menafsirkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Syailendra sudah
teratur. Hal ini dilihat melalui cara pembuatan candi yang menggunakan tenaga
rakyat secara bergotong-royong. Di samping itu, pembuatan candi ini menunjukkan
betapa rakyat taat dan mengkultuskan rajanya. Dengan adanya dua agama yang
berjalan, sikap toleransi antar pemeluk agama di masyarakat sangat baik.
5. Kehidupan
Ekonomi
Mata pencaharian pokok masyarakat adalah petani,
pedagang, dan pengrajin. Dinasti Syailendra telah menetapkan pajak bagi
masyarakat Mataram. Hal ini terbukti dari prasasti Karang tengah yang
menyebutkan bahwa Rakryan Patatpa Pu Palar mendirikan bangunan suci dan
memberikan tanah perdikan sebagai simbol masyarakat yang patuh membayar pajak.
14. Kehidupan
Agama
Sebagian besar raja-raja Dinasti Syailendra beragama
Budha Mahayana. Hal ini menunjukkan bahwa agama Buddha telah masuk di Mataram.
Dengan dibangunnya candi-candi Buddha untuk beribadah, maka dapat disimpulkan
pula bahwa rakyatnya beragama Buddha Mahayana.
15. Keruntuhan Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra diduga mengalami
penyatuan dengan Dinasti Sanjaya berkat adanya perkawinan politik antara
Pramodhawardhani, dengan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Setelah Raja
Samaratungga wafat terjadi perebutan kekuasaan antara Pramodhawardhani (Rakai
Pikatan) dan Balaputradewa terdesak lalu
perghi ke Sriwijaya dan menjadi raja di sana. Jadi, diperkirakan Balaputra Dewa
menjadi raja di Sriwijaya berdasarkan garis ibu. Berakhirlah pemerintahan
Dinasti Sailendra an kekuasaan di Jawa Tengah kembali ke tangan Dinasti
Sanjaya.
Perkawinan antara Rakai Pikatan dan
Pramodhawardhani ternyata dapat menyatukan pemerintahan. Selain itu, pemeluk
agama Hindu dengan pemeluk agama Buddha dapat hidup berdampingan.
Pramodhawardhani, yang kemudian bergelar Sri Kahulunan, meneruskan pendirian
suci agama Buddha, yaitu kompleks Candi Plaosan di Prambanan. Di Candi Plaosan
banyak ditemukan tulisan-tulisan pendek tentang nama Sri Kahulunan dan Rakai
Pikatan. Pramodhawardhani juga meresmikan pemberian tanah dan sawah untuk
menjamin pemeliharaan Kamulan atau bangunan suci di Bhumisambhara yang kemudian
disebut dengan Candi borobudur.
Dinasti
Isyana
Sejarah : Kekuasaan Wangsa Isyana|
Setelah
Empu Sindok menggantikan kekuasaan Raja Wawa di Jawa Tengah, ia berkeinginan
memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Alasannyya, adanya bencana alam
di Jawa Tengah dan timbul kekacauan karena ancaman serangan Sriwijaya.
Munculnya Kekuasaan Wangsa Isyana
: Setelah
berhasil memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, Empu
Sindok membentuk keluarga baru yang dinamakan Wangsa Isyana. Empu Sindok
mendirikan kerajaan sekaligus sebagai raja pertama. Ia bergelar Sri Isyana
Wiramadharmatunggadewa. Mengenai pusat pemerintahannya, ada yang berpendapat di
Watugaluh, yaitu daerah di antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis. Akan tetapi,
ada yang berpendapat di Tamwlang diperkirakan di daerah Jombang. Oleh karena di
dekat Jombang terdapat sebuah desa yang namanya mirip, yakni desa
Tambelang.
Sumber Sejarah Kekuasaan Wangsa
Isyana di Jawa Timur : Sumber yang dapat digunakan untuk mengetahui kekuasaan
Wangsa Isyana berupa berita asing dan prasasti. Berita asing itu berasal dari
India dan Cina. Berita Cina berasal dari zaman Dinasti Sung. Sumber yang berupa
prasasti adalah prasasti dari Empu Sindok dan Prasasti Calcuta. Pemerintahan
dan Perkembangan Sosial Ekonomi : Empu Sindok dapat dikatakan sebagia peletak
dasar bagi perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur. Daerah
kekuasaannya, meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.
a. Masa
Pemerintahan Empu Sindok (929-948)
Usaha-usaha
Empu Sindok dalam memajukan kerajaannya, antara lain sebagai berikut.
2. Memajukan pertanian dan perdagangan,
yaitu dengan mengeringkan daerah rawa-rawa untuk lahan pertanian.
3. Memajukan kehidupan beragama,
misalnya pembangunan beberapa candi, seperti Candi Sanggariti dan Candi Gunung
Gangsir.
4. Mengembangkan seni sastra. Pada masa
pemerintahan Empu Sindok ditulis buku suci agama Buddha, Sang Hyang
Kamahayanikan.
5. Menjunjung martabat kaum wanita. Hal
itu dibuktikan dengan ikut sertanya permaisuri dalam pemerintahan. Setelah
wafat Empu Sindok digantikan putrinya Sri Isyanatunggawijaya. Selanjutnya, Sri
Isyanatunggawijaya digantikan oleh putranya Makutawangsa Wardana.
b. Masa
Pemerintahan Dharmawangsa (991-1016)
Pada tahun 991, Dharmawangsa menggantikan Makutawangsa
Wardana. Ia bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatungga dewa. Raja
Dharmawangsa sangat menitikberatkan pemerintah tahannya dalam bidang politik.
Hal itu tampak dari upayanya menaklukkan Sriwijaya sebagai penguasa perdagangan
di Nusantara. Beberapa kali Dharmawangsa menocoba menaklukkan Sriwijaya, tetapi
gagal. Bahkan, Dharmawangsa dan keluarganya gugur karena serangan Kerajaan Wora
Wari pada saat pernikahan putri Dharmawangsa dengan Airlangga, putra Raja
Udayana dari Bali. Wora Wari adalah kerajaan bawahan Sriwijaya yang ada di
Jawa. Peristiwa tersebut dikenal dengan Pralaya. Salah seorang anggota keluarga
Dharmawangsa yang berhasil melarikan diri dari peristiwa itu adalah Airlangga.
c. Masa
Pemerintahan Airlangga (1019-1048)
Setelah berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya
dari Peristiwa Pralaya. Airlangga hidup di tengah hutan. Ia hidup bersama para
pertapa. Pada tahun 1019, para utusan rakyat datang menghadap Airlangga. Mereka
minta agar Airlangga bersedia naik takhta membangun kembali Kerajaan Wangsa
Isyana. Pada tahun 1019, Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pendeta
Buddha. Ia kemudian bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramatunggadewa. Sebagai permaisurinya adalah Anantangwikramatunggadewa.
Sebagai permaisurinya adalah putri dari Dharmawangsa.
Pemulihan Kembali Kekuasaan Wangsa Isyana, Airlangga bercita-cita mengembalikan kekuasaan Wangsa Isyana. Untuk itu, ia terus berusaha menyusun kekuatan bersama para pengikutnya. Salah seorang pengikut setia Airlangga sejak dari pelarian di tengah hutan hingga ia menjadi raja adalah Narotama. Pada tahun 1028, Airlangga mulai melaksanakan cita-citanya. Kerajaan-kerajaan yang dahulu pernah berada dibawah kekuasan Dharmawangsa, satu per satu dapat dikuasai kembali. Wilayah kekuasaannya, meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Pusat pemerintahan terdapat di Kahuripan. Lambang negara yang digunakan adalah Garudhamukha. Untuk meningkatnya kesejahteraan rakyat, Airlangga melakukan usaha sebagai berikut.
Pemulihan Kembali Kekuasaan Wangsa Isyana, Airlangga bercita-cita mengembalikan kekuasaan Wangsa Isyana. Untuk itu, ia terus berusaha menyusun kekuatan bersama para pengikutnya. Salah seorang pengikut setia Airlangga sejak dari pelarian di tengah hutan hingga ia menjadi raja adalah Narotama. Pada tahun 1028, Airlangga mulai melaksanakan cita-citanya. Kerajaan-kerajaan yang dahulu pernah berada dibawah kekuasan Dharmawangsa, satu per satu dapat dikuasai kembali. Wilayah kekuasaannya, meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Pusat pemerintahan terdapat di Kahuripan. Lambang negara yang digunakan adalah Garudhamukha. Untuk meningkatnya kesejahteraan rakyat, Airlangga melakukan usaha sebagai berikut.
Usaha-Usaha Airlangga dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Rakyatnya
a. Bidang
Ekonomi
Usaha
yang dilakukan di bidang ekonomi, antara lain sebagai berikut.
1. Untuk memajukan kemakmuran rakyat,
bidang pertanian dikembangkan. Usaha yang ditempuhnya adalah memperbaiki
irigasi dan membuat Bendungan Waringin Sapta.
2. Akibat dibangunnya Bendungan
Waringin Sapta, pelayaran dan perdagangan bertambah ramai. Hal itu disebabkan
Sungai Brantas dapat dilayari sampai ke Pelabuhan Hujung Galung (Surabaya).
Selain Pelabuhan Hujung Galuh, Airlangga juga membuka Pelabuhan Kembang Putih
(sekitar Tuban). Kapal dagang luar negeri, misalnya dari India, Burma,
Kampuchea, dan Campa banyak yang singgah di Pelabuhan Kembang Kembang Putih dan
Hujung Galuh itu.
b. Bidang
Agama
Untuk memajukan bidang agama dan
sekaligus sebagai penghargaan atas jasa para pendeta. Airlangga juga membangun
pertapaan di Pucangan, lereng Gunung Penanggungan. Pertapaan Pucangan itu
diperuntukkan bagi putrinya, Sri Sanggaramawijaya yang setelah menjadi pertapa
dikenal dengan sebutan Dwi Kilisuci. Raja Airlangga adalah pemeluk agama
Hindu yang setia. Sekalipun demikian, agama Buddha diberi kesempatan untuk
berkembang baik. Airlangga juga terkenal sebagai pembina toleransi kehidupan
beragama.
c. Bidang
seni Sastra
Selain
bidang-bidang tersebut, Airlangga juga memberi perhatian di bidang sastra.
Hasil sastra yang terkenal pada masa pemerintahan Airlangga, antara lain Arjunawiwaha tulisan
Empu Kanwa.
Masa Akhir Pemerintahan Airlangga
: Airlangga
terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua. Hal itu disebabkan putri dari
permaisuri, yaitu Sri Sanggramawijaya yang berhak atas takhta kerajaan tidak
bersedia menjadi raja. Ia lebih memilih hidup sebagai pertapa di Pucangan.
Kerajaan Airlangga dibagi dua untuk kedua putranya dari selir. Pembagian
kerajaan ini terjadi pada tahun 1041. Oleh Airlangga pekerjaan membagi kerajaan
itu diserahkan kepada seorang brahmana sakti bernama Empu Bharapa.
Empu Bharada menjalankan tugas dengan bijaksana. Kerajaan
dibagi menjadi dua dengan batas Sungai Brantas. Kedua kerajaan itu adalah
sebagai berikut.
a. Panjalu atau Kediri dengan ibu kota
Daha. Kerajaan itu terletak di sebelah selatan dan timru Sungai Brantas.
b. Jenggala atau Singasari dengan ibu
kota Kahuripan (kira-kira sekitar Lamongan). Kerajaan itu terletak di sebelah
utara Sungai Brantas.
Setelah pembagian kerajaan selesai, Airlangga turun takhta.
Ia hidup sebagai pertapa sampai wafat pada tahun 1049. Airlangga dimakamkan di
lereng sebelah timur Gunung Penanggungan, yang terkenal dengan nama Candi Belahan.
Pada candi itu terdapat patung Airlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wisnu
yang sedang mengendarai garuda.
2.3
Aktifitas Perekonomian
Aktifitas perekonomian dapat dibagi
ke dalam tiga jenis : produksi, distribusi. Masing-masing kategori kegiatan
tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Produksi
Secara umum,
produksi ekonomi masyarakat diperoleh dari enam jenis aktivitas, yakni pertanian,perkebunan,
pemanfaatan hutan, peternakan, perburuan hewan dan kerajinan. Sumber-sumber
prasati dan data arkeologi sedikit sekali memberikan keterangan mengenai
bagaimana aktifitas-aktifitas produksi mereka dilakukan. Pengetahuan mengenai hal
ini umumnya diperoleh atas dasar penafsiran dari barang-barang produksi yang
disebut dalam prasasti dan relief pada candi. Menurut jenisnya, hasil-hasil
kegiatan produksi dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori : bahan makan;
pakaian dan perihasan; peralatan rumah tangga, alat kerja dan barang-barang
langka.
1. Bahan makanan
Pada
pemerintahan Sanjaya rakyat sangat makmur. Bahan utama pada saat itu adalah
padi. Selain bercocok tanam masyarakat mataram kuno penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing,
kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja,
mereka juga berdagang
dan menjadi
pengrajin.
2. Pakaian dan perhiasan
Kostum
raja, permaisuri, putri mahkota, bangsawan, prajurit kerajaan, serta rakyat
merujuk pada pakaian yang di gambarkan di relief candi bagian kamandhatu. Pola
dasar penggarapan kostum tokoh-tokohutama juga berpijak kepada gambaran kostum
serta ornament perhiasan para bangsawan di relief Candi Borobudur. Untuk
dandanan kepala, bila dicermati, bentuk yang mendominasi di antaranya dan dandanan
kepala berbentuk konde jegul (rambut yang ditata mengerucut
atau membentuk segitiga). Sedangkan ornament penghias rambut bervariasi,
bergantung statussosial. Kalangan bangsawan menggunakan perhiasaan yang mewah
sedangkan rakyat tidak memakai perhiasan.
Pakaian
yang digunakan kalangan bangsawaan putri adalah dodot tanggung yang dibatik dengan prada warna kuning keemasan,
begitu pula bangsawan putra yang memakai kain wiron sandatan (kainyang dilipat. Para prajurit pedang temeng,
pentung temeng, dan tombak memakai kain wiron sandatan dengan warna-warna
natural, seperti merah dan biru. Sementara para penari biksu memakai kain
berwarna kuning yang didesain menyerupai pakaian sehari-hari biksu pemeluk
agama Budha. Pebnari rakyat menggunakan kain lurik berlatar hitam dan penari
raksasa, yang menggambarkan roh-roh jahat penggoda, memakai rambut gimbalan,
kain rapek, dan topeng.
3. Peralatan rumah tangga
Pada
masa itu rakyat menggunakan peralatan yang bahan materialnya adalah tanah liat
seperti gerabah, pasu (baskom tanah liat), periuk,
kendi, dan lainnya.
Selain itu mereka juga menggunakan guci cina ada juga benda-benda
yang terbuat dari logam seperti senjata tajam ( mirip pedang) dan alat
pertanian berupa 'Lempak'.
4. Peralatan
Kerja
Termasuk dalam alat-alat kerja
adalah peralatan-peralatan pertanian dan alat-lat lainnya yang digunakan untuk
berbgai keperluan, termasuk berbagai senjata dan alat-alat lainnya yang biasa
digunakan dalam pemanfaatan lingkungan. Umumnya terbuat dari logam. Prasasti
Rukam (907) menyebutkan jenis-jenis peralatan yang dibuat dari logam besi :
pisau kapak, kapakperimbas, beliung, sabit, pedang,, tampilan (sejenis
beliung), keris, kampit, tatah, dll. Peralatan logam juga digambarkan melalui
relief di candi Borobudur.
5. Barang
Langka
Barang-barang jenis ini biasannya
dicari untuk diperdagangkan karena memiliki nilai jual dalam pasaran
internasional. Diantaranya adalah tanaman obat-obatan yang dikenal dengan
istilah material medica, misalnya gandarusa (myrrh) dan kemenyan (frankincence)
(wolters1967:116). Burung kakak tua tua beberapakali disebutkan dalam
sumber-sumber berita cinasebagai komoditas internasional, juga cula badak dan
barang-barang kerajinan yang terbuat dari emas, gerabah dan rotan serta cendana
(Groeneveldt 1960:16-17;Mills1970:91-92).
Distribusi
Distribusi hasil-hasil produksi
sebagaimana disebutkan diatas, kecuali di konsumsi sendiri juga di konsumsi
oleh orang lain. Mekanisme distribusi tersebut dapat dibagi kedalam tiga
kelompok : perdagangan, pajak dan upeti, dan upacara saling memberi.
1. Perdagangan
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya
bersifat agraris karena pusat Mataram terletak di pedalaman, bukan di
pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram.
Di samping itu, penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam,
babi, danitik.Sebagai tenagakerja, mereka juga berdagang dan menjadi
pengrajin.Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi
tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari
melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurutka kalender Jawa Kuno.
Pada hari Kliwon, pasardiadakan di pusatkota. Pada har I Mani satau
legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing),
pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar
diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan
di desa sebelah
utara.
Pada
hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai didatangi
pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka datang dengan berbagai cara,
melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang dagangannya
seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk dibarter dengan
kebutuhan yang lain. Leong Sau Heng menggambarkan hirarki pusat-pusat barang di
wilayah Semenanjung Melayu. Ada 3 tingkatan: pusat-pusat pengumpulan
(collecting centres) yang merupakan tingkat yang paling hulu dari pusat barang,
daerah-daerah pemasok (feeder points) yang berfungsi sebagai piusat penampungan
barang-barang dari sejumlah collecting centres dan pelabuhan utama (entrepot)
yang menjadi pusat pengumpulan seluruh barang yang berasal dari sejumlah feeder
points. Sedikit berbeda dengan tatanan di semenanjung Melayu, di Jawa
pusat-pusat pengumpulan di tingkat paling ujung itu merupakan system tersendiri
yang juga memiliki hirarki, yakni empat desa-anak sebagai pusat pengumpulan
paling ujung dan sebuah desa-induk yang berada di atasnya.
2. Pajak dan upeti
Sumber-sumber sejarah memberikan keterangan bahwa
pajak dimbil dari hasil bumi dan usaha perdagangan. Jenis pajaknya dapat berupa
hasil bumi (biasannya beras atau padi) mupun dalam bentuk lain (biasannya emas
atau perak). Hal serupa juga berlaku pada pemberian upeti. Pada umumnya pajak
ditarik setiap tahun, khususnya sehabis musim panen, yakni pada bulan-bulan
Phalguna (Februari-Maret) dan Caitra (Maret-April). Namun, kadang ditemukan
keterangan bahwa pajak ditarik pada bulan-bulan lain, misalnya bulan Magha
(Januari-Februari) Badra (Agustus-September) Asuji (September-Oktober) dan
bulan Karttika (Oktober-November). Pajak-pajak tahunanmungkin sekali dibayar
dalam bentuk hasil bumi,terutama padi.
Sumber-sumber berita Cina mengungkapkan keadaan
masyarakat Mataram dari abad ke-7 sampai ke-10. Kegiatan perdagangan baik di
dalam maupun luar negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya
barang-barang keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan
berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa,
dalam hal ini Mataram. Dari Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya
sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram.
Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk
pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada
rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari
luar negeri. Namun, sumber sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang
orang orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Cina.
3. Upacara
Saling Memberi
Data prasasti dari akhir abad ke-9 hingga pertengahan
abad ke-10 (masa Balitung dan Sendok) mencatat bahwa bentuk pasȇk-pasȇk yang
paling sering disebut adalah emas (mas), perak (pirak), pakaian laki-laki
(wdihan) dan pakaian perempuan (tapi bias juga untuk laki-laki) yang disebut
kain (kan). Disamping barang-barang tersebut, kadang-kadang diberikan juga
pasȇk-pasȇk berupa binatang ternak, biasanya kerbau dan kambing dan suatu
pemberian lain atau semacam bekal untuk pulang yang disebut dengan istilah
pangankat panungsun.
Jumlah-jumlah hadiah yang diberikan ini tidak sama
antara satu prasati dan prasasti lain, tetapiterdapat pola yang umum yakni
bahwa nilai pasȇk-pasȇk disesuaikan dengan tingkat jabatan atau posisi social
yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan.
Seluruh
peristiwa pemberian pasȇk-pasȇk ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu
upacara saling memberi. Disatu pihak para penguasa telah memberikan kepada para
tokoh di tingkat desa berupa anugrah sima, yakni pemberian status baru kepada
tang yang sejak saat penetapannya tidak lagi dapat diambil pajaknya oleh
petugas pajak kerajaan. Di lain pihak, para penerima anugrah tersebut, senagai
imbangnya, memberikan hadiah kepada para penguasa dan para saksi dari desa-desa
sekelilingnya.
Konsumsi
Konsumsi
disini dimaksutkan sebagai tindakan yang langsung berkaitan dengan upaya
mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan barang dan jasa. Dilihat dari
jenisnya, bentuk-bentuk kegiatan konsumsi amat banyak. Disini hanya akan
dikemukakan beberapa kegiatan yang menonjol sebagaimana tercermin dalam data
sejarah dan arkeologi, masing-masing adalah pembangunan dan pemeliharaan sarana
umum, pembiayaan pegawai kerajaan, perhelatan kerajaan dan gaya hidup.
1. Pembangunan
dan Pemeliharaan sarana umum
Ada
dua kegiatan besar yang melibatkan peranan kerajaan dalam pembangunan dan
pemeliharaan sarana umum, yakni pendirian dan pemeliharaan bnagunan pribadatan,
pembangunan dan pemeliharaan sarana pertanian dan bendungan dan pembanguna
serta pemeliharaan sarana pemerintahan.
Bagunan Peribadatan
Banguanan
peribadatan pada kerajaan Mataram berupa candi. Pendirian candi sendiri
didirikan sekitar abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-9, seperti candi
Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 masa kerajaan wangsa Sailendra yaitu raja Samaratungga di sebuah lembah
seluas ± 7,8 ha, beliau adalah pura dari raja Indra.
Bangunan Pertanian dan
Bendungan
Yang
dimaksut dengan bangunan pertanian ini adalah saluran air dan bendungan untuk
kepentingan irigasi. Terdapat juga bangunan-bangunan air yang didirikan
terutama bukan umtuk kepentingan non-pertanian. Pada era Mataram
bangunan-banguunan irigasi bersekala besar tampaknya belum berkembang dan sebagian
besar mungkin ditangani sendiri oleh rakyat di tingkat desa.
Bangunan Pemerintahan
Salat
satu sarana yang tidak dapat ditiadakan umtuk , menyelenggrakan pemerintahan
adalah bangunan komplek keratin beserta sarana penunjangnya. Bahan utama
bangunan keratin adalah bukan batu, melainkan kayu. Seberapa besar dimensinya
tidak diperoleh keterangan lebih banyak. Istana raja dan keluarganya tentu saja
bukan satu-satunya komplek pemukiman yang ada di pusat ibukota. Tempat para
hunian para penjabat tinggi lain tentunya didirikan di wilayah ibukota juga.
2. Pembiayaan
Pegawai Kerajaan
Ditinjau dari sudut pembagian kerja secara ekonomi,
pegawai pemerintahan adalah kelompokkonsumen. Mereka tidakhidup terutama
didasrakan atas aktivitasnya yang langsung dalam perolehan sumber pangan,
tetapi aatas pelayanan jasa yang hanya efektif bila kebutuhan dasarnya dipenuhi
oleh para produsen, yakni petani atau pengrajin.
Mereka
ini tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi sekali-sekali mereka mendapat
hasil bumi dan hasil-hasil lainnya. Dibawahnya lagi terdapat 300 penjabat
sipil. Masih ada lagi 1000 pegawai rendahan yang mengurus benteng-benteng dan
parit kota, perbendaharaan kerajaan, lumbung-lumbung padi dan para prajurit.
Menurut prasasti dari
abad ke-9 hingga abad ke-15 memberikan keterangan bahwa jumlah penjabat
tinggi di tingkat kerajaan cenderung meningkat dari zaman ke zaman. Bersamaan
dengan itu muncul pula sekelompokpegawai rendahan yang tampaknya juga bekerja
untuk kepentingan keraton, yakni yang dikenal dengan sebutan mangilala drawya
haji. Di antara kelompok ini yang tampaknya ditanggung oleh raja atau kerajaan
adalah meraka masuk kategori watek I jro. Kelompok ini antara lain,
memilikipekerjaan yang berhubungan dengan fungsi ketentaraan, misalnya adalah
mamanah (ahli mempergunakan panah), magalah (ahli tombak/tongkat panjang),
magandi (ahli kapak), mailman (ahli gajah atau pasukan berkendaraan
gajah),makuda (ahli kuda atau pasukan berkuda), pakarapan (ahli sapi pacu),
undhagi lancang (ahli pembuat perahu dari kayu).
2.4 Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
A. Mataram
Hindu
Kompleks Candi Dieng
merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa
tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas
permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar
sepanjang 800 m. Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan
dibangun antara akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan
candi tertua di Jawa.
1. Candi
Gatutkaca
Candi Gatotkaca adalah
salah satu candi Hindu yang berada di Dataran Tinggi Dieng,
di wilayah Kabupaten Banjarnegara,
Provinsi Jawa Tengah.
Candi ini terletak di sebelah barat Kompleks Percandian Arjuna,
di tepi jalan ke arah Candi Bima,
di seberang Museum Dieng Kailasa.
Nama Gatotkaca
sendiri diberikan oleh penduduk dengan mengambil nama tokoh wayang
dari cerita Mahabarata.
2. Candi Bima
Berada di Desa Dieng Kulon,
Kecamatan Batur,
Kabupaten Banjarnegara,
Jawa Tengah,
candi ini terletak paling selatan di kompleks Percandian Dieng.
Pintu masuk berada di sisi timur. Candi ini cukup unik dibanding dengan
candi-candi lain, baik di Dieng maupun di Indonesia pada umumnya, karena
kemiripan arsitekturnya dengan beberapa candi di India. Bagian atapnya
mirip dengan shikara dan berbentuk seperti mangkuk yang ditangkupkan. Pada
bagian atap terdapat relung dengan relief kepala yang disebut dengan kudu.
3. Candi
Dwarawati
Bentuk
Candi Dwarawati mirip dengan Candi Gatutkaca, yaitu berdenah dasar segi empat
dengan penampil di keempat sisinya. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi
sekitar 50 cm. Tangga dan pintu masuk, yang terletak di sisi barat, saat ini
dalam keadaan polos tanpa pahatan.
4. Candi Arjuna
Candi ini mirip dengan
candi-candi di komples Gedong Sanga. Berdenah dasar persegi dengan luas sekitar
ukuran sekitar 4 m2. Tubuh candi berdiri diatas batur setinggi sekitar 1 m. Di
sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk ke ruangan kecil dalam tubuh
candi. Pintu candi dilengkapi dengan semacam bilik penampil yang menjorok
keluar sekitar 1 m dari tubuh candi. Di atas ambang pintu dihiasi dengan
pahatan Kalamakara
5. Candi
Semar
Candi ini letaknya
berhadapan dengan Candi Arjuna. Denah dasarnya berbentuk persegi empat membujur
arah utara-selatan. Batur candi setinggi sekitar 50 cm, polos tanpa hiasan.
Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di sisi timur.
Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi bingkai dengan
hiasan pola kertas tempel dan kepala naga di pangkalnya. Di atas ambang pintu
terdapat Kalamakara tanpa rahang bawah.
6. Candi
Puntadewa
Ukuran Candi Puntadewa
tidak terlalu besar, namun candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi berdiri
di atas batur bersusun setinggi sekitar 2,5 m. Tangga menuju pintu masuk ke
dalam ruang dalam tubuh candi dilengkapi pipi candi dan dibuat bersusun dua,
sesuai dengan batur candi. Atap candi mirip dengan atap Candi Sembadra, yaitu
berbentuk kubus besar. Puncak atap juga sudah hancur, sehingga tidak terlihat
lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung kecil seperti
tempat menaruh arca. Pintu dilengkapi dengan bilik penampil dan diberi bingkai
yang berhiaskan motif kertas tempel.
7. Candi Sembrada
Batur candi setinggi
sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan sisi
selatan, timur dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar, membentuk relung
seperti bilik penampil. Pintu masuk terletak di sisi barat dan, dilengkapi
dengan bilik penampil. Adanya bilik penampil di sisi barat dan relung di ketiga
sisi lainnya membuat bentuk tubuh candi tampak seperti poligon. Di halaman
terdapat batu yang ditata sebagai jalan setapak menuju pintu.
8. Candi
Srikandi
Candi ini terletak di
utara Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar
berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat tangga dengan bilik penampil. Pada
dinding utara terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu, pada dinding timur
menggambarkan Syiwa dan pada dinding selatan menggambarkan Brahma. Sebagian
besar pahatan tersebut sudah rusak. Atap candi sudah rusak sehingga tidak
terlihat lagi bentuk aslinya.
9. Candi
Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah
nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan
budaya Hindu
yang terletak di desa Candi,
Kecamatan Bandungan,
Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah,
Indonesia
tepatnya di lereng Gunung Ungaran.
Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi. Candi ini diketemukan oleh Raffles
pada tahun 1804
dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9
(tahun 927 masehi). Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng
di Wonosobo.
Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut
sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C).
B. Mataram
Budha
1. Candi
Sari
Candi Sari adalah candi Buddha
yang berada tidak jauh dari Candi Sambi Sari,
Candi Kalasan
dan Candi Prambanan,
yaitu di bagian sebelah timur laut dari kota Yogyakarta,
dan tidak begitu jauh dari Bandara Adisucipto.
Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno
dengan bentuk yang sangat indah. Pada bagian atas candi ini terdapat 9 buah
stupa seperti yang nampak pada stupa di Candi Borobudur,
dan tersusun dalam 3 deretan sejajar.
Bentuk bangunan candi serta ukiran relief yang ada pada dinding candi sangat mirip dengan relief di Candi Plaosan. Beberapa ruangan bertingkat dua berada persis di bawah masing-masing stupa, dan diperkirakan dipakai untuk tempat meditasi bagi para pendeta Buddha (bhiksu) pada zaman dahulunya. Candi Sari pada masa lampau merupakan suatu Vihara Buddha, dan dipakai sebagai tempat belajar dan berguru bagi para bhiksu.
Bentuk bangunan candi serta ukiran relief yang ada pada dinding candi sangat mirip dengan relief di Candi Plaosan. Beberapa ruangan bertingkat dua berada persis di bawah masing-masing stupa, dan diperkirakan dipakai untuk tempat meditasi bagi para pendeta Buddha (bhiksu) pada zaman dahulunya. Candi Sari pada masa lampau merupakan suatu Vihara Buddha, dan dipakai sebagai tempat belajar dan berguru bagi para bhiksu.
2. Candi Mendut
Candi Mendut adalah
sebuah candi
bercorak Buddha.
Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid,
Kabupaten Magelang,
Jawa Tengahini,
letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur.Candi Mendut
didirikan semasa pemerintahan Raja Indra
dari dinasti Syailendra.
Di dalam prasasti Karangtengah
yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa
raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah
hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis,
kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
3. Candi Sewu
Secara administratif,
kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan,
Kecamatan Prambanan,
Kabupaten Klaten,
Provinsi Jawa Tengah. Candi Sewu adalah candi Buddha
yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah
utara Candi Prambanan.
Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur
di Jawa Tengah.
Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Prambanan. Meskipun aslinya
terdapat 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan
"Sewu" yang berarti seribudalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan
kisah legenda Loro Jonggrang.
4. Candi
Pawon
Letak Candi Pawon ini
berada di antara Candi Mendut
dan Candi Borobudur,
tepat berjarak 1750 meter dari Candi
Borobudur ke arah timur dan 1150 m dari Candi Mendut ke arah barat. Nama Candi
Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli epigrafi
J.G. de Casparis
menafsirkan bahwa Pawon berasal daribahasa Jawa
awu yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan
suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', akan
tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Penduduk
setempat juga menyebutkan Candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin
berasal dari kata bahasa Sanskerta
vajra = yang berarti 'halilintar' dan anala yang berarti 'api'.
5. Candi
Borobudur
Candi Borobudur terletak di desa Borobudur, Kec. Borobudur,
Kab. Magelang , Propinsi Jawa Tengah, yang dimana candi tersebut di kelilingi
oleh pegunungan Menoreh di sebelah selatan, gunung Merapi (2411 m) dan
gunung Merbabu (3242 m)di sebelah timur, gunung Sumbing (2271 m) dan gunung
Sindoro (3135 m) di sebelah Barat laut, serta sebelah timur terdapat dua
sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo . Candi Borobudur termasuk kedalam
tujuh keajaiban dunia. Di samping candi Borobudur juga ada 2 candi
yaitu: Candi Mendut, dan Candi
Pawon yang biasa ketiga candi tersebut
dikenal dengan “Tri Tunggal Candi”
Candi borbudur didirikan pada abad 8 masa kerajaan wangsa
Sailendra yaitu raja Samaratungga di
sebuah lembah seluas ± 7,8 ha, beliau adalah pura dari raja Indra. Raja Indra
memiliki 2 putra yaitu: Samaratungga, dan Putri Pramoda wardani.
Nama Borobudur terdapat beberapa penafsiran yaitu :
1. Poerbatjaraka
Menurut beliau Borobudur tersusun dari dua kata yaitu
“Bara” berarti “Biara” dengan demikian Borobudur “Biara Budur”. Namun demikian
masih merupakan pertanyaan tentang kebenaran kata yang tesusun pada nama
Borobudur.
2. Drs. Soediman
Borobudur
tersusun dari dua kata yaitu “Bara” dan “Budur”. Bara dalam bahasa Sanksekerta
“Vihara” yang berarti komplek candi dan “Budur” dalam bahasa bali Beduhur yan
memiliki di atas. Jadi Borobudur berarti asrama atau Vihara dan kelompok candi
yan terletak di atas tanah yang tinggi atau bukit.
Arti atau makna Borobudur secara filosofis adalah merupakan lambang dari alam semesta dalam dunia Cosmos Borobudur memiliki tiga unsur ajaran Budha tentang alam semesta yang tersusun dari tiga unsur yaitu :
1. Kamadhatu (unsur nafsu, atau hasrat)
Sama dengan alam bawah
atau dunia hasrat dalam dunia ini manusia terikat pada hasrat bahkan di kusai
oleh hasrat kemauan dan hawa nafsu, Relief – relief ini terdapat pada bagian
kaki candi asli yang menggambarkan adegan – adegan Karmawibangga ialah yang
melukiskan hukum sebab akibat.
2. Rupadhatu
(unsur wujud, rupa, dan bentuk)
Sama dengan alam semesta
antara dunia rupa dalam hal manusia telah meninggalkan segala urusan
keduniawian dan meninggalkan hasrat dan kemauan bagian ini terdapat pada lorong
satu sampai lorong empat
3. Arupadhatu
(unsur tak berwujud, tak berupa, tak berbentuk)
Sama dengan alam atas
atau dunia tanpa rupa yaitu tempat para dewa bagian ini terdapat pada teras
bundar ingkat I, II, dan III beserta Stupa Induk.
C. Mata Uang Kerajaan Mataram
Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860
Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Inilah bukti terawal sistem mata
uang yang ada di pulau Jawa dan di Nusantara.
Terbuat dari emas atau disebut pula sebagai keping tahil Jawa,
sekitar abad ke-9. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan
perak, mempunyai berat yang sama dan mempunyai beberapa nominal satuan:
·
Masa (Ma), berat 2.40 gram – sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
·
Atak, berat 1.20 gram – sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
·
Kupang (Ku), berat 0.60 gram – sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan
yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).
Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana
koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian
depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”.
Di belakangnya terdapat incuse
(lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam
bulatan. Dalam bahasa numismatic, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada
bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa) dan
di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.
No comments:
Post a Comment