Thursday, July 9, 2020

Kerajaan Mataram Hindu (Kerajaan Mataram Lama)


Proses masuknya agama Hindhu di Indonesia sampai sekarang belum diketahui secara jelas karena di kalangan sejarawan belum ada kesepakatan yang bulat hal itu menimbulkan banyak teori masuknya Hindhu Budha ke Indonesia yaitu:
a.       Teori Waisya
Teori ini dikemukakan oleh Nj Krom. Ia menyatakan bahwa kaum pedagang dari India, di samping berdagang, juga membawa adat kebiasaan seperti melakukan upacara keagamaan. Mereka pada umumnya menetap  di Nusantara dan kemudian memegang peranan penting dalam proses penyebaran kebudayaan India melalui hubungan penguasa-penguasa Indonesia. Krom mensyaratkan kemungkinan adanya perkawinan antara pedagang tersebut dengan wanita Indonesia. Perkawinan itu dianggap sebagai saluran  penyebaran pengaruh yang sangat penting dalam teori ini.
b.      Teori Ksatria
Teori ini dikemukakan oleh F.D.K Bosch. Dalam teori ini ia berpendapat adanya raja-raja dari India yang datang menaklukkan daerah-daerahtertentu di Indonesia dan menghidupkan penduduknya.
c.       Teori Brahmana
Teori ini dikemukakan oleh J.C. Van Leur. Ia menyatakan bahwa kaumbrahmana yang menyebarkan agama Hindu di Nusantara. Karena kaum Brahmana yang menguasai keagamaan. Teori ini disempurnakan oleh bosch. Yang menyatakan bahwa hanya kaum cendekiawan yang dapat menyampaikanya kepada bangsa Indoonesia.
d.      Teori Sudra
Masuknya agama hindu karena dibawa oleh para kaum kastra sudra.
e.       Teori Gabungan
Teori ini berisi bahwa kaum brahmana, bangsawan, dan para pedagang bersama-sama menyebarkan agama Hindu sesuai dengan peranan masing-masing.
Peradaban Jawa yang tumbuh antara abad ke-8 hingga abad ke-15. Peradaban yang hampir berlangsung selama kurang lebih 7 setengah abad ini mencangkup seluruh periode Hindhu Budha di wilayah budaya Jawa.kerajaan Mataram Kuno bertempat di Jawa Tengah, dan periode kerajaannya mencangkup 732-928 M. Sumber sejarah untuk mempelajari awal berdirinya Kerajaan Mataram di Jawa Tengah adalah Prasasti Canggal yang ditemukan di Desa Canggal, di halaman sebuah candi yang sudah runtuh di lereng Gunung Wukir (dekat Muntilan, ssebelah barat Magelang). Prasasti yang ditulis dengan memakai huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang mempunyai keistimewaan, yaitu memakai angka tahun Candrasangkala yang berbunyi Crutiindriya Rasa. Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengaruh kebudayaan India (Hindu Budha) pada kerajaan Mataram Kuno.





2.1 Kerajaan Mataram
a.       Sejarah
          Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gununggunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur. 
          Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.
          Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan pendiri Wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik agama Hindu dan Budha berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
          Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya yang kemduian menjadi Raja disana.
          Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram Hancur. Mpu Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.

1.      Pusat Kerajaan Mataram Kuno
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhaniputri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam 
Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljanaberpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, 
prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garungdengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindraataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

2. Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum jelas, namun menurut Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan Prasasti Canggal (732) tanpa menyebut jelas apa nama kerajaannya. Dalam prasasti itu, Sanjaya menyebutkan terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja tersebut bernama Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena yang merupakan raja dari Kerajaan Galuh yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara).
          Kekuasaan Sanna digulingkan dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan kemudian melarikan diri ke Kerjaan Sunda untuk memperoleh perlindungan dari Tarusbawa, Raja Sunda. Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya yang merupakan keponakan dari Sanna sebagai menantunya. Setelah naik tahta, Sanjaya pun berniat untuk menguasai Kerajaan Galuh kembali. Setelah berhasil menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan baru yaitu Kerajaan Mataram Kuno.
          Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa dipastikan Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak abad ke-7 dengan rajanya yang pertama adalah Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

3. Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
          Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
          Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
          Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.



4.      Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
          Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram Kuno, yaiut berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi sekarang ini. Adapun untuk Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya:
1. Prasasti Canggal
Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa Canggal berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu juga diceritakan bawa yang menjadi raja sebelumnya adalah Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:
Bait 1           : Pembanggunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
bait 2-6        : Pujaan terhadap Dewa Siwa,Dewa Brahma,dan Dewa wisnu
bait 7           : Pulau jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjaradesa
bait 8-9        : Pulau Jawa yang dulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung.
Bait 10-11    : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadannya oleh raja Sanna tetapimelalui kakak perempuannya (Sannaha)
Bait 12         : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur ditengah jala, tidak usah takut akan pencuri dan penyammun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. rakyat hidup serba senang. Kunjarakunjara-desa dapat berarti “tanah dari pertapaan kunjara”, yang diidentifikasikan sebagai tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India Selatan.   

2. Prasasti Kalasan
Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno yang berangka tahun 700 Saka atau 778M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha). Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.

3. Prasasti Mantyasih
Prasasti ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno. Dalam prasasti ini juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing). Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta kasih".

4. Prasasti Klurak
Prasasti Kelurak berangka tahun 782 M dan ditemukan di dekat Candi Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah. Keadaan prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. 

5.      Prasasti Sankhara
Prasasti Raja Sankhara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan di Sragen, Jawa Tengah. Prasasti ini kini hilang tidak diketahui di mana keberadaannya. Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi, Museum Adam Malik, namun diduga ketika museum ini ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau 2006, koleksi-koleksi museum ini dijual begitu saja. Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih. Sebelumnya disebutkan ayah Raja Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari. Karena itulah Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur. Di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan Rakai Panangkaran, sedangkan ayah Raja Sankhara yang dalam prasasti ini tidak disebutkan namanya, disamakan dengan raja Sanjaya.

6.  Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

7.      Prasasti Tri Tepusan
Prasasti Tri Tepusan menyebutkan bahwa Sri Kahulunnan pada tahun 842 M menganugerahkan tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pembuatan dan pemeliharaan tempat suci Kamulan I Bhumisambhara (kemungkinan besar nama dari candi Borobudur sekarang). Duplikat dari prasasti ini tersimpan di dalam museum candi Borobudur.

8.      Prasasti Wanua Tengah
Prasasti ini ditemukan November 1983. Prasasti ini di sebuah ladang di Dukuh Kedunglo, Desa Gandulan, Kaloran, sekitar 4 km arah timur laut Kota Temanggung. Di dalam prasasti ini dicantumkan daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi Mataram pada masa sebelum pemerintahan raja Rake Watukara Dyah Balitung. Prasasti ini dianggap penting karena menyebutkan 12 nama raja Mataram, sehingga melengkapi penyebutan dalam Prasasti Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti Tembaga Kedu) yang hanya menyebut 9 nama raja saja.

9.      Prasasti Rukam
rasasti ini berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi, ditemukan pada 1975 di desa Petarongan, kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti ini terdiri atas dua lempeng tembaga yang berbentuk persegi panjang. Lempeng pertama berisi 28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris. Aksara dan bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuna.
Isi prasasti adalah mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api. Kemudian penduduk desa Rukam diberi kewajiban untuk memelihara bangunan suci yang ada di Limwung. Mungkin bangunan suci tersebut adalah Candi Sajiwan, sebagaimana kata Sanjiwana tadi. Candi Sajiwan yang sering dilafalkan Sojiwan terletak tidak jauh dari Candi Prambanan.

10.  Prasasti Gondosuli
Prasasti ini ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Yang mengeluarkan adalah anak raja (pangeran) bernama Rakai Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung. Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuna dengan aksara Kawi(Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.

11.  Prasasti Ngadoman
Prasasti Ngadoman ditemukan di desa Ngadoman, dekat Salatiga, Jawa Tengah. Prasasti ini penting karena kemungkinan besar merupakan perantara antara aksara Kawi dengan aksara Buda.

12.  Prasasti Kayumwungan/Karang Tengah
Prasasti Kayumwungan adalah sebuah prasasti pada lima buah penggalan batu yang ditemukan di Dusun Karangtengah, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sehingga lebih dikenal juga dengan nama prasasti Karangtengah. Isi tulisan pada bagian berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang raja bernama Samaratungga. Anaknya bernama Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya serta bangunan bernama Wenuwana (Sansekerta: Venuvana, yang berarti "hutan bambu") untuk menempatkan abu jenazah 'raja mega', sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah raja Indra atauDharanindra dari keluarga Sailendra.

13.  Prasasti Plumpungan
Prasasti ini ditemukan di Dukuh Plumpungan dan berangka tahun 750 Masehi. Prasasti ini dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga. Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.

Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak meninggalkan bangunan candi yang masih ada hingga sekarang. Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.

5.      Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno
Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya sebagai berikut:
1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Kuno
2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10.  Mpu Daksa
11.  Rakai Layang Dyah Tulodong
12.  Rakai Sumba Dyah Wawa
13.  Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14.  Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
15.  Makuthawangsawardhana
16.  Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Kuno berakhi
2.2 Dinasti Kerajaan Mataram
Dinasti Sanjaya

1.      Sumber Sejarah
Bukti-bukti berdirinya Dinasti Sanjaya dapat diketahui melaui Prasasti Cangggal (daerah Kedu) tahun 732 M, Prasasti Balitung, Kitab Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal (732 M) dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya agama yang dianutnya adalah agama Hindu.
Sebelum Sanjaya berkuasa, Mataram Kuno diperintah oleh Raja Sanna (paman Sanjaya). Masa pemerintahan Saan dan Sanjaya dapat diketahui. Berdasarkan Sojomerto diketahui bahwa Sanjaya adalah keturunan Raja Syailendra yang beragama Syiwa.
Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya. Isi utamanya adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (Lambang Siwa), Jawadwipa yang kaya raya akan hasil bumi terutama padi dan emas.
Urutan Raja Mataram Kuno adalah sebagai berikut :
a.       Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
b.      Sri Maharaja Rakai Panangkaran
c.        Sri Maharaja Rakai Warak
d.      Sri Maharaja Rakai Garung
e.       Sri Maharaja Rakai Pikatan
f.        Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
g.      Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
h.      Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung

Prasasti Balitung (907 M) Prasasti ini adalah prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh Raja Dyah Balitung.
Kitab Carita Parahyangan. Kitab ini menceritakan tentang hal ikhwal raja-raja Sanjaya.
Kerajaan Mataram Kuno berkembang pesat karena didukung oleh beberapa faktor.
Sanjaya bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
1)      Rakai Mataram Sang Satu Sanjaya
Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di Gunung Dieng. Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran. Raja Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya.
Raja dapat memperdalam agama Hindu Siwa. Pemujaan yang tertinggi di Kerajaan Mataram diberikan kepada Dewa Siwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi. Memuja Dewa itu, didirikan candi-candi.
Raja Sanjaya meninggal kira-kira pertangahan abad ke-8 M. Oleh rakai Panangkaran. Rakai Warak dan Rakai Garung.

2)      Rakai Panangkaran
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi wilayahnya. Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.
Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran ini diduga muncul Dinasti Sailendra yang beragama Budha. Keududukan Dinasti Sanjaya sehingga Dinasti Sanjaya mengalihkan pemerintahannya ke Jawa Tengah bagian utara.
3)      Sri Maharaja Rakai Pikatan
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang.
4)      Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Rakai kayuwangi dibantu oleh suatu Dewan Penasehat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima patih dan diketuai oleh seorang maha patih.
5)      Sri Maharaja Rakai Watuhumalang.
Masa pemerintahan Rakai Watuhumalang tidak dapat diketahui dengan jelas.

Sekitar abad ke-8 di Jawa Tengah telah berdiri suatu kerajaan yang teratur dan diperintah oleh raja-raja yang cakap.
Daerah-daerah sekitar Mataram Kuno segera ditakhlukkannya, seperti Kerajaan Galuh di Jawa Barat dan Kerajaan Melayu dni Semenanjung Malaya.
Pda tahun 778 M Raja Panagkaran atau Maharaja Tejah Purnapana Mustika membangun bangunan suci (candi) untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta.
Sejak pemerintahan Raja Panangkaran, keluarga Syailendra terbagi menjadi dua kelompok penganut agama. Hindu Syiwa dan agama Budha.
Raja-raja Mataram Kuno beragama Budha, berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan yang berpusat di Lembah Sungai Progo (Magelang).
Raja-raja penganut Agama Budha keturunan Syailendra yang pernah memerintah di Jawa Tengah, antara lain Raja Bhanu, Raja Wisnu (Sri Dharmatungga), Raja Indra (Sri Sanggramadananjaya), Raja Samaratungga, dan Ratu Pramodhawardani. Berkuasa selama satu abad (750-850 M).
Raja-raja Mataram Kuno beragama Hindu mula-mula berkuasa di Jawa Tengah bagian utara, terutama disekitar Pegunungan Dieng. Dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di Daratan Tinggi Dieng, seperti Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Arjuna, dan Candi Sumbadra. Candi Dieng dibangun sekitar tahun 778 – 850.
Pembangunan Candi Hindu yang lebih besar dan indah, yaitu Candi Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di Desa Prambanan.Pengganti Rakai Pikatan adalah Rakai Kayuwangi.
Menurut Prasati Munggu Antan, Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Gurunwangi (886) dan Rakai Limus Dyah dewendra (890). Berdasarkan Prasasti Kedu, penggati Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang yang berputra Dyah Balitung.
Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910. Ada prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung pernah menyerng Bantan (Bali). Prasasti yang penting adalah prasasti Mantyasih (Kedu) yang berisi silsilah raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai dengan Dyah Balitung. Raja Balitung dikenal tiga jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi sebuah raja) rakryan i halu dan rakryan i sirikan merupakan tritunggal.
Pengganti Balitung adalah Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya. Ia memerintah dari tahun 913 sampai dengan 919.
Pada tahun 919 Daksa digantikan oleh Tulodhong yang bergelar Sri Maharadja Rakai Layang Dyah Tulodhong Sri Sajanasan-mattanuragatunggadewa. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat.
Pengganti Tulodhong ialah Wawa, ia naik tahta pada tahun 924 dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wajayalokanamottungga. Sri Baginda dibantu Empu Sindok Sri Isanawikrama yang berkedudukan sebagai mahamantri i hino.
Prasasti-prasasti tersebut lebih banyak membicarakan masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Rakai Watuhumalang, masalah keagamaan mendapat perhatian lebih khusus dari pada masalah pemerintahan.
Sri Maharaja Watukura Diah Balitung. Raja Diah Balitung adalah seorang Raja Mataram yang besar dan cakap. Ia berhasil mengatasi masalah yang dihadapi Kerajaan Mataram dan mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan yang hampir terpecah belah akibat pertentangan antar kaum bangsawan. Kesejahteraan rakyat meningkat dan keamanan terjamin, bahkan daerah kekuasaannya meluas hingga ke Jawa Timur.
Diah Balitung memerintah Mataram sampai tahun 910 M. Prasasti terpenting adalah Prasasti Mantyasih (Kedu) yang berisi tentang silsilah raja-raja Mataram dari Raja Sanjaya sampai dengan Raja Dyah Balitung.
Tiga jabatan penting, Rakryan I Hino, Rakryan I Halu dan Rakryan I Sirikan. Merupakan tritunggal dan nama jabatan ini terus dipakai oleh kerajaan-kerajaan berikutnya pada zaman Singasari-Majapahit.
Sri Maharaja Daksa. Sebelum menjadi Raja Mataram ia menjabat sebagai Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahannya, pembuatan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Masa pemerintahan Raja Daksa tidak berlangsung lama dn digantikan oleh Tulodhong. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat.
Pengganti Raja Tulodhong adalah Rakai Wawa dibantu oleh Mpu Sindok sebagai Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahannya terjadi kekacauan yang menjalar sampai ke ibukota kerajaan. Kekacauan itu dapat diatasi, sehingga keamanan dapat dipulihkan kembali.
Setelah Rakai Wawa meninggal, ia digantikan oleh Mpu Sindok. Karena rasa khawatir terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya,d ari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

1. Kehidupan Politik
     Berdasarkan prasasti Metyasih, Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) telah memberikan hadiah tanah kepada 5 orang patihnya yang berjasa besar kepada Mataram. Dalam prasasti Metyasih juga disebutkan raja-raja yang memerintah pada masa Dinasti Sanjaya.
Pranata politik terutama mendominasi aspek-aspek yang secara langsung menjalankan fungsi pengendalian, yakni dalam struktur kekuasaan (dominasi elite nonagama), gagasan raja ideal (tokoh kewiraan), statifikasi social dan hubungan antarbangsa (alasan politik - Cina).

2.      Kehidupan Sosial
Kehidupa sosial masyarakat di kerajaan Mataram Kuno sudah teratur. Terlihat dari sikap gotong oyong mereka saat membuat candi bersama. Sikap toleran diantara masyarakat sangat baik. Terbukti dengan adanya dua aliran kepercayaan yang berbeda tetapi mereka tetap bisa bersosialisasi.

3.      Kehidupan Ekonomi
Pada perekonomian kerajaan mataram ada data prasasti yang memberikan keterangan bahwa ada pegawai pemungut pajak yang diberi nama rakai kanuruhan. Tapi kemunculannya tidak diketahui secara persis fungsi pokok jabatan ini. Namun, dapat dikatakan bahwa kewenangannya dalam hirarki kepemerintahan mulai menunjukkan peningkatan, khususnya sejak masa pemerintahan Sindok. Dalam sejumlah prasasti dalam periode ini diketahui bahwa rakai karunuhan diberi wewenang yang sangat tinggi sebagaimana tercermin dalam beberapa prasasti yang memberikan kewenangan kepadanya untuk memberikan anugrah Sima, suatu kewenangan yang biasanya dijalankan oleh raja sendiri. Perekonomian kerajaan Mataram Kuno saat itu bertumpu pada sektor pertanian karena letaknya yang cukup disebut sebagai pedalaman dan memiliki tanah yang subur. Berikutnya, Mataram mulai mengembangkan kehidupan pelayaran, hal ini terjadi pada masa pemerintahan Balitung yang memanfaatkan sungai Bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangan menuju pantai utara Jawa Timur.

4.      Kehidupan Agama
Berdasarkan prasasti Canggal yang menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Siwa), dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Mataram Kuno Wangsa Sanjaya memiliki kepercayaan agama Hindu beraliran Siwa. Pengaruh agama terutama sangat domain dalam bidang arsitektur. Pengaruh agama juga terasa dalam lapangan politik. Khusunya menyangkut gagasan raja ideal (sebagai Manu) perhelatan kerajaan (alas an penetapan sima, aktivitas pendirian dan peresmian candi), system sanksi (kutukan), statifikasi social, hubungan antarbangsa (alas aw2n agama-hindu), pembuatan benda-bendalogam (alat ucap).

Dinasti Syailendra

Pada pertengahan abadke-8 M di Jawa Tengah bagian selatan yaitu di daerah Bagelan dan Yogyakarta, memerintah seorang raja dari Dinasti Syailendra. Berdasarkan bukti-bukti peninggalan Kerajaan Syailendra yang berupa candi-candi, wilayah kekuasaan Syailendra meliputi wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

2.      Sumber Sejarah
Sumber sejarah Dinasti Syailendra ada tiga, yaitu prasasti-prasasti, candi-candi dn arca-arca, serta berita asing.
Prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan diantaranya sebagai berikut. Prasati Kalasar (778 M) menyebutkan tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra berhasil menunjuk Rakai Panangkaran untuk mendirikan suatu bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran akhirnya menghadiahkan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti Kelurak (782 M) di daerah Prambanan menyebutkan pembuatan arca Manjusri yang merupakan perwujudan sang Buddha, Wisnu Manjusri dan Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang memerintah saat itu, yang bernama Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M). menyebutkan kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
Prasasti Nalanda (856 M). menyebutkan tentang asal usul Raja Balaputra Dewa. Bahwa Balaputra Dewa adalah putra dari Raja Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah).
Prasasti-prasasti Syailendra adalah sebagai berikut
a)      Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M ditulis dengan memakai huruf Pranagari berbahasa Sanskerta.
b)       Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 M dituliskan dengan huruf Pra-nagari dan bahasa Sanskerta.
c)       Prasasti Karang Tengah ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa sanskerta dan Jawa Tengah.
d)      Prasasti Kedu yang berangka tahun 842 M ditemukan didaerah Kedu.
e)      Prasasti Ligor yang berangka tahun 775 M, ditemukan di Tanah Genting Kra.
f)       Prasasti Nalanda yang di temukan di Nalanda, India Utara tahun 860 M. Di tulis dengan huruf Dewa Nagari dan berbahasa sanskerta.

Isi Prasasti Nalanda menyebutkan tentang Raja Dewapaladewa dari Dinasti Pala yang memberikan sebidang tanah untuk digunakan sebagai tempat mendirikan wihara bagi para mahasiswa dari Sriwijaya yang sedang belajar agama Buddha. Prasasti ini menyebutkan nama raja yang memerintah Sriwijaya waktu itu, yaitu Raja Balaputradewa.
Balaputradewa adalah seorang anggota dari Dinasti Sailendra yang diusir dari Jawa pada tahun 866 M oleh Rakai Pikatan. Prasasti Nalanda menunjukkan adanya hubungan kerja sama dalam bidang agama dan kebudayaan antara Indonesia dan India pada abad ke-9.


3.      Kehidupan Politik

Berdasarkan prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang pernah memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya:
1)      Bhanu ( 752- 775 M )
Raja banu merupakan raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2)      Wisnu ( 775- 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Brobudur mulai di banugun tempatnya 778.
3)      Indra ( 782 -812 M )
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Prasasti Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan. Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja Indra. Perluasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai daerah-daerah di sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra menjalankan perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
4)      Samaratungga ( 812 – 833 M )
Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menghayati nilai agama dan budaya. Pada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir.
5)      Pramodhawardhani ( 883 – 856 M )
Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar keratin yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjdi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
6)      Balaputera Dewa ( 883 – 850 M )
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibunya yang bernama Dewi Tara, Puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Belaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan Rakai Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melatrikan diri ke Palembang.

4.      Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial Kerajaan Syailendra tidak diketahui secara pasti. Namun, melalui bukti-bukti peninggalan berupa candi-candi, para ahli menafsirkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Syailendra sudah teratur. Hal ini dilihat melalui cara pembuatan candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong-royong. Di samping itu, pembuatan candi ini menunjukkan betapa rakyat taat dan mengkultuskan rajanya. Dengan adanya dua agama yang berjalan, sikap toleransi antar pemeluk agama di masyarakat sangat baik.

5.      Kehidupan Ekonomi

Mata pencaharian pokok masyarakat adalah petani, pedagang, dan pengrajin. Dinasti Syailendra telah menetapkan pajak bagi masyarakat Mataram. Hal ini terbukti dari prasasti Karang tengah yang menyebutkan bahwa Rakryan Patatpa Pu Palar mendirikan bangunan suci dan memberikan tanah perdikan sebagai simbol masyarakat yang patuh membayar pajak.

14.  Kehidupan Agama

Sebagian besar raja-raja Dinasti Syailendra beragama Budha Mahayana. Hal ini menunjukkan bahwa agama Buddha telah masuk di Mataram. Dengan dibangunnya candi-candi Buddha untuk beribadah, maka dapat disimpulkan pula bahwa rakyatnya beragama Buddha Mahayana.
15.  Keruntuhan Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra diduga mengalami penyatuan dengan Dinasti Sanjaya berkat adanya perkawinan politik antara Pramodhawardhani, dengan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Setelah Raja Samaratungga wafat terjadi perebutan kekuasaan antara Pramodhawardhani (Rakai Pikatan) dan Balaputradewa  terdesak lalu perghi ke Sriwijaya dan menjadi raja di sana. Jadi, diperkirakan Balaputra Dewa menjadi raja di Sriwijaya berdasarkan garis ibu. Berakhirlah pemerintahan Dinasti Sailendra an kekuasaan di Jawa Tengah kembali ke tangan Dinasti Sanjaya.
Perkawinan antara Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani ternyata dapat menyatukan pemerintahan. Selain itu, pemeluk agama Hindu dengan pemeluk agama Buddha dapat hidup berdampingan. Pramodhawardhani, yang kemudian bergelar Sri Kahulunan, meneruskan pendirian suci agama Buddha, yaitu kompleks Candi Plaosan di Prambanan. Di Candi Plaosan banyak ditemukan tulisan-tulisan pendek tentang nama Sri Kahulunan dan Rakai Pikatan. Pramodhawardhani juga meresmikan pemberian tanah dan sawah untuk menjamin pemeliharaan Kamulan atau bangunan suci di Bhumisambhara yang kemudian disebut dengan Candi borobudur.

Dinasti Isyana
Sejarah : Kekuasaan Wangsa Isyana| Setelah Empu Sindok menggantikan kekuasaan Raja Wawa di Jawa Tengah, ia berkeinginan memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Alasannyya, adanya bencana alam di Jawa Tengah dan timbul kekacauan karena ancaman serangan Sriwijaya.
Munculnya Kekuasaan Wangsa Isyana : Setelah berhasil memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, Empu Sindok membentuk keluarga baru yang dinamakan Wangsa Isyana. Empu Sindok mendirikan kerajaan sekaligus sebagai raja pertama. Ia bergelar Sri Isyana Wiramadharmatunggadewa. Mengenai pusat pemerintahannya, ada yang berpendapat di Watugaluh, yaitu daerah di antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis. Akan tetapi, ada yang berpendapat di Tamwlang diperkirakan di daerah Jombang. Oleh karena di dekat Jombang terdapat sebuah desa yang namanya mirip, yakni desa Tambelang. 
Sumber Sejarah Kekuasaan Wangsa Isyana di Jawa Timur : Sumber yang dapat digunakan untuk mengetahui kekuasaan Wangsa Isyana berupa berita asing dan prasasti. Berita asing itu berasal dari India dan Cina. Berita Cina berasal dari zaman Dinasti Sung. Sumber yang berupa prasasti adalah prasasti dari Empu Sindok dan Prasasti Calcuta. Pemerintahan dan Perkembangan Sosial Ekonomi : Empu Sindok dapat dikatakan sebagia peletak dasar bagi perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur. Daerah kekuasaannya, meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. 

a.       Masa Pemerintahan Empu Sindok (929-948)
Usaha-usaha Empu Sindok dalam memajukan kerajaannya, antara lain sebagai berikut.
2.      Memajukan pertanian dan perdagangan, yaitu dengan mengeringkan daerah rawa-rawa untuk lahan pertanian.
3.      Memajukan kehidupan beragama, misalnya pembangunan beberapa candi, seperti Candi Sanggariti dan Candi Gunung Gangsir.
4.      Mengembangkan seni sastra. Pada masa pemerintahan Empu Sindok ditulis buku suci agama Buddha, Sang Hyang Kamahayanikan.
5.      Menjunjung martabat kaum wanita. Hal itu dibuktikan dengan ikut sertanya permaisuri dalam pemerintahan. Setelah wafat Empu Sindok digantikan putrinya Sri Isyanatunggawijaya. Selanjutnya, Sri Isyanatunggawijaya digantikan oleh putranya Makutawangsa Wardana.

b.      Masa Pemerintahan Dharmawangsa (991-1016)
Pada tahun 991, Dharmawangsa menggantikan Makutawangsa Wardana. Ia bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatungga dewa. Raja Dharmawangsa sangat menitikberatkan pemerintah tahannya dalam bidang politik. Hal itu tampak dari upayanya menaklukkan Sriwijaya sebagai penguasa perdagangan di Nusantara. Beberapa kali Dharmawangsa menocoba menaklukkan Sriwijaya, tetapi gagal. Bahkan, Dharmawangsa dan keluarganya gugur karena serangan Kerajaan Wora Wari pada saat pernikahan putri Dharmawangsa dengan Airlangga, putra Raja Udayana dari Bali. Wora Wari adalah kerajaan bawahan Sriwijaya yang ada di Jawa. Peristiwa tersebut dikenal dengan Pralaya. Salah seorang anggota keluarga Dharmawangsa yang berhasil melarikan diri dari peristiwa itu adalah Airlangga. 

c.       Masa Pemerintahan Airlangga (1019-1048)
Setelah berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya dari Peristiwa Pralaya. Airlangga hidup di tengah hutan. Ia hidup bersama para pertapa. Pada tahun 1019, para utusan rakyat datang menghadap Airlangga. Mereka minta agar Airlangga bersedia naik takhta membangun kembali Kerajaan Wangsa Isyana. Pada tahun 1019, Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pendeta Buddha. Ia kemudian bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Sebagai permaisurinya adalah Anantangwikramatunggadewa. Sebagai permaisurinya adalah putri dari Dharmawangsa.
Pemulihan Kembali Kekuasaan Wangsa Isyana, Airlangga bercita-cita mengembalikan kekuasaan Wangsa Isyana. Untuk itu, ia terus berusaha menyusun kekuatan bersama para pengikutnya. Salah seorang pengikut setia Airlangga sejak dari pelarian di tengah hutan hingga ia menjadi raja adalah Narotama. Pada tahun 1028, Airlangga mulai melaksanakan cita-citanya. Kerajaan-kerajaan yang dahulu pernah berada dibawah kekuasan Dharmawangsa, satu per satu dapat dikuasai kembali. Wilayah kekuasaannya, meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Pusat pemerintahan terdapat di Kahuripan. Lambang negara yang digunakan adalah Garudhamukha. Untuk meningkatnya kesejahteraan rakyat, Airlangga melakukan usaha sebagai berikut.

Usaha-Usaha Airlangga dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rakyatnya

a.       Bidang Ekonomi 
Usaha yang dilakukan di bidang ekonomi, antara lain sebagai berikut.
1.      Untuk memajukan kemakmuran rakyat, bidang pertanian dikembangkan. Usaha yang ditempuhnya adalah memperbaiki irigasi dan membuat Bendungan Waringin Sapta.
2.      Akibat dibangunnya Bendungan Waringin Sapta, pelayaran dan perdagangan bertambah ramai. Hal itu disebabkan Sungai Brantas dapat dilayari sampai ke Pelabuhan Hujung Galung (Surabaya). Selain Pelabuhan Hujung Galuh, Airlangga juga membuka Pelabuhan Kembang Putih (sekitar Tuban). Kapal dagang luar negeri, misalnya dari India, Burma, Kampuchea, dan Campa banyak yang singgah di Pelabuhan Kembang Kembang Putih dan Hujung Galuh itu.

b.      Bidang Agama 
Untuk memajukan bidang agama dan sekaligus sebagai penghargaan atas jasa para pendeta. Airlangga juga membangun pertapaan di Pucangan, lereng Gunung Penanggungan. Pertapaan Pucangan itu diperuntukkan bagi putrinya, Sri Sanggaramawijaya yang setelah menjadi pertapa dikenal dengan sebutan Dwi Kilisuci. Raja Airlangga adalah pemeluk agama Hindu yang setia. Sekalipun demikian, agama Buddha diberi kesempatan untuk berkembang baik. Airlangga juga terkenal sebagai pembina toleransi kehidupan beragama.

c.       Bidang seni Sastra
Selain bidang-bidang tersebut, Airlangga juga memberi perhatian di bidang sastra. Hasil sastra yang terkenal pada masa pemerintahan Airlangga, antara lain Arjunawiwaha tulisan Empu Kanwa.
Masa Akhir Pemerintahan Airlangga : Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua. Hal itu disebabkan putri dari permaisuri, yaitu Sri Sanggramawijaya yang berhak atas takhta kerajaan tidak bersedia menjadi raja. Ia lebih memilih hidup sebagai pertapa di Pucangan. Kerajaan Airlangga dibagi dua untuk kedua putranya dari selir. Pembagian kerajaan ini terjadi pada tahun 1041. Oleh Airlangga pekerjaan membagi kerajaan itu diserahkan kepada seorang brahmana sakti bernama Empu Bharapa. 
Empu Bharada menjalankan tugas dengan bijaksana. Kerajaan dibagi menjadi dua dengan batas Sungai Brantas. Kedua kerajaan itu adalah sebagai berikut.
a.       Panjalu atau Kediri dengan ibu kota Daha. Kerajaan itu terletak di sebelah selatan dan timru Sungai Brantas.
b.      Jenggala atau Singasari dengan ibu kota Kahuripan (kira-kira sekitar Lamongan). Kerajaan itu terletak di sebelah utara Sungai Brantas.
Setelah pembagian kerajaan selesai, Airlangga turun takhta. Ia hidup sebagai pertapa sampai wafat pada tahun 1049. Airlangga dimakamkan di lereng sebelah timur Gunung Penanggungan, yang terkenal dengan nama Candi Belahan. Pada candi itu terdapat patung Airlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wisnu yang sedang mengendarai garuda.
Kekuasaan Wangsa Isyana




2.3 Aktifitas Perekonomian
            Aktifitas perekonomian dapat dibagi ke dalam tiga jenis : produksi, distribusi. Masing-masing kategori kegiatan tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Produksi
          Secara umum, produksi ekonomi masyarakat diperoleh dari enam jenis aktivitas, yakni pertanian,perkebunan, pemanfaatan hutan, peternakan, perburuan hewan dan kerajinan. Sumber-sumber prasati dan data arkeologi sedikit sekali memberikan keterangan mengenai bagaimana aktifitas-aktifitas produksi mereka dilakukan. Pengetahuan mengenai hal ini umumnya diperoleh atas dasar penafsiran dari barang-barang produksi yang disebut dalam prasasti dan relief pada candi. Menurut jenisnya, hasil-hasil kegiatan produksi dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori : bahan makan; pakaian dan perihasan; peralatan rumah tangga, alat kerja dan barang-barang langka.
1. Bahan makanan
            Pada pemerintahan Sanjaya rakyat sangat makmur. Bahan utama pada saat itu adalah padi. Selain bercocok tanam masyarakat mataram kuno penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga berdagang  dan menjadi  pengrajin.

2. Pakaian dan perhiasan
            Kostum raja, permaisuri, putri mahkota, bangsawan, prajurit kerajaan, serta rakyat merujuk pada pakaian yang di gambarkan di relief candi bagian kamandhatu. Pola dasar penggarapan kostum tokoh-tokohutama juga berpijak kepada gambaran kostum serta ornament perhiasan para bangsawan di relief Candi Borobudur. Untuk dandanan kepala, bila dicermati, bentuk yang mendominasi di antaranya dan dandanan kepala berbentuk  konde jegul (rambut yang ditata mengerucut atau membentuk segitiga). Sedangkan ornament penghias rambut bervariasi, bergantung statussosial. Kalangan bangsawan menggunakan perhiasaan yang mewah sedangkan rakyat tidak memakai perhiasan.
            Pakaian yang digunakan kalangan bangsawaan putri adalah dodot tanggung yang dibatik dengan prada warna kuning keemasan, begitu pula bangsawan putra yang memakai kain wiron sandatan (kainyang dilipat. Para prajurit pedang temeng, pentung temeng, dan tombak memakai kain wiron sandatan dengan warna-warna natural, seperti merah dan biru. Sementara para penari biksu memakai kain berwarna kuning yang didesain menyerupai pakaian sehari-hari biksu pemeluk agama Budha. Pebnari rakyat menggunakan kain lurik berlatar hitam dan penari raksasa, yang menggambarkan roh-roh jahat penggoda, memakai rambut gimbalan, kain rapek, dan topeng.

3. Peralatan rumah tangga
            Pada masa itu rakyat menggunakan peralatan yang bahan materialnya adalah tanah liat seperti gerabah, pasu (baskom tanah liat), periuk, kendi, dan lainnya. Selain itu mereka juga menggunakan guci cina ada juga benda-benda yang terbuat dari logam seperti senjata tajam ( mirip pedang) dan alat pertanian berupa 'Lempak'.

4. Peralatan Kerja
            Termasuk dalam alat-alat kerja adalah peralatan-peralatan pertanian dan alat-lat lainnya yang digunakan untuk berbgai keperluan, termasuk berbagai senjata dan alat-alat lainnya yang biasa digunakan dalam pemanfaatan lingkungan. Umumnya terbuat dari logam. Prasasti Rukam (907) menyebutkan jenis-jenis peralatan yang dibuat dari logam besi : pisau kapak, kapakperimbas, beliung, sabit, pedang,, tampilan (sejenis beliung), keris, kampit, tatah, dll. Peralatan logam juga digambarkan melalui relief di candi Borobudur.

5. Barang Langka
            Barang-barang jenis ini biasannya dicari untuk diperdagangkan karena memiliki nilai jual dalam pasaran internasional. Diantaranya adalah tanaman obat-obatan yang dikenal dengan istilah material medica, misalnya gandarusa (myrrh) dan kemenyan (frankincence) (wolters1967:116). Burung kakak tua tua beberapakali disebutkan dalam sumber-sumber berita cinasebagai komoditas internasional, juga cula badak dan barang-barang kerajinan yang terbuat dari emas, gerabah dan rotan serta cendana (Groeneveldt 1960:16-17;Mills1970:91-92).

Distribusi
            Distribusi hasil-hasil produksi sebagaimana disebutkan diatas, kecuali di konsumsi sendiri juga di konsumsi oleh orang lain. Mekanisme distribusi tersebut dapat dibagi kedalam tiga kelompok : perdagangan, pajak dan upeti, dan upacara saling memberi.
1.      Perdagangan
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat  Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, danitik.Sebagai tenagakerja, mereka  juga berdagang  dan menjadi pengrajin.Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurutka kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasardiadakan di pusatkota. Pada har I Mani satau legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk dibarter dengan kebutuhan yang lain. Leong Sau Heng menggambarkan hirarki pusat-pusat barang di wilayah Semenanjung Melayu. Ada 3 tingkatan: pusat-pusat pengumpulan (collecting centres) yang merupakan tingkat yang paling hulu dari pusat barang, daerah-daerah pemasok (feeder points) yang berfungsi sebagai piusat penampungan barang-barang dari sejumlah collecting centres dan pelabuhan utama (entrepot) yang menjadi pusat pengumpulan seluruh barang yang berasal dari sejumlah feeder points. Sedikit berbeda dengan tatanan di semenanjung Melayu, di Jawa pusat-pusat pengumpulan di tingkat paling ujung itu merupakan system tersendiri yang juga memiliki hirarki, yakni empat desa-anak sebagai pusat pengumpulan paling ujung dan sebuah desa-induk yang berada di atasnya.

2.      Pajak dan upeti
Sumber-sumber sejarah memberikan keterangan bahwa pajak dimbil dari hasil bumi dan usaha perdagangan. Jenis pajaknya dapat berupa hasil bumi (biasannya beras atau padi) mupun dalam bentuk lain (biasannya emas atau perak). Hal serupa juga berlaku pada pemberian upeti. Pada umumnya pajak ditarik setiap tahun, khususnya sehabis musim panen, yakni pada bulan-bulan Phalguna (Februari-Maret) dan Caitra (Maret-April). Namun, kadang ditemukan keterangan bahwa pajak ditarik pada bulan-bulan lain, misalnya bulan Magha (Januari-Februari) Badra (Agustus-September) Asuji (September-Oktober) dan bulan Karttika (Oktober-November). Pajak-pajak tahunanmungkin sekali dibayar dalam bentuk hasil bumi,terutama padi.
Sumber-sumber berita Cina mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke-7 sampai ke-10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram. Dari Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram.
Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang orang orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Cina.

3.      Upacara Saling Memberi
Data prasasti dari akhir abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-10 (masa Balitung dan Sendok) mencatat bahwa bentuk pasȇk-pasȇk yang paling sering disebut adalah emas (mas), perak (pirak), pakaian laki-laki (wdihan) dan pakaian perempuan (tapi bias juga untuk laki-laki) yang disebut kain (kan). Disamping barang-barang tersebut, kadang-kadang diberikan juga pasȇk-pasȇk berupa binatang ternak, biasanya kerbau dan kambing dan suatu pemberian lain atau semacam bekal untuk pulang yang disebut dengan istilah pangankat panungsun.
Jumlah-jumlah hadiah yang diberikan ini tidak sama antara satu prasati dan prasasti lain, tetapiterdapat pola yang umum yakni bahwa nilai pasȇk-pasȇk disesuaikan dengan tingkat jabatan atau posisi social yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan.
Seluruh peristiwa pemberian pasȇk-pasȇk ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu upacara saling memberi. Disatu pihak para penguasa telah memberikan kepada para tokoh di tingkat desa berupa anugrah sima, yakni pemberian status baru kepada tang yang sejak saat penetapannya tidak lagi dapat diambil pajaknya oleh petugas pajak kerajaan. Di lain pihak, para penerima anugrah tersebut, senagai imbangnya, memberikan hadiah kepada para penguasa dan para saksi dari desa-desa sekelilingnya.

Konsumsi
            Konsumsi disini dimaksutkan sebagai tindakan yang langsung berkaitan dengan upaya mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan barang dan jasa. Dilihat dari jenisnya, bentuk-bentuk kegiatan konsumsi amat banyak. Disini hanya akan dikemukakan beberapa kegiatan yang menonjol sebagaimana tercermin dalam data sejarah dan arkeologi, masing-masing adalah pembangunan dan pemeliharaan sarana umum, pembiayaan pegawai kerajaan, perhelatan kerajaan dan gaya hidup.
1.      Pembangunan dan Pemeliharaan sarana umum
Ada dua kegiatan besar yang melibatkan peranan kerajaan dalam pembangunan dan pemeliharaan sarana umum, yakni pendirian dan pemeliharaan bnagunan pribadatan, pembangunan dan pemeliharaan sarana pertanian dan bendungan dan pembanguna serta pemeliharaan sarana pemerintahan.

Bagunan Peribadatan
Banguanan peribadatan pada kerajaan Mataram berupa candi. Pendirian candi sendiri didirikan sekitar abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-9, seperti candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 masa kerajaan wangsa Sailendra  yaitu raja Samaratungga di sebuah lembah seluas ± 7,8 ha, beliau adalah pura dari raja Indra.

Bangunan Pertanian dan Bendungan
Yang dimaksut dengan bangunan pertanian ini adalah saluran air dan bendungan untuk kepentingan irigasi. Terdapat juga bangunan-bangunan air yang didirikan terutama bukan umtuk kepentingan non-pertanian. Pada era Mataram bangunan-banguunan irigasi bersekala besar tampaknya belum berkembang dan sebagian besar mungkin ditangani sendiri oleh rakyat di tingkat desa.

Bangunan Pemerintahan
Salat satu sarana yang tidak dapat ditiadakan umtuk , menyelenggrakan pemerintahan adalah bangunan komplek keratin beserta sarana penunjangnya. Bahan utama bangunan keratin adalah bukan batu, melainkan kayu. Seberapa besar dimensinya tidak diperoleh keterangan lebih banyak. Istana raja dan keluarganya tentu saja bukan satu-satunya komplek pemukiman yang ada di pusat ibukota. Tempat para hunian para penjabat tinggi lain tentunya didirikan di wilayah ibukota juga.

2.      Pembiayaan Pegawai Kerajaan
Ditinjau dari sudut pembagian kerja secara ekonomi, pegawai pemerintahan adalah kelompokkonsumen. Mereka tidakhidup terutama didasrakan atas aktivitasnya yang langsung dalam perolehan sumber pangan, tetapi aatas pelayanan jasa yang hanya efektif bila kebutuhan dasarnya dipenuhi oleh para produsen, yakni petani atau pengrajin.
Mereka ini tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi sekali-sekali mereka mendapat hasil bumi dan hasil-hasil lainnya. Dibawahnya lagi terdapat 300 penjabat sipil. Masih ada lagi 1000 pegawai rendahan yang mengurus benteng-benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, lumbung-lumbung padi dan para prajurit.
Menurut prasasti dari  abad ke-9 hingga abad ke-15 memberikan keterangan bahwa jumlah penjabat tinggi di tingkat kerajaan cenderung meningkat dari zaman ke zaman. Bersamaan dengan itu muncul pula sekelompokpegawai rendahan yang tampaknya juga bekerja untuk kepentingan keraton, yakni yang dikenal dengan sebutan mangilala drawya haji. Di antara kelompok ini yang tampaknya ditanggung oleh raja atau kerajaan adalah meraka masuk kategori watek I jro. Kelompok ini antara lain, memilikipekerjaan yang berhubungan dengan fungsi ketentaraan, misalnya adalah mamanah (ahli mempergunakan panah), magalah (ahli tombak/tongkat panjang), magandi (ahli kapak), mailman (ahli gajah atau pasukan berkendaraan gajah),makuda (ahli kuda atau pasukan berkuda), pakarapan (ahli sapi pacu), undhagi lancang (ahli pembuat perahu dari kayu).


2.4  Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
A.    Mataram Hindu
Kompleks Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800 m. Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa.




1.      Candi Gatutkaca

Candi Gatotkaca adalah salah satu candi Hindu yang berada di Dataran Tinggi Dieng, di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini terletak di sebelah barat Kompleks Percandian Arjuna, di tepi jalan ke arah Candi Bima, di seberang Museum Dieng Kailasa. Nama Gatotkaca sendiri diberikan oleh penduduk dengan mengambil nama tokoh wayang dari cerita Mahabarata.

2.      Candi Bima

Berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, candi ini terletak paling selatan di kompleks Percandian Dieng. Pintu masuk berada di sisi timur. Candi ini cukup unik dibanding dengan candi-candi lain, baik di Dieng maupun di Indonesia pada umumnya, karena kemiripan arsitekturnya dengan beberapa candi di India. Bagian atapnya mirip dengan shikara dan berbentuk seperti mangkuk yang ditangkupkan. Pada bagian atap terdapat relung dengan relief kepala yang disebut dengan kudu.

3.      Candi Dwarawati

Bentuk Candi Dwarawati mirip dengan Candi Gatutkaca, yaitu berdenah dasar segi empat dengan penampil di keempat sisinya. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 50 cm. Tangga dan pintu masuk, yang terletak di sisi barat, saat ini dalam keadaan polos tanpa pahatan.

4.      Candi Arjuna

Candi ini mirip dengan candi-candi di komples Gedong Sanga. Berdenah dasar persegi dengan luas sekitar ukuran sekitar 4 m2. Tubuh candi berdiri diatas batur setinggi sekitar 1 m. Di sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk ke ruangan kecil dalam tubuh candi. Pintu candi dilengkapi dengan semacam bilik penampil yang menjorok keluar sekitar 1 m dari tubuh candi. Di atas ambang pintu dihiasi dengan pahatan Kalamakara

5.      Candi Semar
Candi ini letaknya berhadapan dengan Candi Arjuna. Denah dasarnya berbentuk persegi empat membujur arah utara-selatan. Batur candi setinggi sekitar 50 cm, polos tanpa hiasan. Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di sisi timur. Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi bingkai dengan hiasan pola kertas tempel dan kepala naga di pangkalnya. Di atas ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang bawah.

6.      Candi Puntadewa

Ukuran Candi Puntadewa tidak terlalu besar, namun candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas batur bersusun setinggi sekitar 2,5 m. Tangga menuju pintu masuk ke dalam ruang dalam tubuh candi dilengkapi pipi candi dan dibuat bersusun dua, sesuai dengan batur candi. Atap candi mirip dengan atap Candi Sembadra, yaitu berbentuk kubus besar. Puncak atap juga sudah hancur, sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung kecil seperti tempat menaruh arca. Pintu dilengkapi dengan bilik penampil dan diberi bingkai yang berhiaskan motif kertas tempel.

7.      Candi Sembrada
Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan sisi selatan, timur dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar, membentuk relung seperti bilik penampil. Pintu masuk terletak di sisi barat dan, dilengkapi dengan bilik penampil. Adanya bilik penampil di sisi barat dan relung di ketiga sisi lainnya membuat bentuk tubuh candi tampak seperti poligon. Di halaman terdapat batu yang ditata sebagai jalan setapak menuju pintu.

8.      Candi Srikandi

Candi ini terletak di utara Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat tangga dengan bilik penampil. Pada dinding utara terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu, pada dinding timur menggambarkan Syiwa dan pada dinding selatan menggambarkan Brahma. Sebagian besar pahatan tersebut sudah rusak. Atap candi sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya.

9.      Candi Gedong Songo

Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi. Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi). Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C).

B.     Mataram Budha
1.      Candi Sari

Candi Sari adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Sambi Sari, Candi Kalasan dan Candi Prambanan, yaitu di bagian sebelah timur laut dari kota Yogyakarta, dan tidak begitu jauh dari Bandara Adisucipto. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno dengan bentuk yang sangat indah. Pada bagian atas candi ini terdapat 9 buah stupa seperti yang nampak pada stupa di Candi Borobudur, dan tersusun dalam 3 deretan sejajar.
Bentuk bangunan candi serta ukiran relief yang ada pada dinding candi sangat mirip dengan relief di
Candi Plaosan. Beberapa ruangan bertingkat dua berada persis di bawah masing-masing stupa, dan diperkirakan dipakai untuk tempat meditasi bagi para pendeta Buddha (bhiksu) pada zaman dahulunya. Candi Sari pada masa lampau merupakan suatu Vihara Buddha, dan dipakai sebagai tempat belajar dan berguru bagi para bhiksu.

2.      Candi Mendut

Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengahini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur.Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

3.      Candi Sewu

Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Candi Sewu adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Prambanan. Meskipun aslinya terdapat 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribudalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.

4.      Candi Pawon

Letak Candi Pawon ini berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur, tepat berjarak 1750 meter dari Candi Borobudur ke arah timur dan 1150 m dari Candi Mendut ke arah barat. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli epigrafi J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal daribahasa Jawa awu yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Penduduk setempat juga menyebutkan Candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata bahasa Sanskerta vajra = yang berarti 'halilintar' dan anala yang berarti 'api'.

5.      Candi Borobudur

Candi Borobudur  terletak di desa Borobudur, Kec. Borobudur, Kab. Magelang , Propinsi Jawa Tengah, yang dimana candi tersebut di kelilingi oleh pegunungan Menoreh di sebelah selatan, gunung Merapi (2411 m) dan gunung Merbabu (3242 m)di sebelah timur, gunung Sumbing (2271 m) dan gunung Sindoro (3135 m) di sebelah Barat laut, serta sebelah timur terdapat dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo . Candi Borobudur termasuk kedalam tujuh keajaiban dunia. Di samping candi Borobudur juga  ada 2 candi  yaitu:  Candi Mendut, dan Candi Pawon  yang biasa ketiga candi tersebut dikenal dengan “Tri Tunggal Candi”
Candi borbudur  didirikan pada abad 8 masa kerajaan wangsa Sailendra  yaitu raja Samaratungga di sebuah lembah seluas ± 7,8 ha, beliau adalah pura dari raja Indra. Raja Indra memiliki 2 putra yaitu: Samaratungga, dan Putri Pramoda wardani.
Nama Borobudur terdapat beberapa penafsiran yaitu :
1.      Poerbatjaraka
Menurut beliau Borobudur tersusun dari dua kata yaitu “Bara” berarti “Biara” dengan demikian Borobudur “Biara Budur”. Namun demikian masih merupakan pertanyaan tentang kebenaran kata yang tesusun pada nama Borobudur.
2.      Drs. Soediman
Borobudur tersusun dari dua kata yaitu “Bara” dan “Budur”. Bara dalam bahasa Sanksekerta “Vihara” yang berarti komplek candi dan “Budur” dalam bahasa bali Beduhur yan memiliki di atas. Jadi Borobudur berarti asrama atau Vihara dan kelompok candi yan terletak di atas tanah yang tinggi atau bukit.

Arti atau makna Borobudur secara filosofis adalah merupakan lambang dari alam semesta dalam dunia Cosmos Borobudur memiliki tiga unsur ajaran Budha tentang alam semesta yang tersusun dari tiga unsur yaitu :
1.      Kamadhatu (unsur nafsu, atau hasrat)
Sama dengan alam bawah atau dunia hasrat dalam dunia ini manusia terikat pada hasrat bahkan di kusai oleh hasrat kemauan dan hawa nafsu, Relief – relief ini terdapat pada bagian kaki candi asli yang menggambarkan adegan – adegan Karmawibangga ialah yang melukiskan hukum sebab akibat.
2.      Rupadhatu (unsur wujud, rupa, dan bentuk)
Sama dengan alam semesta antara dunia rupa dalam hal manusia telah meninggalkan segala urusan keduniawian dan meninggalkan hasrat dan kemauan bagian ini terdapat pada lorong satu sampai lorong empat
3.      Arupadhatu (unsur tak berwujud, tak berupa, tak berbentuk)
Sama dengan alam atas atau dunia tanpa rupa yaitu tempat para dewa bagian ini terdapat pada teras bundar ingkat I, II, dan III beserta Stupa Induk.

C.     Mata Uang Kerajaan Mataram
Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Inilah bukti terawal sistem mata uang yang ada di pulau Jawa dan di Nusantara.
Terbuat dari emas atau disebut pula sebagai keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama dan mempunyai beberapa nominal satuan:
·         Masa (Ma), berat 2.40 gram – sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
·         Atak, berat 1.20 gram – sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
·         Kupang (Ku), berat 0.60 gram – sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).
Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf DevanagariTa”.
Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatic, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf DevanagariMa” (singkatan dari Masa) dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.

Secara umum  kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana.Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentuka, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi, seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta telurnya juga di perjual belikan.

No comments:

Post a Comment