Nuwa Menciptakan Manusia, di dalam Mitologi China
(Sumber/ Source: Collier, Irene Dea.2011.Chinese Mythology.Jakarta:Enslow Publisher Inc.)
(Rewritten by/ Diketik kembali oleh: Dimas Erda Widyamarta.2014. please follow blog/ silahkan ikuti blog: www.ithinkeducation.blogspot.com or www.ithinkeducation.wordpress.com)
Berbeda dengan Panku, sang
Pencipta alam semesta yang laki-laki, pencipta manusia adalah dewi Nuwa.
Nuwa disebutkan dengan jelas di beberapa naskah China kuno seperti A
Classic of History (Abad ke-8 SM), A Classic of Mountains and Seas (Abad
ke 3 SM), dan Questions of Heaven (Abad ke 4 SM).
Sebagai tambahan, banyak
gambar Nuwa ditemukan di patung perunggu dan lukisan China kuno. Seperti
dewa-dewa masa kuno yang lain, Nuwa berwujud setengah binatang dan
setengah dewa. Seringnya, Nuwa memiliki wajah dan lengan seperti manusia
namun bertubuh seperti ular atau naga. Ia bisa mengubah wujudnya
menjadi apa saja yang ia inginkan. Dalam literature China modern, Nurwa
lebih sering dilukiskan sebagai wanita yang cantik.
Hal ini menunjukkan bahwa
wanita di China tidak memiliki peranan social. Namun demikian, dalam
perannya sebagai ibu dan istri, wanita sangatlah kuat. Karena wanita
pada umumnya hidup lebih lama disbanding suaminya, mereka sering
memaksakan diri dan menjalankan rumah tangga setelah kematian
pasangannya. Begitu juga dalam hal politik, beberapa wanita (kaisar
wanita) menjadi sangat kuat setelah kematian suami mereka.
Meski sebagian besar dewa
adalah laki-laki, Nuwa adalah dewi yang sangat kuat dalam mitologi kuno.
Ia menciptakan umat manusia dan bertanggung jawab memperbaiki bumi.
Dunia adalah permata yang
berkilauan. Pohon pinus yang kuat member titik pada pegunungan, dan
pohon Willow melapisi aliran sungai. Apel, buah quince, dan bunga plum
yang penuh dan menjadi bunga hingga kemudian menjadi buah yang matang
dan masak. Burung berseliweran di langit biru, meninggalkan jejak hitam,
merah tua, dan bulu-bulu hijau yang berwarna-warni yang melayang
bersama angin. Gegat dan ikan berenang gembira di perairan. Hewan buas
seperti macan dan hewan yang lembut seperti kijang menjelajah dengan
penuh kebebasan melintasi bukit berbatu.
Nurwa, seorang dewi, tidak sengaja tersandung pada dunianya yang
bergetar ketika dalam perjalanannya. Bumi sedang bersenandung dengan
penuh semangat. Nuwa heran dengan makhluk menakjubkan yang sangat banyak
ini, kemanapun pun menatap, ia melihat makhluk yang lebih mengherankan
dari sebelumnya. Ia melihat tiap macam rambut dan sirip, bulu dan sisik,
tanduk, kuku dan sengat. Makhluk yang tertatih, merayap, dan melata di
atas bumi. Ada yang melompat, berlari dengan cepat, dan berputar dalam
laut. Bunga yang harum seperti melati, bunga bakung, dan narcissus,
membungkus seluruh dunia dalam kehangatannya dan wangi yang kuat.
Namun ketika ia menjelajahi
ceruk dan pecahan, Nuwa merasa aneh dan tidak puas dengan bumi yang
mulai ia kenal ini. Sang dewi melihat bumi sebagai sesuatu yang memikat.
Namun kosong. Nuwa merasa kesepian; ia duduk di pinggir sungai
merenung. Ia menatap bayangannya di air, dan tiba-tiba ia tahu apa yang
kurang: ia ingin bumi diisi dengan makhluk yang dapat berpikir dan
tertawa sepertinya.
Sungai di depannya tertulur
dan ombaknya menampar pinggiran sungai. Air hijau yang keruh
meninggalkan lingkaran tanah kuning yang kental di sekitar pinggiran
sungai. Nuwa merasakan tekstur yang licin itu dengan ujung jemarinya dan
mencetak sebuah bola dari tanah liat. Tanah dingin dan licin yang
disimpan oleh sungai sangatlah cocok untuk pekerjaannya, dan ia
menggulung tanah liat yang basah itu menjadi sebuah bonkea, memberinya
kepala, bahu, dada, dan tangan seperti dirinya. Untuk tubuh bagian bawah
boneka, ia ragu. Nuwa memutuskan memberinya sisik dan kuku seperti
cicak, atau sirip dan ekor seperti ikan. Kedua bentuk itu sangat
berguna, sejak sang dewi mengubah bentuk bagian bawah tubuhnya sendiri
secara bertahap agar bisa mengelilingi lautan dan surge dengan cepat.
Akhirnya, ia memutuskan untuk memberikan kaki untuk makhluk barunya
sehingga ia bisa berjalan di tanah dan mendayung di laut.
Dari berbagai corak tanah
kuning, Nuwa membuat boneka tinggi dan boneka pendek. Ia membuat boneka
kurus dan gemuk. Ia membuat boneka dengan rambut keriting dan rambut
lurus. Ia membuat boneka dengan mata yang sebulat dan selebar ceri,
beberapa yang lain dengan mata sepanjang dan sesipit sayap nyamuk. Ia
membuat beberapa boneka dengan mata gelap segelap langit tengah malam,
sedangkan yang lain begitu terang seperti madu cair. Masing makhluk
berbeda, sehingga sang dewa bisa mengenali ciptaannya. Kemudian, ketika
ia meniupkan nafas pada setiap bonekanya, bonekanya membuka matanya
untuk hidup, tertawa kecil, dan juga meloncat.
Nuwa sangat gembira dengan
hasil pekerjaan tangannya hingga ia ingin membuat lebih banyak lagi.
Tapi ia butuh cara yang lebih cepat. Di sepanjang pinggiran sungai,
alang-alang ramping melengkungkan batangnya yang anggun di atas air.
Nuwa menggulung lengan bajunya, memotong alang-alang itu, lalu
mencelupkannya ke dalam lumpur sungai seperti sebuah sendok. Dengan
lincah, ia mengibaskan pergelangan tangannya dan menjatuhkan gumpalan
lumpur di tanah. Ketika lumpur itu kering, ia meniupkan udara yang
sangat bayak pada tiap gumpalan, dan seketika gumpalan itu menjadi
makhluk yang bulat dan bisa tersenyum. Tawa ceria dari makhluk
ciptaannya mengisi benak sang dewi dengan kebahagiaan dan rasa bangga.
Namun Nuwa lelah. Meskipun ia sagat mencintai ciptaannya, ia sadar jika
ia tidak bisa mengawasi manusia setiap saat. Apa yang akan terjadi pada
makhluk ini jika mereka tumbuh menjadi tua dan mati? Nuwa tidak ingin
memperbaiki lagi, namun ia juga tidak ingin mengulangi membuat manusia
yang baru. Ia berpikir dan berpikir. Bagaimana makhluk ini bisa
berkembangbiak tanpanya?
Dengan sebuah simpul dan
colekan, Nuwa menjadikan beberapa tanah liat itu laki-laki dan
perempuan, kemudian mengangkat makhluk yang tergelincir dan jatuh ke
lumpur. Di tengah keributan, ia mulai memberikan perintah yang paling
pentin. Ketika Nuwa bicara, keributan berhenti dan berubah menjadi
keheningan. Manusia mendengarkan dengan khidmat pada kata Nuwa. Nuwa
berbcara tentang pentingnya pernikahan dan kewajiban pasangan pada
masing-masing pasangannya, nuwa mengajari mereka cara membuat anak dan
menjaganya. Ia berharap mereka bisa hidup lama dan bahagia di bumi.
Ketika sang dewi pergi, ia menunjukkan harapannya yang sangat agar
mereka bisa membuat manusia baru dan hidup bahagia tanpanya. Kemudian
Nuwa naik ke langit, duduk di kereta yang berderap yang ditarik enam
naga bersayap.
Hingga hari ini, manusia melanjutkan untuk menikah dan memiliki anak-anak yang mencerahkan dunia den
No comments:
Post a Comment