Makam dari Sawunggaling terletak di belakang masjid Al-Qubro jl.
Lidah Wetan Gang III. Gang ini dinamakan dengan nama Sawunggaling, jadi jl.
Lidah Wetan III Sawunggaling, jadi keti orang mencari dimana letak makam dari
sawunggaling tidak merasa kesulitan, sebab dekat jalan besar dan berjarak
sekitar 200 meteran masuk kedalam gang. Makam inin dikeramatkan oleh masyarakat
lidah dan sekitarnya. Setiap hari Jumat legi dan Kamis kliwon banyak didatangi
pengunjung untuk “ngalap berkah” disana. Disana setiap setaun sekali diadakan
haul, yang waktu pelaksanaan nya bertepatan dengan bulan Ruwah tanggal 10,
kondisi dari makam sudah memakai tembok dan berkeramik.
Didalam lokasi pemakaman terdapat lima makam, Raden Ayu Pandansari, Sawunggaling, Raden Ayu Dewi Sangkrah(ibu dari Sawunggaling), mbah buyut Suruh atau Wongsodrono (kakek dari Sawunggaling) yang menjadi demang di Lidah Danawati dan Karyo Sentono abdi dari Sawunggaling. Didepan lokasi pekuburan terdapat tiga buah lukisan yang mengggambarkan ayam jago, tidak diketahui siapa yang melukis dan yang memberikan nya disana siapa, disamping dari kompleks pekuburan ada ruang yang luas buat para tamu dan para pendatang yang mau bermalam.
Didalam lokasi pemakaman terdapat lima makam, Raden Ayu Pandansari, Sawunggaling, Raden Ayu Dewi Sangkrah(ibu dari Sawunggaling), mbah buyut Suruh atau Wongsodrono (kakek dari Sawunggaling) yang menjadi demang di Lidah Danawati dan Karyo Sentono abdi dari Sawunggaling. Didepan lokasi pekuburan terdapat tiga buah lukisan yang mengggambarkan ayam jago, tidak diketahui siapa yang melukis dan yang memberikan nya disana siapa, disamping dari kompleks pekuburan ada ruang yang luas buat para tamu dan para pendatang yang mau bermalam.
1
Sejarah Sawunggaling Tokoh Legendaris Surabaya
Tempo Dulu
Kehebatan Adipati
Jayeng Rono dalam kisah masa lalu Surabaya, juga sering dikaitkan dengan “tokoh
legendaris” Surabaya lainnya, di antaranya: Sawunggaling. Berbagai versi
tentang keberadaan dan ketokohan Sawunggaling ini. Dari cerita tutur mulut ke
mulut dan turun terumurun yang kemudian menjadi dongeng, serta disajikan dalam
“Babad Surabaya”. Ada tiga versi tentang Sawunggaling yang diperoleh
penulis. Versi masyarakat Wiyung dan versi warga Lidah Kulon, serta versi semi
sejarah.
A.Versi
Wiyung
Masyarakat
daerah Wiyung sangat meyakini, bahwa Sawunggaling adalah putera asli daerah
itu. Dikisahkan, nama Sawunggaling itu berasal dari dua kata, “Sawang”
dan “Galing”. Sawang artinya lihat dan Galing berasal dari kata “aling”
atau terhalang. Jadi artinya: penglihatan yang terhalang. Adipati Jayeng Rono
hidup bahagia dengan anak isterinya di kepatihan. Sebagai kepala pemerintahan
ia sering melakukan perjalanan kelililing. Sama dengan pejabat zaman sekarang,
di hari-hari tertentu dimanfaatkan untuk santai dan menyalurkan hobi. Zaman
dulu belum ada golf maupun tenis. Nah, hobi dan kegemaran Adipati Jayeng Rono
adalah pergi berburu ke hutan. Dengan kendaraan istimewa, kuda. Salah satu
hutan, tempat sang adipati berburu adalah rawa-rawa dan hutan Wiyung di sebelah
barat Surabaya. Sekarang Wiyung sudah menjadi salah satu kecamatan di Kota
Surabaya.
Ternyata
saat pergi berburu dengan menunggang kuda itu, setiap akan memasuki hutan mata
sang adipati selalu “singgah” di sebuah gubuk. Di dalam gubuk itu tinggal
keluarga yang mempunyai seorang gadis cantik. Lama kelamaan perburuan sang adipati,
tidak lagi tertuju kepada binatang-binatang dalam hutan. Tetapi, justru
kemudian menancapkan panah asmaranya kepada si gadis cantik dari Wiyung itu. Dalam
kisah ini, nama sang gadis dianggap tidak penting. Yang jelas, gadis ini
merupakan kembang desa dan primadona di kampung pinggir hutan itu.
Dari
kunjungan tidak rutin itu terjadilah hubungan rahasia antara sang adipati
dengan gadis Wiyung ini. Hanya para pengawal dan mungkin sebagian warga desa
yang mengetahui permainan asmara ke dua insan ini. Si ayah dari putri desa
inipun tidak menghalangi, anaknya dipacari orang kaya. Dan mungkin pada mulanya
si ayahpun tidak tahu, kalau pria itu adalah Adipati Jayeng Rono.
“Perselingkuhan”
sang pejabat ini memang sangat rahasia, sehingga sama sekali tidak bocor di
keraton. Keintiman sang adipati dengan gadis Wiyung itu akhirnya mendapat
restu ayah si gadis. Jadilah gadis desa itu “isteri simpanan” sang adipati.
Dari perkawinan itu lahir seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama
Sawunggaling. Demi menjaga keutuhan keluarga keraton, Adipati Jayeng Rono
melarang Sawunggaling dan keluarganya ke wilayah keraton. Nasihat sang ayah ini
benar-benar dipatuhi Sawunggaling, maupun ibunya. Sawunggaling tumbuh menjadi
remaja dan dewasa. Salah satu kegemaran Sawunggaling adalah memelihara ayam
jago dan sering mengikuti adu ayam di kampungnya.
Pemerintahan
Adipati Jayeng Rono terus mengalami kemajuan. Suatu hari untuk menetapkan
seorang Temenggung, adipati kesulitan. Adipati Jayeng Rono yang juga punya hobi
sabung ayam menyelenggarakan pertandingan sabung ayam terbuka. Hadiahnya,
kepada pemilik ayam jago yang menang dan dapat mengalahkan ayam jago sang
adipati, akan dinobatkan sebagai Tumenggung. Sawunggaling yang mendengar ada
pertandingan sabung ayam itu, minta izin kepada ibunya untuk ikut pertandingan
sabung ayam di alun-alun keraton Surabaya. Ternyata dalam pertarungan itu, ayam
jago Sawunggaling berhasil mengalahkan ayam jago Jayeng Rono. Sesuai dengan
janji sang adipati, maka kemudian dinobatkanlah Sawunggaling menjadi Tumenggung
di keraton Surabaya.
Setelah
dinobatkan menjadi Tumenggung, Sawunggaling bersama ibunya tinggal di
ketemang-gungan, tidak jauh dari keraton adipati. Namun, bagai-mana kemudian
peran temenggung dalam pemerintahan Adipati Jayeng Rono tidak jelas. Bahkan,
bagaimana kehidupan dan kelanjutan kisah Sawunggaling, tidak jelas juga.
Begitulah
kisah versi masyarakat Wiyung. Cerita versi ini juga berkembang di kampung
Kranggan, Surabaya lama. Di sini disebutkan, Kranggan ini adalah kampung para
Ronggo. Jadi Kranggan itu berasal kata Ke-Ranggaan, yang terucap menjadi
Kranggan. Rangga artinya keluarga keraton.
B.
Versi Lidah Wetan
Kisah
Sawunggaling di desa Lidah Wetan, lain lagi. Keberadaan Sawunggaling dibuktikan
dengan adanya komplek makam yang disebut Makam Keluarga Sawunggaling. Letaknya
di desa (sekarang kelurahan) Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya
Barat.
Beberapa
kali, saya ikut rombongan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro ke Lidah
Wetan antara tahun 1996 hingga 2001. Kami melihat dari dekat komplek makam
keluarga Sawunggaling. Atas prakarsa Cak Narto (panggilan akrab Sunarto)
komplek makam itu dipugar. Saya bersama Cak Arifin Perdana dan Cak Eddy Sasmita
saat itu memang sedang menyusun buku kedua tentang Cak Narto.
Makam
keluarga Sawunggaling di Lidah Wetan itu hingga sekarang terawat dengan baik.
Di komplek pemakaman itu terdapat lima makam, yakni:
Pertama:
makam kakeknya bernama Wangsadrana alias Raden Karyosentono.
Kedua:
makam neneknya Mbah Buyut Suruh.
Ketiga:
makam ibunya Raden Ayu Dewi Sangkrah.
Keempat:
makam Raden Sawunggaling
Kelima:
makam Raden Ayu Pandansari.
Lokasi
tepatnya komplek makam Sawunggaling adalah di belakang masjid Al-Qubro
Jalan Lidah Wetan Gang III Surabaya. Nah, karena di gang III ini terletak
komplek makam Sawunggaling, maka Jalan Lidah Wetan III disebut juga Jalan Lidah
Wetan Sawunggaling.
Kisah
tentang Pandansari ini beragam. Ada yang mengatakan ia adalah peri atau
makhluk halus jadi-jadian yang selalu menyertai kemanapun Sawunggaling
bepergian. Konon ia adalah lelembut, puteri kesayangan Raja Jin yang
menguasai hutan di wilayah Lidah, Wiyung dan sekitarnya.
Ada
pula yang menyatakan wanita cantik itu adalah isteri Sawunggaling. Namun masyarakat
Lidah sebagian meyakini, Sawunggaling tidak pernah kawin dan membujang sampai
wafat. Sahibulhikayat, ketika seorang puteri keraton Jogjakarta bernama
Raden Rara Blengoh datang ke Surabaya, ia tersesat ke desa Lidah. Di desa itu,
ia ditampung oleh mbah Buyut Suruh yang tinggal bersama suaminya, Kepala Desa
Lidah bernama Wangsadrana bergelar Raden Karyosentono. Rara Blengoh yang cantik
itu diangkat sebagai anaknya sendiri.
Konon
suatu hari, dalam perjalanan dinasnya, Adipati Jayeng Rono tertegun saat berada
di Desa Lidah. Sang Adipati tidak menyangka di desa itu ada gadis cantik
berdarah “biru”. Setelah beberapa kali melakukan lawatan ke desa di
pinggiran Surabaya itu, Adipati Jayeng Rono selalu menyempatkan singgah di
rumah keluarga mbah Buyut Suruh dan Raden Karyosentono. Tujuannya tidak lain
yaitu “mengapeli” anak angkat keluarga ini yang bernama Raden Rara Blengoh.
Gelora
asmara benar-benar sudah tidak terbendung lagi. Tanpa banyak pertimbangan, pada
suatu hari mengutus asisten khusus Adipati Jayeng Rono bernama Arya Suradireja
untuk melamar Raden Rara Blengoh menjadi isterinya melalui Raden Karyosentono.
Lamaran itu diterima oleh Raden Karyosentono setelah menyampaikan langsung
kepada Rara Blengoh.
Setelah
berunding ditetapkan waktu pernikahan. Acara perkawinan ini tidak besar-besar
dan berlangsung agak “rahasia” tanpa sepengetahuan keluarga keraton itu.
Setelah resmi menjadi isteri Adipati Jayeng Rono, Raden Rara Blengoh berganti
nama dengan mendapat gelar menjadi Raden Ayu Dewi Sangkrah. Nah, dari
perkawinan itu, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Jaka Berek yang
kemudian mendapat nama atau gelar Raden Mas Sawunggaling.
Kepada
Dewi Sangkrah, Adipapati Jayeng Rono berpesan agar menjaga dan mengasuh anaknya
sampai dewasa. Demi menjaga kerukunan keluarga keraton, RA Dewi Sangkrah
bersama keluarganya tetap tinggal di desa. Pesan lainnya, kalau nanti
Sawunggaling sudah dewasa, beritahu bahwa ayahnya adalah Jayeng Rono dan
menemuinya di keraton Surabaya. Sebagai tanda, Jayeng Rono meninggalkan sehelai
selendang yang disebut “cinde” kepada Dewi Sangkrah. Dengan bukti
selendang atau “cinde” itu nantinya Sawunggaling menemui ayahnya di
keraton.
Ketika
Sawungggaling memasuki usia remaja, Dewi Sangkrah memberitahu anaknya, bahwa ia
adalah anak Raden Adipati Jayeng Rono. Sesuai pesan ayahnya, apabila kelak
sudah dewasa, agar menemui ayahnya di keraton Surabaya. Namun untuk menuju
keraton tidak mudah, sebab waktu itu wilayah sekitar Lidah masih hutan
belantara dan rawa-rawa. Ada ungkapan di kala itu: “jalmo moro, jalmo mati”,
artinya: siapa yang berani masuk hutan, akan menemui ajal atau mati. Dengan
tekad yang bulat, Sawunggaling ditemani kakeknya Raden Karyosentono berangkat
menuju keraton melintasi semak, rawa-rawa dan hutan belantara. Waktu itu,
daerah Lidah, Wiyung, Lakarsantri dan Tandes masih merupakan rawa dan hutan
lebat. Nah, saat memasuki hutan itu banyak gangguan. Di samping gangguan para
punggawa, juga gangguan makhluk halus.
Bahkan,
upaya untuk menggagalkan rencana Sawunggaling menemui ayah kandungnya di
keraton Surabaya, juga dilakukan oleh dua adik tirinya, Sawungrono dan
Sawungsari. Konon, saat Sawunggaling masih anak-anak dan tidak pernah
lagi didatangi Adipati Jayeng Rono, maka Dewi Sangkrah kawin dengan laki-laki
lain dan melahirkan dua anak, bernama Sawungrono dan Sawungsari Ke dua adik
tirinya ini merasa iri terhadap Sawunggaling yang dikatakan ibunya masih
berdarah biru itu.
Akhirnya
berkat kesungguhan Sawunggaling bersama kakeknya Raden Karyosentono, mereka
berhasil menerobos hutan dan rawa-rawa, hingga akhirnya sampai di keraton
Surabaya. Dari pinggir hutan menuju ke keraton Surabaya, jalannya masih tanah,
rawa-rawa dan melintasi berbagai perkampungan. Di antaranya daerah Tandes,
Simo, Kupang, Pandegiling, Surabayan dan Kaliasin. Jalan lain, menyusuri jalan
ke Wiyung, sisi Kali Surabaya dan Kalimas dari Gunungsari, Wonokromo, Gubeng,
Keputran, Ketabang hingga Genteng.
Konon
di balik tekad bulat dan kesungguhan Sawunggaling itu ada hal gaib yang
menyertai. Peran magis dari Raden Ayu Pandansari, puteri cantik yang dipercaya
sebagai keturunanlelembut tak bisa diabaikan. Perempuan jadi-jadian
ini kabarnya adalah anak raja jin penguasa hutan Wiyung. Keraton Adipati
Surabaya lokasinya diperkirakan di gedung Balai Budaya Cak Durasim Jalan
Gentengkali Surabaya (sekarang). Di sanalah Sawunggaling bersama Raden
Karyosentono diterima Raden Adipati Jayeng Rono. Sawunggaling memperkenalkan
diri dengan panggilan sehari-harinya, yakni: Joko Berek.
Setelah
Joko Berek memperlihatkan selendang “wasiat” titipan ibunya, Adipati Jayeng
Rono sertamerta merangkul Joko Berek yang tiada lain adalah anak kandungnya
sendiri.
Sejak
saat itu, Sawunggaling diberi tugas menjadi pendamping adipati sebagai
Tumenggung dengan gelar Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.
Nah, mana di antara dongeng dan kisah Sawunggaling itu yang “sahih”,
tidak ada yang berani memberi kepastian. Sebab, semua itu didasari pada konon
dan konon. Kisah di atas, penulis dapat dari beberapa sumber warga Lidah Wetan
yang saling melengkapi.
C.
Angkat Budaya
Memang
kisah di Lidah Wetan ini hanyalah legenda, cerita dari orang-orang tua kepada
anak cucunya. Dari tutur tinular itu dikisahkan, tentang seorang tumenggung
yang sakti bernama Jayengrono. Dia tidak mau bersekutu dan mengikuti perintah
kolonial Belanda yang selalu menyengsarakan rakyat kecil.
Melihat
situasi Belanda mulai bersimaharajalela di tanah Jawa, beliau prihatin.
Banyak bupati dan tumenggung yang bersekutu dengan Belanda. Beliau sadar kalau
Belanda semakin kuat dan akan menguasai tanah Jawa dan tentunya Surabaya. Atas
kondisi itu, Tumenggung Jayengrono bersemedi di hutan rawa Wiyung guna
mendapatkan kesaktian lebih dan minta petunjuk untuk melawan Belanda. Karena
ketulusan dan kesungguhannya, saat bersemedi beliau berubah wujud menjadi pohon
bambu atau carang. Adalah seorang puteri keturunan darah biru yang
tinggal di Lidah Donowati bernama Raden Ayu Dewi Sangkrah. Ke sehariannya dia
selalu mencuci dan mandi di rawa Wiyung. Saat mandi, tanpa sengaja RA Dewi
Sangkrah selalu meletakkan pakaiannya di pohon bambu yang tidak lain adalah
jelmaan Tumenggung Jayengrono.
Tumenggung
Jayengrono berusaha bertahan dan menganggap itu sebagai ujian atau godaan dalam
semedinya. Namun, suatu ketika Tumenggung Jayengrono tergoda kecantikan RA Dewi
Sangkrah. Semedi sang tumenggung gugur. Beliau merasa gagal. Dia sangat
menyesal atas gugurnya semedi yang dilakukan. Tiba-tiba ia mendapat wangsit.
Dia tidak gagal mendapat kesaktian yang dia harapkan. Kesaktian itu akan
dianugerahkan kepada anak yang kemudian dikandung oleh wanita yang meletakkan
pakaiannya di pohon bambu atau carang yang merupakan jelmaan dirinya. Kelak
dialah yang akan melawan kolonial Belanda. Selanjutnya bayi yang lahir dari
hubungan Tumenggung Jayengrono dengan RA Dewi Sangkrah itu diberi nama Joko
Berek.
Pada
mulanya Joko Berek tumbuh sebagai pemuda desa yang bodoh dan bicaranya tidak
jelas atau pelo. Sejalan berputarnya waktu dan peristiwa yang
dialami, Joko Berek tumbuh sebagai satria gagah berani yang mempunyai kesaktian
dan keistimewaan lebih. Dia mampu babat alas Nambas Kelingan
dan mendirikan kota Surabaya. Dia juga membuat Belanda berang karena membunuh
banyak pasukan Belanda, sementara Belanda tidak mampu menangkapnya.
Sampai
sekarang belum ada data sejarah yang mengungkap tertangkapnya Joko Berek oleh
Belanda. Karena kesaktian dan keistimewaannya Joko Berek mendapat gelar Raden
Sawunggaling. Joko Berek ketika memasuki masa remaja sering diejek
kawan-kawannya tidak punya bapak. Tidak kuat dengan ejekan itu Joko Berek
mendesak ibunya untuk menunjukkan siapa bapaknya. Karena sudah dianggap dewasa,
Raden Ayu Dewi Sangkrah menceritakan riwayat dirinya dan memberitahu bahwa
bapaknya adalah Jayengrono, Tumenggung Surabaya.
Dengan
bekal cinde (selendang) yang diberikan Jayengrono dan disimpan
Ayu Dewi Sangkrah, sang ibu melepas Joko Berek mencari bapaknya ke Surabaya.
Joko Berek juga ditemani ayam kesayangannya yang diberi nama Bagong. Sesampai
di kabupaten atau ketemanggungan, meski mengaku anak Jayengrono, Joko Berek
tetap dilarang masuk oleh penjaga. Pada saat yang bersamaan datanglah
Sawungrono dan Sawungsari. Satria ini adalah putera Jayengrono yang merupakan
adik tiri Joko Berek, Mereka adalah hasil perkawinan dengan seorang puteri dari
Jawa Tengah yang sama-sama penggemar sabung ayam. Mereka marah atas pengakuan
Joko Berek. Mereka berusaha menghalangi Joko Berek agar tidak bertemu dengan
ayahandanya. Setelah melihat Joko Berek membawa ayam, timbul niatan Sawungrono
dan Sawungsari menggunakan sabung ayam sebagai cara untuk menyuruh Joko Berek
pulang. Mereka mengajak Joko Berek sabung ayam. Kalau menang, Joko Berek boleh
masuk ke ketemanggungan, tetapi jika kalah Joko Berek harus pulang ke Lidah
Wetan.
Ternyata
si Bagong, ayam Joko Berek menang. Untuk menghalangi Joko Berek masuk, maka
ayam milik Joko Berek dibawa lari. Joko Berek marah dan mengejar Sawungrono dan
Sawungsari tanpa mempedulikan siapa yang menghalanginya. Merasa takut dikejar
Joko Berek, Sawungrono dan Sawungsari minta perlindungan kepada ayahnya,
Tumenggung Jayengrono.
Sesampai
di ketemanggungan, Joko Berek menyampaikan tujuannya meminta kembali ayamnya
dan dia juga mengatakan akan mencari bapaknya yang bernama Jayengrono. Sebagai
bukti ia memperlihatkan cinde yang diberikan ibunya. Mendengar
itu, Jayengrono tidak percaya begitu saja. Untuk membuktikannya Joko Berek diberi
tugas merawat 144 ekor kuda. Selama merawat kuda-kuda itu tidak boleh ada
satupun bulu kuda yang rontok. Jika sampai rontok, maka Joko Berek dianggap
mengaku-aku saja sebagai anak Jayengrono. Ternyata diam-diam Jayengrono merasa
yakin, Joko Berek memang anaknya.
Tidak
hanya itu, Ketika Jayengrono dianggap tidak mau bersekutu dengan Belanda, maka
Belanda berusaha melengserkan dia dari jabatan Tumenggung Surabaya. Bekerjasama
dengan sekutunya Surohadiningrat yang menjabat adipati di Jawa Tengah, Belanda
mengadakan lomba sodor. Barangsiapa yang mampu menyodor
cinde puspita, maka ia akan diangkat menjadi Tumenggung Surabaya. Sebagai
penyelenggara ditunjuk Cakraningrat adipati di Madura yang merupakan
sesepuh Jawi Wetan (Jawa Timur). Adipati Cakraningrat yang
bersahabat dengan Tumenggung Jayengrono menyetujui siasat Belanda itu, karena
yakin Sawungrono dan Sawungsari mampu memenangkan lomba tersebut, sehingga
pimpinan ketemanggungan Surabaya tetap dipegang keluarga Jayengrono. Lomba sodor diselenggarakan
dengan syarat pesertanya hanya para satria dan bangsawan.
Setelah
beberapa hari lomba dilaksanakan, tidak seorangpun satria dan bangsawan yang
mampu menyodor cinde puspita, termasuk Sawungrono dan Sawungsari.
Tumenggung Jayengrono mulai gelisah. Melihat kenyataan ini, Joko Berek ingin
menolong bapaknya sebagai darmabakti seorang anak kepada orangtuanya. Akhirnya
Joko Berek menghadap Cakraningrat dan menyampaikan keinginannya mengikuti lomba
sodor. Cakraningrat yang tidak tahu jika Joko Berek putera Jayengrono marah dan
menolak keikutsertaan Joko Berek. Joko Berek ngotot. Berita kengototan
Joko Berek ini didengar Jayengrono. Kepada Cakraningrat Jayengrono
berterusterang, mengatakan bahwa Joko Berek memang anak kandungnya. Kemudian
Joko Berek diperkenankan ikut lomba. Sebelum melaksanakan lomba, Joko Berek
menjalani ritual doa dengan menyebut beberapa nama leluhur. Ungkapan ini
dikenal dengan “Suluk Joko Berek”. Alhasil, Joko Berek mampu menyodor
cinde puspita.
Melihat
keberhasilan Joko Berek, Belanda dan Sosrohadiningrat bersama Sawungrono
berusaha menghalangi Joko Berek sebagai Tumenggung Surabaya. Mereka membuat
syarat tambahan kepada Joko Berek. Syarat itu adalah membabatalas Nambas
Kelingan yakni hutan yang terkenal angker. Sebab, selama ini tidak pernah ada
orang yang selamat keluar dari hutan tersebut. Joko Berek yang lugu menyetujui
syarat tambahan itu. Berangkatlah Joko Berek ke alas Nambas Kelingan. Dengan
berbekal tombak Beliring Lanang dia berusaha membabat hutan
itu dan meratakannya dengan tanah. Karena luasnya alas Nambas Kelingan,
ditambah banyaknya dari jin-jin penunggu hutan itu, maka upaya Joko Berek tak
kunjung selesai. Tiba-tiba muncul seorang peri bernama Ayu Pandansari. Karena
tertarik dengan Joko Berek, Ayu Pandansari menawarkan bantuan membabat alas
Nambas Kelingan itu. Jika berhasil Ayu Pandansari mengajukan syarat harus
mengawininya. Joko Berek menolak tawaran itu dengan alasan mereka hidup di alam
yang berbeda, yakni alam gaib dan alam nyata.
Joko
Berek tidak mempedulikan Ayu Pandansari, namun pekerjaannya membabat hutan itu
tak kunjung selesai. Di tengah perasaan keputusasaan itu, Joko Berek akhirnya
mau dibantu Ayu Pandansari dengan janji akan mengawininya di alam nyata.
Merekapun membuat kesepakatan dan saling menyetujui. Ayu Pandansari yang
merupakan peri sakti itu masuk dan menyatu ke dalam tombak Beliring
Lanangyang dimiliki Joko Berek. Dalam waktu sekejap, alas Nambas Kelingan
rata dengan tanah.
Mendengar
keberhasilan Joko Berek menjalani syarat tambahan itu, Cakraningrat merasa gembir,
karena kursi ketemanggungan tidak lepas dari keluarga Jayengrono. Dia
menyiapkan penyambutan untuk Joko Berek sebagai Tumenggung Surabaya.
Cakraningrat juga mempersembahkan kepada Joko Berek gelar bangsawan Raden
Sawunggaling. Dalam upacara penyambutan itu, diam-diam pejabat Belanda,
Sosrohadiningrat dan Sawungrono menyiapkan siasat licik dengan memasukkan racun
ke dalam minuman Raden Sawunggaling. Tetapi karena Cakraningrat mengetahuinya,
sebelum diminum Raden Sawunggaling, Cakraningrat menampiknya sehingga
gelas tersebut terjatuh. raden Sawunggaling marah dan mengejar Cakraningrat
yang dianggapnya berusaha menggagalkan penobatannya sebagai Tumenggung
Surabaya. Setelah dijelaskan oleh Cakraningrat bahwa minuman dalam gelas itu
mengandung racun, maka Sawunggaling berbalik mengejar pejabat Belanda dan
Sosrohadiningrat. Selanjutnya dikisahkan Sawunggaling membunuh Belanda yang ada
di Surabaya dan mengejar pejabat Belanda beserta Sosrohadiningrat sampai ke
Jawa Tengah.
Di
akhir cerita, Sawunggaling menyampaikan, dia akan selalu memusuhi Belanda dalam
generasi yang berbeda. Dengan semangat keberanian, kepahlawanan dan kejujuran,
akan selalu tumbuh generasi yang akan datang. Tokoh ini mampu muncul dalam abad
yang berbeda dalam melawan Belanda. Padahal usia manusia tidak mungkin mencapai
dua abad. “Bisakah misteri ini terungkap?” Karena ini sekedar legenda, masih
perlu adanya penelusuran berdasarkan data sejarah yang akurat.
Dengan
menyelenggarakan gelar doa bersama mengenang keluarga besar Joko Berek alias Raden
Sawunggaling ini, kami berharap terka-teki tersebut terkuak kebenarannya.
Paling tidak kita sudah mengakui bahwa di Lidah Donowati — sekarang disebut
Lidah Wetan — pernah lahir seorang pahlawan di era atau masanya yang sangat
gigih dan berani melawan penjajah Belanda.
D.
Versi Semi Sejarah
Ada
lagi kisah Sawunggaling yang sudah mirip dengan cerita sesungguhnya, semi
sejarah. Di sini diungkapkan tahun dan beberapa nama yang terdapat dalam
buku-buku sejarah.
Suatu
peristiwa diceritakan terjadi pertengahan tahun 1686. Rombongan Adipati
Surabaya Raden Mas Jayengrana (dibaca: Jayengrono) yang menunggang kuda singgah
di wilayah pinggiran Kadipaten Surabaya, yakni di Desa Lidah Wetan. Waktu
itu kawasan ini masih berupa hutan dan daerah rawa-rawa yang tidak begitu jauh
dengan aliran sungai Kali Brantas. Saat tiba di desa Lidah Wetan itu, sang
adipati berhenti di depan rumah Kepala Desa Lidah Wetan, Wangsadrana. Raden Mas
Jayengrana yang didampingi penasehat kadipaten Surabaya Arya Suradireja masuk
dan beristirahat di rumah kepala desa itu. Sedangkan pengawalnya tetap berada
di luar bersama warga desa sembari memberi makan kuda-kuda yang
sebelumnya mereka tunggangi.
Saat
jamuan makan siang, Adipati Jayengrana dan Arya Suradireja dilayani anak semata
wayang kepala desa bernama Rara Blengoh yang berusia 19 tahun. Melihat perawan
desa yang diperkenalkan Kades Wangsadrana sebagai anaknya, membuat hati
Jayengrana bergelora. Kebekuan hati selama empat tahun menduda ditinggal
isterinya yang meninggal dunia benar-benar mencair, bahkan memanas. Paman Arya
Suradireja dan Kades Wangsadrana yang melihat pandangan mata sang adipati, bisa
menebak gejolak hati “raja” Surabaya itu. Kendati terbayang almarhumah
isterinya yang sudah melahirkan lima orang putera, namun hasrat untuk menjadikan
anak gadis Kades Wangsadrana sebagai pendamping hidupnya tak terbendung.
Kegelisahan sang adipati dipahami oleh Wangsadrana dan Arya Suradireja. Tetapi
Wangsadrana berpura-pura tidak tahu dan pergi ke luar rumah. Saat itulah
Jayengrana menyampaikan hasratnya kepada Arya Suradireja untuk meminang
Rara Blengoh sebagai calon isterinya.
Singkat
cerita, lamaran sang Adipati Jayengrana yang sertamerta itu disampaikan dengan
sangat hati-hati oleh Arya Suradireja kepada Wangsadrana. Dengan perasaan hati
gembira, tetapi ragu-ragu menghadapi situasi itu yang mendadak itu, akhirnya
Wangsadrama minta izin untuk menyampaikan kepada anaknya. Rara Blengoh
benar-benar terkejut menerima informasi dari ayahnya. Namun setelah
diberi pengertian dan status adipati yang sudah empat tahun menduda, Rara
Blengoh menerima pinangan itu.
Setelah
ditentukan waktunya, upacara pernikahan pun diselenggarakan di desa Lidah
Wetan. Sengaja tidak dilaksanakan di Kadipaten Surabaya, untuk menjaga hati dan
perasaan lima putera Jayengrana. Ke lima putera Jayengrana waktu itu adalah
Raden Mas Sawungkarna berusia 9 tahun, adiknya Raden Mas Sawungsari (7 tahun),
Raden Mas Jaya Puspita (6 tahun) dan dua anak bungsu lahir kembar, Raden Mas
Suradirana dan Raden Mas Umbulsangga (4 tahun).
Setelah
pernikahan dan resmi menjadi isteri Raden Mas Jayengrana, Rara Blengoh mendapat
gelar kehormatan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Namun, sang adipati tetap tidak
membawa isterinya ke kadipaten. Justru sang Adipati lah yang sering menginap di
rumah kepala desa Lidah Wetan itu. Hampir setiap minggu, Jayengrana
menyempatkan diri mengunjungi isteri mudanya itu.
Kasih
sayang yang dipadu kedua insan ini membuahkan kehamilan Raden Ayu Dewi
Sangkrah. Karena kesibukan di kadipaten, Jayengrana makin jarang ke Lidah Wetan.
Sehingga sang adipati tidak menyaksikan kelahiran jabang bayi yang diberi nama
Jaka Berek. Nah, andaikata dibuat sebuah hitung-hitungan secara normal,
berdasarkan masa-masa berseminya cinta Jayengrana dengan Raden Ayu Dewi
Sangkrah, maka diperkirakan tahun kelahiran sang bayi yang kemudian dikenal
dengan nama Sawunggaling itu adalah tahun 1687.
Zaman
itu, keadaan situasi membuat kesibukan Jayengrana sebagai adipati Surabaya luar
biasa. Inilah yang membuat sang adipati tidak sempat lagi mendatangi isterinya,
karena situasi yang cukup gawat dampak dari pemberontakan Untung Surapati
terhadap Belanda. Situasi ini berdampak buruk bagi Surabaya. Jayangrana
benar-benar tak ada waktu berkunjung ke Lidah Wetan. Hari berganti bulan, bulan
berganti tahun, usia Jaka Berek pun meningkat remaja. Pertengahan tahun 1704,
saat Jaka Berek memasuki usia 17 tahun, ia meminta izin kepada ibunya, untuk
menemui sang ayah di kadipaten Surabaya. Melihat kesungguhan hati si anak, maka
kakeknya Wangsadrana berusaha meningkatkan ilmu dan kemampuan Jaka Berek. Di
samping mengaji Al Quran dan taat menunaikan ibadah shalat, Jaka Berek juga
dibekali ilmu beladiri silat dan kanoragan, serta tatakrama di lingkungan
kadipaten.
Setelah
dianggap matang, Jaka Berek diizinkan berangkat ke kadipaten dengan berjalan
kaki menyusuri jalan di pinggir anak sungai Kali Brantas, yakni Kali Surabaya,
sampai ke Kalimas. Ada peristiwa aneh yang ditemui Jaka Berek, saat dia
melewati jalan desa sekitar Gunungsari. Seekor kuda lewat dengan membawa
seorang laki-laki berkulit putih dalam keadaan pingsan di punggungnya. Kuda itu
berhenti tatkala melihat Jaka Berek. Seolah-olah minta tolong, kuda itu
menghampiri Jaka Berek. Tidak menunggu lama, Jaka Berek mengangkat tubuh
laki-laki berhidung mancung itu ke bawah pohon. Kemudian Jaka Berek memberi
minum dan membaca mantera yang pernah diajarkan kakeknya. Tak lama kemudian,
bule itu siuman. Dia berterimakasih kepada jaka Berek yang sudah membantunya.
Kedua anak muda yang berbeda ini berkenalan. Nama saya Van Jannsen, kata anak
muda itu dengan Bahasa Jawa. Jaka Berek terkejut, ternyata Belanda ini sudah
belajar Bahasa Jawa di Semarang.
Saat duduk berdua di pinggir Kali
Surabaya, anak Kali Brantas itu, kedua anak muda ini semakin akrab. Apalagi,
Van Jannsen telah banyak tahu dengan Surabaya dari pelajaran intelejen yang
diterimanya. Van Jannsen, ternyata perwira muda yang sedang mengikuti wajib
militer dari negaranya. Sebelum ke Indonesia, mereka sudah dibekali pengetahuan
tentang daerah tujuannya, Jawa dan belajar bahasa Jawa. Menurut Van Jannsen,
dia bersama tiga temannya diutus ke Surabaya untuk menemui Adipati Jayengrana.
Tetapi, saat berada di sekitar Lamongan, mereka diserang warga setempat. Mereka
dikeroyok, namun Van Jannsen berhasil menyelamatkan diri. Namun mendekati
Gresik, dia sudah tidak kuat menahan sakit akibat pentungan. Saat berada di
punggung kuda itulah dia tidak sadarkan diri. Ternyata, kuda yang membawanya,
bertemu dengan Jaka Berek.
Kendati
tujuannya sama, yaitu sama-sama menuju Kadipaten Surabaya dan juga sama-sama
akan menghadap Adipati Jayengrana, tetapi Jaka Berek tidak memberitahu
tujuannya. Setelah saling bersalaman, Van Jannsen pamit untuk meneruskan
perjalannya menuju Kadipaten Surabaya dengan menunggang kuda. Tidak lama
kemudian, Jaka Berek juga berjalan menyusuri sungai Kali Surabaya. Ia berjalan
terus sesuai petunjuk, berjalan menyusuri sungai Kalimas. Jaka Berek
akhirnya sampai juga di Alun-alun Contong, tidak jauh dari kadipaten. Di
sana ia duduk-duduk dengan melepaskan lelah sembari memberi makan ayam jago
yang dibawanya. Ayam jago itu diberi nama si Galing.
Karena
kelelahan, Jaka Berek sempat tertidur di bawah pohon besar di Alun-alun
Contong. Beberapa pemuda mencurigai orang asing itu. Malam itu ia ditangkap dan
dibawa ke kadipaten. Sesampainya di kadipaten, Jaka Berek diinterogasi oleh
petugas keamanan. Ketika diinterogasi itu, Jaka Berek menyatakan dia berasal
dari Lidah Wetan. Kakeknya Wangsadrana mantan kepala desa di sana dan ibunya
bernama Rara Blengoh dan juga dikenal dengan nama Raden Ayu Dewi Sangkrah.
Maksud kedatangannya ke Surabaya untuk mencari ayahnya yang bekerja di
kadipaten.
Antara
percaya dan tidak mendengar jawaban anak bernama Jaka Berek itu, akhirnya
petugas keamanan melapor kepada staf ahli kadipaten Arya Suradireja. Melihat
pancaran sinar dari wajah Jaka Berek, Arya Suradireja terhenyak. Ia teringat
kepada peristiwa di Lidah Wetan 19 tahun yang silam. Ia melihat bayangan wajah
Wangsadrana dan gadis bernama Rara Blengoh.
Tanpa
berpikir panjang, Arya Suradireja melapor kepada Adipati Jatengrana yang sedang
memimpin rapat di pendapa kadipaten. Sang Adipati terkejut dan juga terharu
saat melihat seorang anak muda tampan di depannya. Jaka Berek dibawa ke dalam
kamar kerja Adipati diiringi oleh Arya Suradireja. Dari dialog singkat di kamar
pribadi sang adipati itu, diyakini bahwa Jaka Berek adalah anak kandung Raden
Mas Jayengrana. Di kamar itu mereka berangkulan dan saling melepas rindu
disaksikan Arya Suradireja.
Suatu
hal cukup membuat Jayengrana terkejut adalah, ketika Jaka Berek membuka baju
dan celana luar yang dikenakannya. Ternyata di balik pakaian yang lusuh itu,
Jaka Berek mengenakan pakaian yang rapi. Busana itu adalah pakaian Jayengrana
yang ditinggal di rumah sang isteri Rara Blengoh yang bergelar Raden Ayu Dewi
Sangkrah di Lidah Wetan. Suasana haru makin menjadi-jadi, Jayengrana kembali
merangkul Jaka Berek, begitu pula dengan Arya Suradireja. Tanpa basa-basi, Jaka
Berek diajak ke pendapa kadipaten yang sedang ramai dengan pejabat
kadipaten. Jayengrana menyatakan kegembiraannya pada hari itu, karena
dipertemukan dengan anak bungsunya, bernama Jaka Berek. Semua yang hadir
terkejut. Anak-anak Jayengrana, sertamerta protes. Suasana menjadi tegang,
karena Sawungkarna memperlihatkan kemarahan kepada ayahnya.
Ayahnya
berterus terang, setelah menduda karena isteri pertamanya meninggal, ia pernah
menikah di Desa Lidah Wetan dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, ibunda dari Jaka
Berek. Kecuali Sawungkarna, ke empat putera Jayengrana tidak mempermasalahkan
kehadiran Jaka Berek di kadipaten. Kehadiran Jaka Berek di lingkungan keraton
mendapat tantangan dari Sawungkarna. Secara kasar dia menyatakan tidak setuju.
Bahkan Sawungkarna menantang Sawunggaling untuk menguji kesaktiannya.
Sawungkarna mengajak Sawunggaling menuju alun-alun. Dia mengatakan, kalau
engkau benar-benar anak ramanda Adipati Jayengrana, buktikan kesaktianmu.
Sawunggaling hanya diam. Dengan merunduk dia berfikir untuk tidak melayani.
Namun batinnya berkata dan seolah-olah menerima bisikan dari kakeknya Wangsdrana.
Kemudian
Jaka Berek menengadah, lalu melihat ke arah sang adipati. Dengan penuh kasih
sayang dan yakin kalau Jaka Berek adalah anak desa yang sudah terlatih ilmu
beladirinya, Jayengrana menganggukkan kepala ketika Jaka Berek berdiri,
seolah-olah minta izin kepada ayahnya. Memang benar, Jaka Berek sudah terlatih
dalam ilmu silat. Dia sudah menguasai berbagai jurus apabila menghadapi
tantangan. Apalagi satu kalimat yang selalu dipesankan oleh kakeknya: “Musuh
jangan dicari, bertemu pantang dielakkan”.
Sama
dengan putera Adipati Jayengrana lainnya, Jaka Berek, memang sudah dikenal
sakti mandraguna, ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning
gurinda (sakti dan kebal menghadapi segala jenis senjata) Sawungkarna
juga mengajak adik-adiknya ke alun-alun. Akhirnya dengan gerakan menunduk
minta izin kepada sang Adipati, Jaka Berek mengikuti ajakan Sawungkarna.
Bahkan, Adipati Jayengrana beserta pejabatan yang hadir dalam rapat itu ikut
berdiri menuju alun-alun. Di antaranya, ada tamu bangsa Belanda, bernama Letnan
Cornelis van Jannsen. Walaupun Jannsen sudah kenal dengan Jaka Berek, tetapi ia
berusaha diam. Hal yang sama, juga terlihat dari sikap Jaka Berek ketika
melihat jannsen yang ternyata benar-benar menjadi tamu ayahnya.
Perkelahian
satu lawan satu antara Sawungkarna dengan Jaka Berek berlangsung seru. Akibat
kemarahan Sawungkarna yang memuncak, ia lepas kendali. Berulangkali pukulan dan
tendangannya dielakkan oleh Jaka Berek. Justru di sana Sawungkarna terjerembab.
Beberapa kali Sawungkarna berusaha memukul, tetapi ia bagaikan memukul angin.
Dalam sekejap, saat Sawungkarna lengah, Jaka Berek berhasil menangkap tubuh
Sawungkarna dan mengunci gerakannya. Dalam keadaan terjepit itu, Sawungkarna
minta tolong kepada adik-adiknya. Adik-adiknya hanya diam saja, takut serba
salah. Namun, saat sdik-adiknya mendekat untuk membantu, Jaka Berek bergerak
cepat. Empat saudara tirinya itu disapu dengan sebelah kaki, sembari ia masih
tetap memegang salah satu tangan Sawungkarna. Mereka terjengkang. Melihat
kesaktian Jaka Berek dan khawatir anak-anaknya cedera, adipati memberi isyarat
agar perkelahian itu dihentikan. Semua yang melihat pun kagum atas kesaktian
Jaka Berek. Mereka semua kemudian diajak ke pendapa kadipaten. Hanya
Sawungkarna yang tidak mau, saudara tirinya yang lain menyalami Berek sebagai
tanda pernyataan bersaudara.
Sore
harinya, di pendapa Kadipaten Surabaya diselenggarakan acara pengangkatan
secara resmi Jaka Berek menjadi putera ke 6 Adipati Jayengrana. Empat saudara
tirinya ikut menyaksikan, kecuali Sawungkarna. Mungkin karena malu, ia tidak
menampakkan dirinya sama sekali. Pada upacara di sore hari itu, secara resmi
Jaka Berek mendapat kehormatan menggunakan nama dan gelar Raden Mas
Sawunggaling.
Setelah
hidup di lingkungan kadipaten, peran Sawunggaling dalam jajaran pemerintahan
semakin matang. Ia pun sering mendapat tugas pemerintahan dan mewakili Adipati
Jayengrana dalam berbagai rapat dan pertemuan resmi. Baik dengan staf dan
pejabat kadipaten, maupun dengan Raja Kartasura di Surakarta, serta dengan utusan
Kompeni Belanda.
E.
Gugur sebagai Pahlawan
Benar
saja, kematian dua perwira Belanda di Kartasura itu membuat Gubernur Jenderal
Belanda di Batavia Hendrik Zwaardeckroom marah besar. Ia langsung mengangkat
Pieter Speelman sebagai pengganti Van Hoogendorf. Saat itu juga ia mengeluarkan
Surat Perintah untuk menangkap Sawunggaling. Walaupun berduka, atas
mangkatnya Ingkang Sinuwun Susuhunan Pakubuwana I, tanggal 13 Maret 1719,
Sawunggaling maupun BRA Pembayun terpaksa tidak bisa menghadiri upacara pemakaman
di Kartasura. Kalau datang ke sana pasti ditangkap Belanda. Gerakan
Belanda untuk menggempur Kadipaten Surabaya sudah terdengar. Pasukan Belanda
juga sudah bergerak menuju Surabaya dari Batavia melalui darat dan laut.
Tidak
kurang selama empat tahun terjadi peperangan dengan pihak Belanda di beberapa
tempat di sekitar Surabaya. Belanda memang belum mengerahkan pasukan yang
banyak. Hanya upaya melakukan gertakan dan intimidasi. Kadipaten Surabaya yang
meliputi Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, kemudian meluas ke Mojokerto dan
Lamongan. Pasukan yang disebut Laskar Sawunggaling dipimpin oleh Raden Mas
umbulsangga, kakak tiri Sawunggaling. Laskar ini berjaga di perbatasan Lamongan
dan Mojokerto, serta dari arah Madura. Jadi kekuasaan Adipati Sawunggaling
waktu itu sama dengan wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan).
Kompeni
Belanda waktu itu memang tidak hanya menghadapi Surabaya, tetapi juga
pemberontakan yang terjadi di berbagai kota. Apalagi setelah Pakubuwana I
mangkat, terjadi perebutan takhta. Juga di beberapa daerah memproklamasikan
dirinya sebagai kerajaan sendiri dan bergerak malawan penjajah Belanda. Selain
berhadapan dengan Belanda, beberapa kerajaan baru itu juga saling bermusuhan,
sehingga perang saudara tidak terelakkan. Pieter Speelman yang ditunjuk
menggantikan Van Hoogendorf, mendapat laporan tentang kehebatan Laskar
Sawunggaling menumpas anak buahnya di perbatasan Lamongan dan Mojokerto. Salah
satu peperangan yang seru terjadi tanggal 10 Februari 1723. Pasukan
Belanda yang dikomandani Letnan Bernard van Aken benar-benar terpukul.
Kalah telak. Pasukan yang dipimpinnya berhasil terpaksa mundur sampai
Bojonegoro dan Tuban.
Apalagi waktu itu, Adipati
Sawunggaling berhasil menjalin kerjasama dengan pasukan laut Portugis pimpinan
Kapten Laut Francisco Santos Rodriguez yang berada di Laut Jawa. Dalam
pertempuran di sekitar pelabuhan Sedayu Gresik, pasukan gabungan Laskar
Sawunggaling dengan pasukan Portugis, berhasil mengalahkan armada laut Belanda.
Seluruh pasukan Belnada di kapal dinyatakan tewas, kecuali ABK (Anak Buah
Kapal) yang berada di ruang kemudi dan kamar mesin.
Tidak
tahan mendengar laporan kekalahan demi kekalahan yang diderita pasukannya dari
pembantaian Laskar Sawunggaling, Speelman langsung mengambialih pasukan.
Ia memimpin sendiri divisi tempur yang didatangkan dari Eropa, Batavia dan
Semarang menyerbu pertahanan Laskar Sawunggaling di Lamongan dan Mojokerto.
Dalam pertempuran sengit itu di pinggir Bengawan Solo, di wilayah Lamongan, Raden
Mas Umbulsangga bersama 20 orang pasukannya gugur sebagai pahlawan. Komandan
Laskar Sawunggaling diserahkan kepada Raden Mas Suradirana, saudara kembar
Raden Mas Umbulsangga. Namun, dalam pertempuran akhir Maret 1723, Raden Mas
Suradirana juga gugur sebagai pahlawan. Ia menghembuskan nafas terakhir saat
terkepung musuh dan tubuhnya dihujani puluhan ujung bayonet pasukan Belanda
yang haus darah.
Dari
hari ke hari pasukan Kompeni Belanda terus bertambah. Pertempuran atara pasukan
Kompeni dengan Laskar Sawunggaling semakin gencar. Adipati Sawunggaling yang
kehilangan dua saudaranya di medan tempur makin terdesak. Ia berunding dengan
staf ahli kadipaten Surabaya Arya Suradireja. Mereka sepakat meninggalkan
kadipaten untuk menyelamatkan keluarganya. Tempat berlindung yang dianggap
cukup aman waktu itu adalah Benteng Providentia di daerah Ujung Surabaya, dekat
muara Sungai Kalimas. Adipati Sawunggaling membawa ibundanya Raden Ayu Dewi
Sangkrah bersama isterinya Bendara Raden Ayu Pembayun, serta puteranya Raden
Mas Arya Bagus Narendra ke Benteng Providentia. Tentunya disertai pula dengan
logistik dan kebutuhan sehari-hari yang cukup. Dalam serangan besar-besar yang
dilakukan pasukan Pieter Speelman ke Benteng Providentia, Adipati Sawunggaling
yang memimpin sendiri Laskar Sawunggaling terkepung. Di sinilah, akhirnya sang
adipati mendapat hadiah “timah panas” dari senapan pasukan Speelman.
Anehnya, tubuh Sawunggaling yang sempoyongan “lenyap” saat tersandar di
dinding benteng.
Konon
beberapa prajurit setia Laskar Sawunggaling yang semula sempat menyembunyikan
jenazah Sawunggaling, kemudian melarikan jasadnya menuju desa Lidah
Wetan. Agar tidak diketahui Belanda, Sang Adipati dimakamkan malam hari di
tanah kelahirannya, berdampingan dengan kakeknya Wangsadrana alias Raden Mas
Karyosentono.
Paman
Arya Suradireja menyelamatkan Raden Ayu Dewi Sangkrah ibunda Sawunggaling
beserta BRA Pembayun dan Raden Mas Arya Bagus Narendra yang saat itu berusia
empat tahun.
Tatkala
BRA Pembayun keluar dari gerbang benteng Providentia sembari mengendong
Arya Bagus Narendra menuju kereta kuda, para petinggi Kompeni Belanda yang
berbaris di depan benteng sertamertra memberi hormat dengan membuka topinya. Di
antara petinggi kompeni Belanda itu adalah Pieter Speelman yang mengetahui BRA
Pembayun adalah puteri almarhum Susuhunan Pakubuwana I. Konon, waktu dalam
perjalanan diberitahu kalkau jasad Sawunggaling sudah dibawa ke Lidah Wetan,
Raden Ayu Sangkrah minta diantarkan ke rumahnya di Lidah Wetan. Sedangkan BRA
Pembayun bersama Raden Mas Arya Bagus Narendra dibawa ke Kartasura.
Dengan
gugurnya Adipati Sawunggaling sebagai pahlawan bangsa di benteng Providentia
itu, maka pimpinan pemerintahan Kadipaten Surabaya kosong. Kekuasaan sementara
diambilalih oleh pihak Belanda. Tidak berapa lama, Kadipaten Surabaya
dipimpin oleh Ki Tumenggung Panatagama. Perjuangan Sawunggaling sampai titik
darah penghabisan itu tidak dilupakan oleh Arek Suroboyo. Bahkan
nama Sawunggaling melegenda hingga sekarang.
2 Tradisi Mengenang Raden Sawunggaling
Makam
dari Sawunggaling terletak di belakang masjid Al-Qubro jl. Lidah Wetan Gang
III. Gang ini dinamakan dengan nama Sawunggaling, jadi jl. Lidah Wetan III
Sawunggaling, jadi keti orang mencari dimana letak makam dari sawunggaling
tidak merasa kesulitan, sebab dekat jalan besar dan berjarak sekitar 200
meteran masuk kedalam gang. Makam inin dikeramatkan oleh masyarakat lidah dan
sekitarnya. Setiap hari Jumat legi dan Kamis kliwon banyak didatangi pengunjung
untuk “ngalap berkah” disana. Disana setiap setaun sekali diadakan haul, yang
waktu pelaksanaan nya bertepatan dengan bulan Ruwah tanggal 10, kondisi dari
makam sudah memakai tembok dan berkeramik.
Lantunan
Surat Al-Fatihah yang dibawakan oleh seorang Kuncen (juru kunci) makam, cukup memberikan
kesejukan suasana ditengah hari di Surabaya
yang panas terik. Tampak
seorang berbaju takwa putih, memakai
peci hitam, duduk bersila, menengadahkan tangan, kedua-duanya terbuka ke atas,
memohon sesuatu kebaikan serta keberkahan kepada Tuhan. Dikelilingi oleh
beberapa orang dewasa serta anak-anak, duduk melingkar, ikut membuka tangan
lebar-lebar dengan serta-merta mengamini doa-doa yang dipanjatkan oleh sang kuncen.
Di
tengah-tengahnya terdapat gunungan nasi yang dibungkus dengan daun pisang
berikut lauk-pauk mulai dari satu ekor ayam, tahu, tempe, ikan, bihun, serta
sayur nangka, dan buah pisang yang cukup banyak, menyempurnakan kehadiran
sebuah sajian bernama nasi tumpeng ini. Setelah sang kuncen selesai memimpin
doa, seorang pria dewasa masuk ke dalam lingkaran para Pendoa untuk kemudian membagikan
beberapa lembar kertas berwarna coklat (kertas minyak).
Kertas
ditaruh persis di depan pendoa yang mayoritas anak-anak usia di bawah sepuluh
tahun.
Nasi
tumpeng perlahan dibuka dari bungkusnya kemudian dibagikan sesuai jumlah kertas
yang sudah disiapkan tadi. Tak lupa ayam bakar yang satu ekor itu juga tak
luput dari giliran untuk dibagi-bagi. Masingmasing mendapatkan nasi, lauk
berupa ayam, serta pisang yang dibungkus jadi satu lalu dibawa pulang untuk
dimakan di rumah.
Di
luar kerumunan, ada salah seorang pengunjung yang menemui kuncen untuk kemudian
kuncen mempersilahkan orang itu masuk ke dalam ruang makam R. Sawunggaling.
Kira-kira 5-10 menit barulah orang itu keluar ruang makam. Sebut saja Marsudi
(54) pegawai swasta, peziarah kita kali ini yang ternyata memiliki hajat.
Karena pekerjaan bersama temannya berhasil mencapai target maka digelarlah
prosesi ini. “Karena ada sedikit rejeki maka kami bikin hajatan ini, sebagai
rasa syukur kepada Tuhan dan berbagi rejeki dengan sesama, serta untuk
selalu
mengingat para pendahulu kami di Lidah Wetan ini”, ungkapnya.
Selain
makam Raden Sawunggaling, di ruang komplek makam yang berukuran 4×8 meter itu
juga terdapat makam Raden Ayu Dewi Sangkrah (ibu Sawunggaling), Raden Buyut
Suruh (makam neneknya), Raden Karyo Sentono (makam kakeknya), serta Raden Ayu
Pandan Sari.
A.Tumpeng Tanpa Dirasa
Prosesi
tumpengan seperti itu biasa digelar warga kampung Lidah Wetan pada waktu ada
acara hajatan, pindah rumah, menempati rumah baru, sunatan (khitanan), serta
pernikahan. Ada juga orang yang habis sakit terus pernah bernadzar untuk
membuat tumpengan setelah sembuh dari sakitnya. Suyanto, salah seorang juru
kunci makam, mengaku kepada Tabloid Astral kalau makam Sawunggaling setiap
harinya pasti ada saja yang berziarah. “Para peziarah yang datang mulai dari
warga sekitar kampung Lidah Wetan, warga Surabaya itu sendiri, Gresik,
Sidoarjo, Mojokerto, serta Jombang, bahkan sampai ada yang dari kota gudeg
Jogja. Yang pasti, bisa dibilang 80% para peziarah berasal dari Jawa Timur,”
tuturnya. Cak Su, panggilan akrab Suyanto juga menambahkan pada hari-hari tertentu
para peziarah datang silih berganti dari pagi sampai malam yakni, Rabu Wage,
Kamis Kliwon, serta Jumat pagi. Jika ada peziarah yang menginap selain warga
kampung Lidah Wetan, cukup dengan menunjukkan KTP serta melapor kepada keamanan
RT/RW. “Ada orang lelaku yang datang ke sini, sebelumnya dari makam Sunan Bungkul,
kemudian Sunan Ampel, baru ke makam Raden Sawunggaling,” tambahnya. Ada yang
unik dari sajian tumpeng ini yakni, semua masakannya tidak pernah dicicipi terlebih
dahulu. Menurut pengalaman para pendahulu, tumpeng yang dicicipi akan selalu
jatuh terguling hingga tidak bias dimakan. Hal itu terjadi berulang-ulang
hingga sampai detik ini, warga jadi tidak ada yang berani melanggar hukum tidak
tertulis itu. “Jadi, rasanya ya seperti pada bulan puasa sewaktu ibu atau istri
kita memasak. Kadang terasa, terkadang ya begitulah rasanya, maklum kan yang
masak juga puasa”, seloroh Muh. Hadi warga Lidah Wetan.
B. Kirap
Sebanyak 2.500 orang akan mengikuti Kirab Kadipaten
Suroboyo,Minggu September 2014. Acara yang digelar setiap tahun ini
diselenggarakan dalam rangka memerkenalkan asal-usul Kota Surabaya, yang pada
saat ini kurang mendapat perhatian masyarakat, khususunya para generasi
muda akibat desakan budaya asing.
Sebagaimana
diketahui, Surabaya dulunya merupakan sebuah kota kadipaten yang keberadaannya
tak lepas dari peran besar Joko Berek atau yang dikenal dengan nama Raden Sawunggaling.
Meski ada yang mengatakan bahwa sosok Sawunggaling adalah bagian dari cerita
rakyat tentang berdirinya Kadipaten Suroboyo, namun sosoknya sangatlah
melegenda. “Itulah sebabnya, kami masyarakat Lidah Wetan yang kebetulan
ketempatanpesarehan Sawunggaling, merasa bertanggungjawab untuk merawat dan
melestarikannya.Salah satunya dengan menggelar acara Kirab R Sawunggaling dan
kegiatan budaya lainnya,” ujar panitia penyelenggara, Matawin.
Pada
gelaran tahun ini, panitia telah menyiapkan serangkaian acara, diantaranya
adalah kirab budaya yang akan diikuti kurang lebih 2.500 peserta dengan
mengenakan busana tradisional setempat, serta mengusung panji-panji kebesaran R
Sawunggaling dan memamerkan hasil bumi sekitar. “Kami mengikuti kirab ini
sebagai bentuk partisipasi sekaligus kepedulian terhadap budaya asal. Kami bawa
semua hasil bumi seperti jagung, singkong, pisang, mbute, tales, kelapa, dan
lainnya, ini yang kami beri nama ‘HasileNdeso’,” kata Haji Paidi, salah satu
peserta sambil menunjukkan semua hasil ladangnya yang ditata rapi di atas
sepeda ontel yang dihias indah. Selain kegiatan kirab yang dimulai Minggu pagi,
panitia juga akan menggelar Lomba Suluk (18/9/2014), Istighotsah (17/9/2014),
dan Pengajian Umum (19/9/2014), serta Pagelaran Wayang Kulit (18/9/2014) bersama
Ki Dalang Surono dari Waru, Sidoarjo. Rencananya, para pejabat dan tokoh
masyarakat Surabaya akan hadir menyemarakkan Kirab Sawunggaling. Mereka adalah
Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Hengky Setiadi (anggota DPR-RI),
Emha Ainun Najib (Budayawan), dan lainnya.
3 Sebuah Kearifan Lokal
Lewat
kesenian drama atau teater tradisional ludruk, lakon Sawunggaling selalu
dikaitkan dengan tokoh Jayengrana, ayah Sawunggaling. Jayengrana merupakan
seorang Adipati Surabaya yang hidup pada masa peralihan abad XVII dan abad
XVIII, yang memerintah dalam tahun 1680-1709. Surabaya termasuk di dalam
wilayah kekuasaan kerajaan Mataram, semenjak Sultan Agung menundukkannya pada
tahun 1625. Jayengrana menjadi Adipati Surabaya atas jasa serta kesetiaannya terhadap
Pakubuwono I (PB I). “Atas jasanya itu pula, Jayengrana didaulat menjadi
Adipati atau Bupati Surabaya yang wilayah kekuasaannya meliputi, Surabaya,
Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, serta Jombang”, urai Ikhsan Rasyid, ahli sejarah
dari Universitas Airlangga Surabaya.
Mari
sejenak bayangan kita tertuju ke masa akhir abad XVII yang mana kota Surabaya
masih berupa hutan-hutan belantara, tepatnya di sebuah desa yang bernama Desa
Lidah. Di sinilah Jayengrana bertemu dengan seorang gadis desa yang cantik
jelita hingga membuat sang
Adipati
kasmaran. Tanpa sepengetahuan Keraton Surabaya, sang Adipati kemudian mempersunting
Raden Ayu Dewi Sangkrah hingga lahirlah Raden Sawunggaling. “Sampai akhir masa
jabatannya, Jayengrana tidak pernah mengangkat Dewi Sangkrah menjadi permaisurinya
di keraton Surabaya, yang dulu berkedudukan di Balai Budaya Cak Durasim Jalan
Gentengkali sekarang”, imbuh Ikhsan.
Kembali
ke ludruk, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ini juga
menambahkan, pagelaran ludruk ini pasti ceritanya berkenaan dengan perlawanan
Sawunggaling terhadap Belanda atau VOC. VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie, atau Perusahaan Hindia-Timur Belanda), merupakan perusahaan dagang
Belanda yang didukung oleh pemerintahnya guna memonopoli perdagangan rempah-rempah
di Nusantara, dibentuk tahun 1602 dan bermarkas di Batavia atau Jakarta. Pada
waktu itu, Mataram dekat dengan Belanda atau VOC hingga membuat rakyat atau
masyarakat Surabaya antipati terhadap Mataram. Kedekatan Mataram dengan VOC
bukan tanpa sebab, karena Pakubuwana sering memakai jasa VOC dalam
mempertahankan kekuasaannya di Mataram hingga berhutang banyak. VOC dalam membantu
Mataram memberantas para pemberontak, juga mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit, jadi sudah sepantasnya mereka menuntut balik biayanya. Maka melalui
Sawunggaling, masyarakat
Surabaya
berusaha melepaskan diri dari pengaruh Mataram. Salah satu contoh yang diperjuangkan
oleh masyarakat Surabaya waktu itu yakni, pada nama panggilan sehari-hari
mereka. “Masyarakat Surabaya tidak suka kalau dipanggil dengan sebutan bocah,
mereka lebih suka dipanggil arek dalam keseharian”, lanjut Ikhsan. Dalam
kacamata seorang Heri Prasetyo, seniman Surabaya yang akrab dipanggil dengan
Heri Lentho ini, memberikan pemaparannya
kepada
Tabloid Astral.
Sebelum
Surabaya ramai seperti sekarang, masyarakat Surabaya terkenal dengan
jagoan-jagoan kampungnya. Memang mindset orang Surabaya dari dulu tidak jauh
dengan hal-hal yang berbau ksatria, jawara, serta jagoan. “Itu memang dari
sejarah juga disebutkan, bagaimana pasukan Raden Wijaya pada tahun 1293 berhasil
memukul mundur pasukan Tar-tar yang lebih canggih persenjataannya”, jelas Heri
Lentho. Masih dalam konteks Sawunggaling, secara pribadi sebagai seorang seniman,
tidak hanya sisi perjuangannya membela kebenaran saja
yang
ditonjolkan. Sawunggaling yang konon putra Adipati Jayengrono ini, memang
berani menentang hegemoni (pengaruh) mataram yang waktu itu ‘bersalingkuh’
dengan belanda atau VOC, hingga kemudian menjadi pelopor para ksatria Surabaya.
Sisi lain yang kita angkat yakni,
supaya
timbul semangat, sebelum berangkat menuju medan laga melawan VOC, atau sebelum
mengikuti sayembara memanah itu, doa restu ibu, itu ditunggu orang. Nilai
seorang perempuan yang selalu mendoakan kepada anak, anak yang berdoa minta
restu kepada orang tua, sehingga nilai-nilai itu yang dia kemas.
Heri
Lentho mengemas tidak hanya dalam bentuk kesenian saja. Seniman yang kebetulan
tinggal di dekat makam Sawunggaling ini, pernah mengusulkan kepada Remaja
Masjid Lidah Wetan, yang sedang mengadakan acara Sunatan Masal di tahun 2005.
Usulan Heri diterima, maka dengan menggunakan konsep Sunatan Masal
Sawunggaling, acara pun digelar. Sebelum acara khitan dilakukan, mereka minta
doa restu kepada ibunya masing-masing. Mereka tidur sambil berkata, “Mbok..mbok..mbok,
reyang restunono yo Mbok, katene mlebu Islam sing sempurno” (Ibu..ibu..ibu,
restui saya ya Bu, saya mau masuk Islam secara utuh), ucap Heri Lentho
menirukan adegan tersebut.
Kemudian
para ibu menyingsingkan jariknya kira-kira selutut hingga bisa melangkahi
anak-anaknya, pada waktu itu semua orang yang menyaksikan, ada yang menangis
haru melihat prosesi itu. “Senekadnekadnya anak yang memperjuangkan kebenaran,
tetapi dia masih mempunyai keteguhan, kepatuhan terhadap doa orang tua,” pungkasnya.
4 Makam Raden Sawunggaling
Sawunggaling
atau biasa disebut Joko Berek, namanya akan tetap lestari, baik dimata
masyarakat Jawa Timur pada umumnya, khususnya warga kampung Lidah Wetan,
Surabaya. Dukungan mulai dari RT, RW, Lurah, Camat, sampai dengan Pemerintah
Kota Surabaya, melalui SK. Walikota Nomor: 188.45/270/436.1.2/2013, tentang Penetapan
Bangunan Komplek Makam Sawunggaling, Jalan Lidah Wetan Gang III Surabaya,
Sebagai Bangunan Cagar Budaya.
Salah
satu wujud dari upaya melestarikan nama Sawunggaling, warga Lidah Wetan yang didukung
oleh Pemkot Surabaya, pada tahun 2012, telah mengadakan acara “Gelar Doa dan
Angkat Budaya- Mengenang Keluarga Besar Joko Berek/R. Sawunggaling”. Acara ini dibuka
langsung oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Acara ini merupakan yang
pertama kali diadakan dan rencananya akan digelar acara yang sama tiap
tahunnya. Adapun agenda kegiatan dari acara tersebut yakni, kirab kadipaten
surabaya, lomba suluk-sodor Sawunggaling, istighosah, napak tilas joko berek
nagih janji, wayang kulit semalam suntuk, serta pengajian umum.
Muh.
Syaifuddin, Lurah dari kelurahan Lidah Wetan mengatakan, selalu mendukung
kegiatan tersebut karena komplek makam berada di wilayah kerjanya. Bentuk
dukungan yang sudah pernah dilakukan oleh kelurahan yakni, menerjunkan beberapa
personil Linmas serta Satpol PP guna keamanan dan kelancaran acara, serta
menyediakan pendopo kelurahan yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya para
peserta kirab pada puncak acara kirab kadipaten. Pendopo kelurahan juga selalu
siap untuk dipakai menggelar acara wayang semalam suntuk, namun sayangnya warga
masih perpandangan sempit serta eksklusif dalam memaknai beberapa hal. Warga
beranggapan acara wayang harus diadakan di dekat komplek makam Sawunggaling,
meskipun kurang layak karena lahannya yang sempit, jauh dari pendopo kelurahan
yang lebih luas dan representatif.
Seharusnya
warga sadar ini kesempatan yang paling bagus untuk memperkenalkan budaya serta
tradisi dari seorang tokoh besar Surabaya. Warga harusnya sadar kalau tokoh
Sawunggaling ini bukan hanya milik warga Lidah Wetan, namun milik warga
Surabaya khususnya, dan Jawa Timur serta Indonesia. Masyarakat Surabaya berhak
tahu serta mengenal salah satu sesepuh kotanya, dengan nilai-nilai keberanian,
kepahlawanan dan perjuangannya dalam perjuangannya melawan Belanda atau VOC
pada waktu itu.
No comments:
Post a Comment